Ngaji Gus Baha: Seorang Dai Harus Berargumentasi yang Baik, Bukan Marah-marah Nggak Jelas

Ngaji Gus Baha: Seorang Dai Harus Berargumentasi yang Baik, Bukan Marah-marah Nggak Jelas

Ngaji Gus Baha: Seorang Dai Harus Berargumentasi yang Baik, Bukan Marah-marah Nggak Jelas

Gus Baha mengutip kitab Ihya Ulumiddin. Di sana ada ungkapan kekhawatiran Imam Ghazali mengenai pembaca al-Qur’an yang hanya sekedar membaca secara Hakiyan (pendongeng), bukan secara Qari’an (pembaca).

Maksudnya, jika pembacaan kita terhadap Al-Qur’an dan apa yang kita sampaikan pada orang lain sama dengan apa yang ada pada teks, tak mampu menggali makna lain, maka kita ini, menurut Imam Ghazali, tak ubahnya hanyalah seorang pendongeng belaka. Maka artinya, kita dituntut untuk memahami Al-Qur’an tidak sebatas pada teks saja, namun lebih dalam dan jauh lagi dari itu.

Gus Baha’ mencontohkan sosok Fir’aun yang mengaku dirinya sebagai tuhan. Diutusnya Nabi Musa oleh Allah untuk mendakwahi Firaun, Gus Baha’ mengkhawatirkan, jangan-jangan secara teori fikih, Fir’aun ini tidak salah, karena sebelumnya tak ada atau belum ada yang menasehatinya.

Sebab, menurut Gus Baha, dari peristiwa Nabi Musa dan Firaun ini dapat diambil suatu hikmah, bahwa suatu kemunkaran dapat divonis sebagai kemunkaran apabila pelakunya benar-benar sudah mendapatkan ajakan kebaikan/dakwah. Jika belum, maka ini dianggap sebagai suatu kesalahan sosial yang wajar.

Begitupun kita. Apabila melihat kemungkaran, kita sebagai orang yang di sekelilingnya hendaknya sadar diri. Sejauh mana kontribusi kita dalam mendidik mereka. Jangan-jangan keburukan yang mereka lakukan ini karena kesalahan kita yang tidak aktif dalam mengajak kebaikan. Bukan malah marah-marah tak jelas. Maka sekali lagi, sesuatu bisa dianggap keliru setelah adanya proses pembinaan.

“Lah itu namanya (baru) baca Qur’an. Bukan Hâkiyan (tukang dongeng),” tegas Gus Baha saat acara ngaji bersama di Masjid-Pesantren Bayt al-Qur’an, Ahad 24 November 2019 lalu.

Gus Baha merasa prihatin jika kisah dalam al-Qur’an ini dijadikan hanya sekedar cerita saja, tidak lebih. Kisah seperti di atas hanya diungkapkan sebagai perlawanan antara Nabi Musa dan Firaun belaka, atau hanya membahas kesaktian tongkat Nabi Musa lalu ramai-ramai ke Turki hanya untuk melihat tongkat tersebut. Demikian ini tentu tidak salah. Akan tetapi sebenarnya ada yang jauh lebih penting daripada itu.

Kalau kita membaca, Firaun ini memang jelas-jelas salah, karena menganggap dirinya sebagai tuhan. Namun, Allah menyalahkannya setelah adanya proses tarbiyah melalui Nabi Musa, yaitu melalui adu argumentasi.

“Tuhan seluruh alam itu siapa?” tanya Fir’aun.

Nabi Musa menjawab, “Dialah Tuhan pencipta langit dan bumi.”

Namun tampaknya Firaun tidak puas dengan jawaban tersebut. Dalam ayat lain, Firaun menyatakan bahwa di dunia ini tak ada Tuhan selain dirinya, lalu ia memerintahkan Haman (sang Patih) untuk membuat bangunan tinggi atas dasar keinginan Firaun yang ingin melihat Tuhan Nabi Musa.

Lalu Nabi Musa mengatakan, “Tuhan semesta alam yaitu Rabbukum wa Rabbu abaikum al-awwalin. Tuhanmu adalah Tuhan nenek moyangmu terdahulu”.

Dengan jawaban ini para pengikut Firaun mulai berfikir. Apabila Fir’aun ini Tuhan, lalu siapa yang menjadi tuhan dari nenek moyangnya terdahulu. Logika ini cukup mengena dan pikiran mereka mulai kacau.

“Ini artinya apa? Kita jadi berfikir bahwa Syarthud Da’i (syarat menjadi pendakwah) adalah Quwwatul Hujjah. Syarat seorang da’i adalah (harus) memiliki kekuatan argumentasi,” tambah Gus Baha’.

Merasa dikalahkan oleh Nabi Musa, Firaun menjadi marah dan tak mau menyerah. Dia mengancam “jika engkau menyembah tuhan selain aku, maka akan aku masukkan engkau ke dalam penjara”.

Ketika Firaun dalam kondisi marah dan mengancam seperti ini, rupanya Allah tidak rela seandainya Nabi Musa dikalahkan. Nah, dalam keadaan seperti inilah baru memakai kekuatan (mukjizat) untuk menghadapi Firaun.

“Jadi ada urutannya. Tapi orang-orang hanya cerita (tentang) mukjizatnya saja,” ungkap Gus Baha’.

Umumnya, dalam membaca kisah ini kita memang hanya melihat kemukjizatannya saja. Tidak mudah memang, dapat menggali makna yang sedemikian dalam, sebagaimana yang disampaikan Gus Baha’. Harus membaca ayat-ayat terkait secara komprehensif, dan butuh dzauq (pengamatan) yang salim (sehat). Lebih-lebih kisah Nabi Musa yang dalam Al-Qur’an tersebar di berbagai surat dan ‘terulang’ beberapa kali.

Meski pada akhirnya Firaun tetap kalah, namun proses dakwah ala Nabi Musa ini, menurut Gus Baha, tak boleh kita abaikan. Dalam bermasyarakat, kita harus aktif dalam mendidik orang sekitar, dan tak mudah emosi apabila melihat suatu kemunkaran yang jangan-jangan akibat kelalaian kita yang tidak menasehati mereka.

Secara umum, suatu apapun jangan kita abaikan prosesnya. Lalu, beliau menyitir dawuh Imam Ghazali:

Man ra’ânî fil bidâyah kâna shiddîqan. Wa man ra’ânî fin nihâyah kâna zindîqan.” (Orang yang mengenalku ketika berproses dalam hidup, maka dia temanku. Tetapi jika hanya melihatku saat aku jadi tokoh besar saja, maka dia zindiq.” (AN)

wAllâhu a’lam.