Meningkatnya kasus-kasus kekerasan komunal bermotif keagamaan di sejumlah daerah di Indonesia paska-reformasi melempar pertanyaan ini: apa yang sebetulnya terjadi dan apa pemicunya?
Jika disederhanakan, kajian dan usaha-usaha menilik fenomena yang banyak memakan korban dari kalangan minoritas ini biasanya dapat dibagi dalam dua pendekatan utama: berpusat pada negara (state-centered) atau berpusat pada masyarakat (society-centered).
Istilah ini saya jumput dari istilah yang digunakan almarhum Bahtiar Effendi, profesor politik Islam dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pandangan ini dikemukakan saat memberi pengantar buku edisi vesi Bahasa Indonesia Julie Chrnov Hwang yang diterbitkan Freedom Institute delapan tahun silam. Julie asisten profesor pada Departemen Ilmu Politik dan hubungan Internasional di goucher College, Maryland, Amerika Serikat.
Buku Julie ini sendiri sebetulnya menjelaskan bagaimana gerakan damai kalangan islamis di dunia muslim. Ia membandingkan kasus di tiga negara: Indonesia, Malaysia, dan Turki. Dengan nada tegas, ia mengatakan jika pesan utama buku ini ialah bahwa negara itu penting.
Ia ingin menantang pandangan yang menilai jika negara-negara muslim seringkali dianggap diktatorial dan penindas. Negara-negara ini sering loyo dan tak kuasa menghadapi menjamurnya pergerakan-pergerakan Islamis. “Tidak begitu,” katanya. Negara-negara muslim ini kenyataannya mampu memengaruhi via kebijakan mereka dan akomodasi-akomodasi terhadap aspirasi kelompok tersebut.
Belakangan ini mulai muncul kajian-kajian yang tidak lagi hanya melihat dengan kacamata diametral, antara fokus pada peran negara atau masyarakat. Sebagian kajian justru berusaha melihat bagaimana “peran kolaboratif” antara negara dengan masyarakat. Salah satu karya yang banyak diperbincangkan yang menurut saya menggunakan pendekatan ini adalah karya Jerermy Menchik yang lahir pada 2015 bertajuk Productive Intolerance: Godly Nationalism in Indonesia.
Asisten Profesor di Frederick S. Pardee School of Global Studies di Boston University Amaerika itu mengajukan istilah “nasionalisme berketuhanan”. Ini semacam ideology yang membayangkan bahwa ada komunitas yang diikat oleh konsep teisme yang dimobilisasi oleh negara berkomplot dengan “organisasi keagamaan”. Inilah yang menyebabkan mereka yang tak dianggap segaris dengan konsep nasionalisme berketuhan akan didiskriminasi dan disingkirkan. Salah satunya lewat kekerasan yang tampak “direstui” negara. Begitulah yang terjadi dengan Jemaat Ahmadiyah Indoensia (JAI), komunitas Gafatar, komunitas Syiah, komunitas gereja, dan mereka yang dituding sesat.
The State and Religious Violence in Indonesia: Minority Faiths and Vigilantism yang diterbitkan Routledge tahun ini karya A’an Suryana dapat diletakan dalam pendekatan bermiripan, yakni, memberi fokus pada “hubungan kolaboratif” antara negara dan masyarakat. Lebih tepatnya melihat bagaimana keduanya “berkomplot” dan saling mengambil keuntungan politik dan ekonomi.
Buku ini berangkat dari argumen yang tampaknya suram dalam melihat tantangan kekerasan bermotif agama ini. Kira-kira begini alasannya. Terang saja negara loyo, letih, dan lesu mengatasi masalah kekerasan sebeb negara punya hubungan dan kepentingan saling menguntungkan dengan kelompok vigilante. Itulah mengapa sebagian pejabat ogah-ogahan untuk mencegah insiden kekerasan agama atau membuat tuntutan hukum yang tak sepadan terhadap kelompok vigilante.
Ia meenyontohkan hubungan pemerintah dan beberapa pejabat di Kabupeten Kuningan Jawa Barat dengan Gerakan Anti Maksiat (GAMAS) dan Gabungan Inisiatif Barisan Anak Siliwangi (GIBAS). Kedua organisasi ini getol menyuarakan anti-Ahmadiyah. Untuk menjalankannya, keduanya tak jarang membuat organiasi taktis dan bekerjasam dengan komunitas atau organisasi lain. Misalnya, GERAH, RUDAL, and BARAK, yang bekolaborasi dengan FPI, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), and Jamaah Anshorut Tauhid (JAT). Nama terakhir belakangan disebut terkait dengan jaringan terorisme.
Dalam isu kemaksiatan, media lokal pada 12 Juni 2008, seperti dikutip buku ini, menyebut jika ratusan anggoita GAMAS bergabung dengan Satpol PP menggelar razia restiran dan tempat-tempat hiburan di kawasan Kabupaten Kuningan. Ini contoh hubungan keduanya. Beberapa tahun berikutnya, hubungan itu antara pemerintah lokal dengan organisasi ini juga masih terjalin. Pada Januari 2015, Bupati Kuningkan Resmikan Warung milik Manaf Suharnaf, ketua Gibas Kuningan.
Buku ini menjadikan dua daerah Sampang dan Manislor sebagai studi kasus. Satu kasus Jemat Ahmadiyah Indonesia dan satu kasus komunitas Syiah yang menjadi korban kekerasan. Riset ini menggunakan metode etnografi dengan turun lapangan selama 7 bulan pada 2013. Mewancarai 40 korban dan mereka yang tahu kejadian. Lainnya lusinan pejabat pemerintah,tokoh agama juga menjadi sumber buku ini.
Dalam situasi meraba-raba mengorek jawaban mengapa “negara” di dua wilayah kabupaten hingga desa ini (Sampang dan Manislor) loyo dan hukuman terhadap para pelaku kekerasab tak sepadan, buku ini bakal memberi terang jawaban. “Bagi saya buku ini tak ubahnya semacam ‘berita acara pemeriksaan’ yang cukup lengkap menunjukan bagaimana keterlibatan negara dan kelompok vigilante betul-betul terlibat dalam insiden kekerasan dan bagaimana menganalisisnya. Keduanya tak bisa mengelak. Layak dibaca!”
A’an Suryana doktor lulusan Australian National University (ANU), Canberra, Australia. Ia punya latar belakang sebagai jurnalis di Jakarta Post dan menerima Hubert H. Humphrey Fellow 2005. Saat ini menjadi pengajar di School of Government and Public Policy (SGPP) Indonesia. Itu artinya, mohon dicatat, beliau dosen saya. Dari seluruh pembicaraan yang panjang lebar, hal pokoknya hanya yang kalimat terakhir ini. Rabu depan kami akan mendiskusikan bukunya bersama Nava Nuraniyah, analis dan peneliti pada Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Indonesia.