Tiga hari yang lalu saya mengikuti pengajian yang diampu oleh Gus Baha’ (KH. Ahmad Baha’uddin Nursalim) di Ponpes Izzati Nuril Qur’an Bedukan Pleret Bantul Yogyakarta. Baru pertama kalinya saya bergabung dalam pengajian bulanan itu. Saya merasakan seperti ngaji Tafsir Jalalain di Menara Kudus setiap Jumat pagi yang diampu oleh KH. Sya’roni Ahmadi. Jamaah yang datang sangat banyak. Tumpah ruah. Menyemut di area ponpes.
Pengajian Gus Baha’ juga bisa didengarkan melalui kanal youtube. Bagi saya, Gus Baha’ adalah seorang kiai atau ulama yang kualitas keilmuannya tidak diragukan lagi. Beliau adalah salah satu rujukan yang tepat untuk kalangan awam, apalagi di tengah kebingungan masyarakat mencari ustadz yang mencerahkan dan mampu merawat nalar. Kata Gus Baha’, orang Islam semangat thok gak cukup, kudu karo ngaji.
Menarik apa yang saya dapatkan dari keterangan Gus Baha’ pada malam itu tentang hubungan agama semitik dan non semitik dalam QS. Saba’ ayat 31.
Ada dua poin yang saya dapat—mungkin pembaca yang mengikuti pengajian itu mendapatkan poin yang lebih dari saya. Karena keterangan Gus Baha’ yang sangat luas pada malam itu.
Pertama, kenapa al-Qur’an sering mengkritik agama selain Islam (konsep trinitas, misalnya). Sementara al-Qur’an tidak pernah membicarakan, mengkritik, atau menyalahkan orang atheis atau nihilis, yang ia tidak punya agama, keyakinan, atau mengaku tidak bertuhan.
Gus Baha’ menjelaskan, karena ateis atau nihilis sudah tidak dianggap sebagai manusia. Jadi tidak perlu dikritik. Apalagi dijadikan rival. Bagi Ateis, dunia dan seisinya ini ada dengan sendirinya. Tanpa musabbibul asbab. Bagi al-Qur’an, orang yang mempunyai keyakinan seperti itu tidak perlu dilawan, karena sudah tidak dianggap sebagai manusia.
Dalam QS. Saba’ ayat 31 itu memiliki arti: “Dan orang-orang kafir berkata, “Kami sekali-kali tidak akan beriman kepada Al-Qur’an dan tidak (pula) kepada kitab sebelumnya.” Dan (alangkah hebatnya) kalau kamu lihat ketika orang-orang yang zalim itu dihadapkan kepada Tuhannya, sebagian dari mereka menghadapkan perkataan kepada sebagian yang lain; orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri, “Kalau tidaklah karena kamu, tentulah kami menjadi orang-orang yang beriman.”
Menurut Gus Baha’, orang kafir itu dibagi menjadi dua. Pertama, Kafir Ahlul Kitab. Kedua, Kafir Musyriq. Kafir Ahlul Kitab adalah ia yang masih mengikuti ajaran-ajaran nabi terdahulu atau agama samawi. Sementara kafir musyriq seperti agama Hindu, Budha, Konghuchu, Darmogandul, dan lain-lain.
Gus Baha’ menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani di dalam al-Qur’an diberi posisi atau kedudukan yang terhormat. Pertama, ia punya keyakinan yang sama akan ketuhanan (masih yakin kalau alam semesta ini ada yang menciptakan). Kedua, masih memercayai adanya hari kiamat atau hari kebangkitan manusia pasca mati. Ketiga, memiliki figur yang sama (yaitu para nabi-nabi terdahulu)—Nabi Isa, Nabi Musa, Nabi Ibrahim, dan lain-lain.
Ahlul kitab, agama semitik, agama samawi, atau disebut dengan agama ibrahimiyah (yang bertemu pada nabi Ibrahim), semuanya masih ada keterkaitan—atau kesamaan. Gus Baha’ menyontohkan nama tentang surga, kalau di Islam disebut sebagai Firdaus, sementara bagi kalangan Semitik menyebutnya Paradiso. Nama Dawud disebut David, nama Mikail disebut Michael. “makanya, kenapa Islam bisa lebih diterima di Eropa dan perkembangannya sangat cepat, karena mempunyai kesamaan-kesamaan dengan sejarah nabi-nabi terdahulu”. Jelas Gus Baha’.
Bahkan, Al-Qur’an sendiri secara tegas menyatakan bahwa sembelihan binatang oleh Ahlul Kitab itu halal. Sembelihan penganut agama Yahudi dan Nasrani dapat dimakan kaum Muslim (lihat, QS al-Maidah ayat 5).
Bahkan, menurut Syaikh Muhammad Abduh, seorang ulama Mesir kenamaan berpendapat bahwa sembelihan penganut agama Buddha, Hindu, pun dapat digolongkan dalam kelompok sembelihan Ahlul Kitab, dan demikian sembelihan mereka pun halal dan dapat dimakan. (lihat, Quraish Shihab Menjawab, 2014, hlm: 698).
Poin kedua, dalam konteks Indonesia, kenapa negara kita menganut paham atau dasar negara Pancasila. Hal ihwal ini sudah sangat tepat, di mana semua kelompok dan semua kepentingan diakomodir oleh negara. Para pendahulu kita sangat bijak memilih ideologi ini karena semua agama dan keyakinan tertampung di dalamnya.
Justru ketika ada paham yang ada kaitannya dengan anti ketuhanan dan mempunyai kepentingan politik, mereka itulah yang tidak bisa diterima oleh masyarakat Indonesia.
Hal ini menjadikan saya semakin yakin kalau bangsa Indonesia yang besar ini menjadi kuat dengan keberagamannya, tinggal semua elemen masyarakat bersatu menciptakan perubahan-perubahan yang lebih baik untuk lingkungannya. Toh sama-sama punya Tuhan, sama-sama mengikuti ajaran kitab sucinya masing-masing, dan semuanya sama-sama mempunyai figur yang diidolakan yang mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam pengajian itu poin penting yang saya dapat adalah ternyata kitab suci al-Qur’an menghormati dan memberi kedudukan terhormat semua agama yang ada di Indonesia. Wallahhu a’lam.
Muhammad Autad An Nasher, penulis bisa disapa melalui akun twitter @autad.