Sejarawan Wiyoso Yudoseputro bilang, tugas atau fungsi seni kaligrafi Arab pada masa Islam-Purba (di Nusantara) ialah fungsi dekoratif. Hal ini, misalnya, terdapat pada bangunan masjid-masjid lama seperti di Banten, Cirebon, Demak dan Kudus, yang menerapkan kaligrafi Arab hanya sebagai pelengkap motif hias yang bersumber pada tradisi seni hias Indonesia-Hindu.
Sementara di sisi lain, seperti tampak pada ‘candrasangkala’, motif kaligrafi Arab juga dimaksudkan sebagai simbol atau perlambangan, seperti misalnya tampak pada panji-panji (bendera) kraton.
Bentuk yang mengacu pada motif ukiran atau ornamen itu berjalin-kelindan dgn motif-motif tetumbuhan maupun tulisan Jawa kuno.
Pada masa Ottoman (Dinasti Utsmaniyah di Turki) bentuk-bentuk perlambangan yang membentuk figur flaura dan, utamanya, fauna ini disebut sebagi Thugro. Ada yang jadi burung, kuda, semacam bentuk keong, atau yang kemudian diadaptasi secara umum di nusantara, macan Ali.
Bentuk-bentuk itu, umumnya, “dijalin” dari keluwesan dan “ketajaman” bentuk Tsulutsi. Bentuk Tsuluts, seperti disebutkan dalam “pengajian” sebelumnya, sudah disempurnakan pada masa Abu Ali Muhammad Ibn Muqlah (w. 940 M) atau biasa dikenal dengan nama Ibnu Muqlah, beriringan dgn bentuk Naskhi, Muhaqqaq, Rayhani, Riq’i dan Tawqi—yang dikenal sebagai al-Aqlam as-Sittah (enam pena atau enam gaya tulisan).
Ibnu Muqlah belajar kepada gurunya Ahwal al-Muharrir. Ahwal belajar pada gurunya Ibrahim as-Sijzi, saudara dr Yusuf as-Sijzi yang telah menekuni bentuk Tsuluts, yang menarik perhatian wazir Khalifah al-Makmun, Fadl ibn Sahl, yang menjadikan tulisannya sebagai tulisan resmi kerajaan dan menamainya Riyasi.
Ahwal, guru Ibnu Muqlah, mengembangkan tulisan Riyasi ini dan Ibn Muqlah yang juga seorang ahli geometri menyempurnakan tulisan itu dengan bentuk-bentuknya yang terukur. Inilah bentuk Tsuluts yang kita kenal sekarang. Sampai di sini dulu. Hampir senja, saya mau mandi. Wassalam. (10 Juli 2017)