Negara Islam dan Ideologi Palsunya

Negara Islam dan Ideologi Palsunya

Negara Islam dan Ideologi Palsunya

Hubungan sinkronis antara Islam dan politik belum pernah mendasarkan pada sesuatu yang kita sebut sebagai ‘negara Islam’ atau implementasi dari syari’at Islam secara menyeluruh. Memang ada satu fakta yang menyebutkan bahwa para penguasa muslim sering mencari ketetapan Islam dalam kebijakan politiknya, tetapi hal ini tidak penah mewakili sebuah pendefinisian tentang arti negara Islam sebagai sebuah sistem yang jelas dan baku.

Meskipun, tidak dapat dipungkiri bahwa syari’at Islam memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan umat Islam baik secara pribadi maupun komintas umat secara luas. Tetapi, peranan ini dilakukan berdasarkan kesadaran ilahiyat dan keikhlasan dari komitmen setiap pribadi muslim. Bukan atas dasar kecenderungan yang tegas dalam menegakkan sebuah sistem yang disebut sebagai institusi/lembaga negara.

Sebenarnya, gagasan tentang ‘negara Islam’ muncul bersamaan sekaligus bagian dari periode pembaharuan yang dilakukan oleh banyak kelompok konservatif pada sekitar pertengahan abad ke-20. Betapapun fenomena ini berangkat dari pemahaman tentang doktrin normatif Islam dan Al-Qu’ran, tetapi gagasan ini sebenarnya bertentangan secara faktual dengan kitab suci yang sejauh ini, tidak dipahami dan dipraktikkan kecuali melalui akal pikiran (produk pemikiran manusia) dan pengalaman historis umat Islam sendiri.

Jika produk pemikiran merupakan sebuah hasil dari suatu pergolakan intelektual antara wahyu dan usaha-usaha yang dilakukan untuk memahami petunjuk itu (dalam pengalaman yang menyejarah), maka sebuah ketetapan sistem institutional yang muncul dari penyelarasan antara wahyu dan cara memahaminya yang historis tidak pernah bisa disebut sebagai sebuah produk dari kecenderungan sistem teokrasi dalam bernegara.

Ini sebenarnya lebih merupakan konklusi dari ketetapan dan usaha umat Islam dalam menetapkan suatu nilai agama dalam konteks persoalan-persoalan yang mengiri keadaan dan perkembangan kondisi masyarakat, seperti dalam politik, sosial bahkan ekonomi.

Mengingat bahwa perkembangan sejarah terjadi secara terus-menerus di samping problem-problem yang menyertainya, apalagi jika melihat situasi modern saat ini, sudah menjadi jelas dan niscaya bahwa ada kebutuhan untuk merumuskan cara-cara baru dalam perubahan sosial-politik yang begitu tidak menentu, pertanyannya apakah Islam sebagai sistem politik misalnya, mampu merumuskan nilai-nilai itu dalam sebuah sistem yang komprehensif dan total?

Ide ‘negara Islam’ adalah suatu kesalahpahaman di samping tidak didukung oleh gagasan dan serangkaian aturan yang jelas, juga bertentangan dengan kondisi realitas faktual di mana pemikiran politik begitu beragam dan selalu mengalami perkembangan sesuai dengan kebutuhan dan relevansinya bagi keadaan sosial yang ada. Bukan hanya pemikiran politik, pemikiran tentang keagamaan juga berkembang dan tidak pernah menunjukkan satu koherensi yang jelas antara satu pemikiran dengan pemikiran yang lain.

Prinsip politik adalah penyatuan, sistem yang dijalankan dari berpolitik juga harus tunggal yang lalu mengarah pada satu cita-cita bersama yang dapat menyatukan seluruh aspirasi keragaman pandangan dalam satu misi yang total. Jika pandangan tentang hubungan antara Islam dan politik tidak pernah menyatu, apalagi justru didapati banyak memiliki pertentangan dan ketidakkonsistenan, maka sampai kapan pun, perumusan sistem politik Islam yang komprehensif dan baku dalam cita-cita pendirian ‘negara Islam’ tidak akan pernah terjadi.

Di tambah lagi, rekonstruksi syari’at Islam tidak lain adalah bentukkan manusia yang bersifat duniawi. Syari’at adalah seperangkat ketetapan dan aturan-aturan agama yang dirumuskan melalui kitab suci, tetapi perumusan itu dilakukan melalui alam pikiran manusia yang menyejarah dan ada banyak kondisi-kondisi eksternal yang mempengaruhi terbentuknya konstruksi syari’at.

Harus diakui bahwa konstruksi syari’at sebenarnya lebih dikondisikan oleh pengalaman faktual dalam masyarakat Islam, bukan pernyataan langsung dari firman Ilahi yang jauh dari dorongan-dorongan nafsu dan kesalahan tindakan manusia. Sehingga proyek penegakan syari’at dalam insitusi negara sebagai suatu bentuk perintah Tuhan sedari awal sudah sangat kontradiktif.

Jika kita melihat beberapa negara di Timur Tengah seperti Saudi dan Iran yang sejuah ini disebut sebagai ‘negara Islam’ ternyata tidak seislamis yang dibayangkan. Syari’at tidak sepenuhnya dapat melegitimasi dalam konteks negara modern, karena ada satu kecenderungan di mana tangan-tangan manusia bertindak untuk memasukkan prinsip-prisip ke dalam apa yang kita sebuat hukum positif, Iran misalnya, dalam beberapa hal menerapkan sistem demokrasi.

Selain itu, penegakan syari’at Islam ternyata akan bertentangan secara prinsipil dengan hakikat kebebasan manusia dalam memilih dan menentukan di antara sekian banyak pemahaman dan interpretasi al-Qur’an yang berbeda-beda, perbedaan ini bukan hanya pada tataran antar kelompok, tetapi dalam satu kelompok secara internal, juga seringkali didapati pertentangan yang cukup keras tentang pemahaman akan kitab suci.

Ini semakin mempertegas bahwa syari’at ternyata hanya menyediakan aturan dan petunjuk yang umum dalam penetapan hukum, tidak menyediakan seperangkat aturan dan muatan-muatan hukum secara tegas dan komprehensif.

Menurut pandangan saya, masalah penting yang menyertai hubungan antara Islam dan politik berawal dari pertalian yang intim antara Islam dan sejarahnya. Kitab suci dan praktik-praktik yang dilakukan oleh komunitas muslim awal, di mana sebagian besar turunnya wahyu didasarkan atas responnya terhadap masyarakat Islam dalam koridor ruang dan waktu.

Selain itu, pertalian antara kitab suci dan penerapan syari’at mempengaruhi konteks perluasan ekspansi kekuatan umat Islam yang menyebar secara laus ke berbagai belahan dunia. Begitupun sebaliknya, konteks sejarah kekuasaan Islam pada waktu itu juga mempengaruhi bangunan prinsip-prinsip syari’at Islam pada tahap konstruksinya.

Namun demikian, ada masalah serius yang perlu dikemukakan, yakni pada periode belakangan, banyak dari kalangan umat Islam memandang dan memposisikan syari’at secara sama saja dengan ‘Islam’ (grand narrative), yang kemudiaan melahirkan pandangan bahwa seluruh sistem hukum, tatanan sosial dan politik, harus berangkat dari syari’at. Padahal, Islam sampai kapan pun tidak akan pernah sama dengan syari’at yang penuh dengan tangan-tangan manusia.

Keyakinan tentang keselarasan antara tatanan sosial yang harus berangkat dari syari’at didasarkan pada satu perjalanan sejarah ketika Islam mulai meluas melampaui batas-batas teritorial antara Makkah dan Madinah, ekspansi tersebut dianggap awal mula dari jalinan di mana syari’at Islam diterapkan. Padahal, pembentukan syari’at Islam tidak pernah lepas dari kondisi sejarah.

Ini melahirkan satu persoalan baru di mana ketika kondisi dahulu dan sekarang memiliki perbedaan, akibat perubahan kurun waktu dan situasi yang berbeda-beda, lalu memunculkan sebuah pertanyaan apakah hubungan yang sangat erat antara Islam sebagai agama dan sejarah masyarakat muslim dapat dihapus? Mungkinkah menerapkan esensi Islam yang universal dalam konteks waktu dan tempat tertentu secara spesifik?

Kelompok militan yang menginginkan pendirian ‘negara Islam’ seringkali mengklaim bahwa negara Madinah yang didirikan oleh sang Nabi pada waktu itu adalah model hostoris dari ‘negara Islam’ yang ideal dan legitimatif, yakni dengan menerapan syari’at dalam institusi negara.

Klaim ini sekurang-kurangnya, memiliki satu kelemahan, yaitu sistem bernegara dan kondisi masyarakat pada periode itu, memiliki keistimewaan tertentu dibandingkan dengan masyarakat dan kekuasaan Islam selanjutnya, yakni era sahabat dan daulah Islamiyah selanjutnya. Mereka yang hidup bersama sang Nabi, di samping menjalankan ketentuan Islam, juga segala usaha yang dilakukan dalam menjalankan roda pemerintahan, mendapatkan inspirasi dan petunjuk langsung dari Nabi yang bahkan tidak ada dalam al-Qur’an.

Itu artinya bahwa tidak ada bentuk aturan dalam institusi negara yang dapat menjustifikasi suatu kebijakan politik dan memutuskan berbagai perselisihan, kecuali melalui Nabi sendiri, yang dalam banyak hal sangat terikat dengan konteks zamannya. Ketika Nabi wafat, umat Islam lalu kebingunan dalam menentukan arah pemerintahan selanjutnya, malahan, banyak suku-suku yang tercerai berai karena mereka tidak siap dengan kepergian sang Nabi.

Terakhir, saya ingin menegaskan bahwa hasrat dan ego (yang niscaya dapat berbuat salah) manusia tidak akan pernah bisa dilepaskan dalam setiap mengatur dan menjalankan tatanan kehidupan sosial. Jika ini dihubungkan dengan konteks ‘Islam’, maka hasrat itu akan sangat berperan penting dalam menafsirkan kitab-kitab suci sebagai pedoman hidup, apalagi jika interpretasi itu sudah pada tahap implementasi dalam setiap kebijakan politik.

Jadi, selama manusia dapat berbuat kesalahan dan memungkinkan adanya kondisi-kondisi ketidaksepahaman dalam memutuskan perkara tertentu, maka selama itulah sistem ‘negara Islam’ akan sulit didirikan. Apakah layak menutupi kesalahan-kesalahan ego atas nama ‘negara Islam’?

Rohmatul Izad. Mahasiswa Pascasarjana Ilmu UGM, Ketua Pusat Studi Islam dan Ilmu-ilmu Sosial Pesantren Baitul Hikmah Krapyak Yogyakarta.