Anda tahu Mia Khalifa? Ya, salah seorang former adult actress yang memiliki penggemar cukup gempita ini memang tak pernah sepi mengundang perhatian khalayak. Kini, ia dikabarkan telah mundur dari pentas industri perfilman akil baligh tersebut.
Ada sebuah wawancara menarik tentangnya. Lewat siaran BBC Hardtalk’s Stephen Sackur, diterangkan bahwa kendati adegan “seks hijab” yang diperankan Mia membuatnya terkenal di seantero dunia, hal itu beringan dengan bejibun ancaman pembunuhan dari kelompok Muslim yang merasa sangat tersinggung.
Mia menyadari bahwa hadirnya proposal untuk memerankan adegan itu adalah pilihan sulit: menerima berarti memantik konflik, sedangkan menolak berarti siap diintimidasi oleh industri. Apapun itu, ini menandakan bahwa sebetulnya, dalam hati terdalamnya, dia mengalami histeris luar biasa.
Persoalannya, mengapa hal itu bisa terjadi? Mengapa Mia harus mengalami ancaman pembunuhan dari mereka yang, mungkin saja, diam-diam menikmati sesuatu yang dianggap nista tersebut?
Tentu saja jawabannya adalah karena ia mengenakan Hijab. Dan, hijab sementara ini memang diasosiasikan sebagai salah satu simbol penting dari agama tertentu. Sebut saja Islam.
Di Indonesia, hijab memiliki banyak varian setelah melewati perjalanan sejarah yang panjang. Ariel Heryanto dalam Identitas dan Kenikmatan mencatat bahwa pada masa Orde Baru, atau sekitar kurun 1980-an, pemakaian jilbab bagi perempuan menandakan ungkapan terbuka dari sikap pembangkangan politik seseorang terhadap rezim.
Kemudian, pada dekade 1990-an, pemakaian jilbab bertransformasi menjadi tren mode berpakaian. Dan, memasuki peralihan abad ke-20 menuju ke-21, ia menjadi sebuah kepatutan politik.
Lebih jauh, lanjut Ariel, sebuah tren baru telah berkembang. Pemakaian jilbab bahkan menjadi setrategi defensif di antara para perempuan terkenal yang menjadi tersangka kasus tertentu. Sederet nama seperti Nunun Nurbaeti, Neneng Sri Wahyuni, dan Yulianis yang diadili pada tahun 2012 karena kasus korupsi uang negara, menunjukan hal itu.
Sementara, eksistensi hijab pada situasi Indonesia kiwari tampaknya semakin kompleks. Sebagaimana terjadi di tempat lain, tak begitu kentara benturan keras antara kapitalisme dan komitmen terhadap ketakwaan agama. Dengan kata lain, dalam konteks global maupun lokal, keduanya dapat berjalan beriringan.
Feomena itu dapat kita simak dengan seksama pada, umpama, meriahnya industri-industri fashion—atau artis-artis kenamaan yang “hijrah” kemudian— menjajakan produk hijab tertentu sembari mengingatkan segenap umat Islam agar senantiasa meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah.
Tak hanya itu, hijab yang semula berwujud kudung atau kerudung kini, perlahan tapi pasti, mengalami evolusi tren: baik yang ditambahi kata sifat “syar’i”, alias menjadi “hijab syar’i”, atau yang paling paripurna berupa cadar atau niqab.
Evolusi model hijab itu tentu saja menimbulkan gejolak di level sosial. Ada yang mendukung dan ada yang menentang. Ada yang mengamalkan dengan penuh keyakinan, ada pula yang menggunjingnya sebagai sebuah bentuk kemunduran.
Mula-mula, perdebatan itu berangkat dari pasal menutup aurat adalah kewajiban setiap mukalaf. Persoalannya, seberapa jauh batas aurat itu? Ada banyak pendapat tentangnya. Dan ini pun juga polemistis. Dengan kata lain, para ulama berbeda pendapat tentang hal itu. Tapi bukan ini poin saya.
Namun apapun itu, masing-masing dari kedua pihak memiliki dasar argumentasi yang kuat. Bagi yang menganggapnya sebagai kewajiban atau perintah agama tidak sepenuhnya keliru. Sebaliknya, yang menyoalnya pun juga sebetulnya tidak salah-salah amat.
Maka, ketika belum lama ini Menteri Agama kita, Fachrul Razi, menyentil soal cadar atau niqab—sebagai salah satu varian hijab— yang tidak selalu merepresentasikan ketakwaan seseorang, itu ada benarnya juga.
Meskipun memang, melarang keberadaanya juga tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Bagi saya, berhijabnya seorang muslimah, dengan segala variannya, adalah laku personal. Mereka, laiknya yang tidak berhijab, melakukan itu dengan penuh kesadaran, dan oleh karena itu tidak selayaknya jika kita membatas-batasi.
Masalahnya, persoalan hijab bagi perempuan di negeri ini terkadang seperti paradoks. Tidak sedikit perempuan berhijab, khusunya yang telah mengidentifikasi hijabnya sebagai “syar’i” atau bercadar sekalipun, menampilkan keeksklusifannya.
Dan, bentuk dari sikap eksklusif yang paling kaffah adalah para perempuan bercadar yang meledakan dirinya, atau menerobos Mako Brimob seraya mengantongi sebilah gunting, dan sebagainya.
Di titik inilah kiranya pelekatkan cadar sebagai salah satu simbol ekstremis menjadi masuk akal. Lebih jauh, upaya untuk menihilkan pemakaian cadar bagi perempuan atau muslimah di instansi pemerintah pun menemukan relevansinya.
Kendatipun harus segera disadari pula kalau upaya untuk menekan sesuatu biasanya akan berbanding lurus dengan perlawanan atau minimal show-off yang tidak kalah kuat dari unsur yang ditekan itu.
Apakah eksistensi cadar ke depan akan mengalami nasib serupa dengan jilbab yang meski awalnya dicurigai habis-habisan namun, kelak, menjadi sebuah identitas lumrah muslimah kebanyakan? Kita lihat nanti.
Yang jelas, untuk saat ini, mari bersama-sama hindari stigma. Sebab, pakaian itu tak punya agama. Ia baru akan memiliki nilai, tergantung pada fungsinya.
Ah, saya jadi terbayang betapa serunya dunia ini jika penghuninya tidak mengenakan pakaian sama sekali. Seperti dalam film PK, pakaian hanya akan membuatmu menjadi rumit dan mungkin juga hipokrit.