Bagi umat Islam yang meyakini mendirikan Negara Islam adalah sebuah keharusan, terus berusaha mewuwudkannya merupakan konsekuensi logis dari keyakinannya itu. Tidak mendirikan negara Islam adalah berdosa bagi mereka. Mungkin kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah contoh yang terdekat dalam masalah ini. Walaupun sudah dibubarkan dan gugatannya ditolak karena terbukti berkeinginan mendirikan Khilafah di Negara Kesatuan Republik Indonesia (kompas.com-07/05/2018), namun masih terasa gemanya dari trending topik twitter pada 07/05/2018 kemarin.
Persoalan keyakinan yang timbul dari pemahaman tak lantas hilang, walau organisasinya telah dibubarkan. Keyakinan atas suatu hal berpotensi berubah, jika terjadi sebuah dialog dengan argumen-argumen kuat dan logis. Mengingat tidak semua umat Islam sepakat terkait kewajiban mendirikan Negara Islam, maka hal ini layak didiskusikan kembali. Mari kita awali dengan sebuah pertanyaan, adakah konsep Negara dalam Islam dan kewajiban mendirikannya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis akan bercerita tentang pengembaraan Gus Dur dalam mencari konsep negara Islam. Kenapa Gus Dur? Secara kapasitas Gus Dur adalah tokoh yang mengkaji Islam secara mendalam. Ia seorang yang terlahir dari keluarga ulama besar dan belajar Islam di pondok pesantren dan juga luar negeri (Mesir dan Baghdad), ditambah beliau juga pernah menjadi pemimpin organisasi Islam terbesar (Nahdlatul Ulama) dan pernah memimpin bangsa ini.
Pengembaraan Gus Dur perihal Negara Islam ini menjelajahi dua wilayah: teks dan sejarah. Kata Gus Dur dalam salah satu tulisannnya di buku Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Era Lengser, pengertian negara dari kata “daulah” tidak dikenal al-Qur’an. Dalam al-Qur’an, kata tersebut (di al-Qur’an dibaca “duulatan”) bermakna berputar atau beredar, yang terdapat pada surat al-Hasr ayat 7: “agar harta yang terkumpul itu tidak berputar/beredar anatara orang-orang kaya saja di lingkungan Anda semua”.
Dengan bersandar pada pembuktian tekstual ini, Gus Dur mengatakan bahwa yang dianggap oleh al-Qur’an bukan bentuk negara itu sendiri, melainkan sistem ekonomi dari sebuah negara. Singkat kata, Islam tidak memandang penting konsep negara itu sendiri. Dari pada bentuk, Islam lebih mengutamakan fungsinya.
Pada pengembaran di wilayah lain, yakni wilayah historis atau sejarah—yang juga ditulis dalam bukunya yang lain: Islamku Islam Anda Islam Kita—Gus Dur melakukan penelusuran yang berakhir pada kesimpulan serupa dengan pengembaraannya di wilayah teks. Dilihat dari kacamata historis, bentuk kempemimpinan yang dipraktikkan umat Islam senantiasa berubah. Pengangkatan Sayyidina Abu Bakar sebagai pemimpin dengan sistem prasetia/baiat dari para kepala suku atau wakli-wakilnya kepada beliau, berlanjut dengan model penunjukkan beliau kepada Sayyidina Umar sebagai penerusnya sebelum beliau meninggal, kemudian sistem ahlul halli wal aqdi/elector—sama dengan sistem yang dianut MPR RI era terpilihnya Gus Dur jadi Presiden—dalam pengangkatan Sayyidina Utsman bin Affan, berdasarkan permintaan Sayyidina Umar di akhir masa hidupnya, sesaat setelah beliau ditikam oleh Abu Lu’luah, lalu Sayyidina Utsman digantikan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib, dan berlanjut ke sistem kerajaan atau keturunan dan seterusnya.
Bentuk-bentuk pengangkatan pemimpin yang berubah-rubah itu bagi Gus Dur merupakan sebuah bukti, atau boleh dikatakan Islam tidak mengenal konsep negara. Kesimpulan ini diperkuat oleh Gus Dur dengan menyebutkan beberapa data sejarah bahwa pada perjalanannya Islam tidak menentukan besarnya negara yang akan dibentuk. Pada masa Nabi Muhammad, negara hanya meliputi Madinah dan sekitarnya, lalu berupa imperium dunia pada masa khalifah dan diteruskan oleh Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasyiah. Misalnya pada masa Sayyina Umar, Islam mencakup wilayah pantai timur Atlantik sampai Asia Tenggara.
Pada masa selanjutnya, berdiri kerajaan-kerajaan lokal seperti Dinasti Murabbitiin di barat Afrika, hingga kerajaan Mataram di pulau Jawa. Dan menururt Gus Dur apakah sebuah Negara Islam mendunia atau hanya meliputi sebuah bangsa, juga tidak ada kejelasan. Demikian itu pula, apakah bentuk negara bangsa (nation-state) atau negara kota (nation-city) yang menjadi konseptualnya, juga tidak jelas.
Begitulah pengembaraan Gus Dur atas konsep Negara Islam yang ternyata tidak ia temukan, baik dari teks primer Islam (berbagai penolakan Gus Dur terhadap argumentasi formalisasi ajaran Islam tidak hanya terbatas pada apa yang ditulis di atas, masih banyak lagi argumen lain yang terdapat diberbagai tulisan Gus Dur), maupun dari sejarah umat Islam itu sendiri. Bagi Gus Dur Islam sebagai jalan hidup (syari’ah) tidak memiliki konsep yang jelas perihal negara.
Dalam proses pengembaraannya, ada yang menarik untuk diketengahkan di sini. Dalam artikelnya yang berjudul Islamku Islam Anda Islam Kita, Gus Dur bercerita. Dulu, kisaran tahun 50-an, saat Gus Dur masih di Jombang, ia sempat mengikuti jalan pikiran kaum ekstrimis, dan terut serta dalam gerakan Ikhwanul Muslimin. Lalu kemudian kisaran tahun 60-an beliau belajar Nasionalisme Arab di Mesir dan Sosialisme Arab di Baghdad. Sepulangnya ke tanah air sekitar tahun 70-an, Gus Dur menganggap Islam sebagai jalan hidup (syari’ah) yang saling belajar dan mengambil berbagai ideologi non-agama, dan berbagai pandangan dari agama-agama yang lain. Pemahaman Gus Dur yang disebut terakhir ini, dikemudian hari dikenal dengan Islam Kosmopolitan.
Sebelum penulis tutup, ada sebuah pepatah yang dikutip oleh Syekh Abdurrahman al-Akhdhori dalam kitab mantiqnya (baca: ilmu logika), yang sampai sekarang masih diajarkan di moyoritas pesanten di Indonesia: “Betapa banyak seseorang yang merubah sesuatu yang telah benar, karena salahnya pemahaman”.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah bentuk yang disepakati para leluhur kita dulu, yang penguasaan mereka atas ajaran Islam kita tahu bersama kualitasnya. Jangan-jangan keinginan mengganti NKRI dengan sistem khilafah masuk dalam pepatah di atas? Mari kita renungkan kembali.
Zaim Ahya, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.