“Kami datang untuk mengucapkan selamat berlibur,
Dan selama liburan, kami bertanya kepada Anda,
Mengapa kita tidak memiliki hari libur atau dekorasi?
Oh, Dunia,
Tanah saya terbakar,
Tanah saya dicuri kebebasannya
Tanah saya kecil, seperti saya, tanah saya kecil.
Berikan kedamaian kepada kami kembali
Berikan masa kecil kami kembali”
Anak perempuan mungil itu bernyanyi di pentas seni di sebuah penampungan pengungsi sekaligus panti asuhan anak-anak Syiria di Sanliurfa, sebuah kota di Turki selatan. Para penonton cilik pun, yang kebanyakan adalah anak yatim dan/atau piatu atau terpisah dari orang tuanya, bertepuk tangan riang gembira, menyemangati penyanyi cilik itu. Tak lama, seorang rapper kecil dengan kumis buatan, dengan penuh percaya diri, mengisi acara. Saat itulah Isa, sang tokoh utama kita, hadir dengan wajah yang nyaris tanpa ekspresi.
Never Leave Me (Birakma Beni, 2017), film terbaru Aida Begic, mengisahkan tentang Isa, Ahmed dan Muataz, tiga anak yang sama-sama merasakan pahitnya perang dan terpisah dari orang tua.
Ketiganya, dan karakter cilik lainnya, dimainkan oleh pengungsi Syiria yang sebenarnya, dan diminta sutradaranya untuk berperan dalam kisah-kisah yang mirip dengan yang mereka alami di dunia nyata.
Terasa sekali emosi dan penghayatannya para pemainnya. Mereka baru saja kehilangan orang tua dan kehidupan normal, terasing di negeri lain dalam bahasa lain. Dan tentu saja, mereka bergelut di tengah suasana tak nyaman di tempat pengungsian: beradaptasi dengan keadaan, walau itu artinya menyakiti teman-temannya untuk bertahan hidup, atau tetap mempertahankan kepolosan kanak-kanak yang hakikatnya adalah dunia bermain.
Memakai aktor non-profesional dan melihat dunia dari kacamata anak-anak untuk menjadi kritik sosial budaya, sekilas mirip dengan ciri-ciri film- pendekatan neorealisme yang diterapkan oleh film Iran pasca 1997, khususnya Majid Majidi, Jafar Panahi, dan keluarga Makhmalbaf.
Semangat Aida, yang berjaya di Cannes untuk film Djeca (Children of Sarajevo, 2012) dan Snijeg (Snow, 2008) yang transnasional–seorang Bosnia melihat pengungsi Syiria di Turki–juga sekilas mirip dengan, misalnya Kandahar (Mohsen Makhmalbaf, 2001) atau Blackboard (2000, Samira Makhmalbaf) terkait pengungsi Afghanistan dan suku Kurdis. Tapi ada yang lain dari film yang menjadi duta Bosnia Herzegovina di Academy Awards 2019 ini.
Pertama, Aida mengalami sendiri kejadian yang mirip-mirip dialami oleh aktor-aktor ciliknya. Ia juga penyintas perang. Saat remaja, Bosnia dilanda perang (atau tepatnya: pembantaian) dari negeri tetangganya. Ia juga mengalami luka dan kehilangan, sesuatu yang menjadi nilai lebih saat mengarahkan dan juga melakukan riset mendalam tentang hal ini.
Ya, bersama Yetim Project, Aida hidup bersama dan berteman dengan para pengungsi dan yatim piatu Syiria ini di Turki, selama setahun, khususnya di daerah Gaziantep, Şanlıurfa, Hatay dan Akçakale.
Hasil dari lokakarya dan wawancancara dengan ratusan anak yatim itu, dengan kisah-kisah tentang perasaan, mimpi, dan harapan mereka menelurkan skenario film ini. Aktor-aktor di film ini para yatim piatu yang Aida kunjungi, dan dikembangkan menjadi skenario.
Dan hasilnya adalah Never Leave Me, yang berkisah tentang Isa (14 tahun), Ahmed (11), dan Muataz (10). Isa baru saja kehilangan ibunya menyusul gugurnya ayahnya yang tewas karena bom sewaktu mereka berkendara, hal yang dialami juga oleh aktornya (Isa Demlakhi). Muataz (Motaz Faez Basha) bercita-cita ingin bernyanyi di acara pencari bakat, berharap ibunya yang di Istambul, yang mengabaikannya setelah menikah lagi, akan melihatnya dan mengajaknya tinggal bersama. Sedangkan Ahmad (Ahmad Husrom) yang ceriwis, rindu dengan ayahnya sehingga acap berdelusi melihat sang ayah.
Kedua, jika dalam beberapa film Iran ditekankan pentingnya pendidikan (Children of Heaven, Blackboard, Budha Collapsed out of Shame) dan ada semangat pergi ke sekolah, film ini justru sebaliknya.
Isa, Ahmad, Muataz, selalu bolos sekolah (dan, karenanya, acap dimarahi oleh ibu asrama) untuk mencari nafkah dengan berjualan tisu di wilayah Balıklıgöl yang eksotis. Tak ada yang peduli dengan anak-anak jalanan ini. Tapi mereka giat bekerja. Tujuannya: pergi ke kota Adana, mengantarkan Ahmad ke ajang lomba menyanyi. Tapi Isa, rupanya punya motif lain: ia punya hutang dengan Karaca, gangster jalanan, yang harus dibayar secepatnya.
Anak-anak tetaplah anak-anak dengan berbagai karakteristiknya, walau di tengah guncangan pasca-perang. Ada Tukka, yang ingin membeli sepasang merpati untuk adiknya tetapi uangnya selalu kurang. Ada seorang perempuan abg yang kasar dan tak mau bergabung dengan anak jalanan lainnya, tapi sebenarnya baik hati.
Mengingat aktor-aktornya adalah juga pengungsi perang dan yatim/piatu, emosinya tertransfer kuat hingga ke penonton. Silahkan lihat bagaimana reaksi para pemainnya saat adegan ketika Ahmad, yang secara misterius menghilang, tiba-tiba muncul.
Dan lagu yang didendangkan biduan cilik di pentas seni itu, menjiwai film ini dan, boleh jadi, menghantui pikiran hingga terbawa pulang.
Never Leave Me menjadi film pembuka Madani Film Festival, sebuah festival film dunia Islam, yang berlangsung 17-21 Oktober 2018.