Kita sering mengelus dada tatkala menyimak ingar-bingar kontroversi di masyarakat yang bersumber dari khutbah-khutbah dakwah, ungkapan-ungkapan, dan sikap-sikap ekstrim dalam berislam. Sebagian terjadi di dalam panggung-panggung khutbah masjid bahkan. Sebagiannya lagi dirayakan dengan ingar-bingar, gebyar meriah, bagai sedang merayakan panji-panji keagungan Islam –al-Islamu ya’lu wala yu’la ‘alaih. Panji-panji provokasi, agitasi, kebencian, bahkan acap terjungkal pada fitnah.
Saat artikel ini ditulis (12 Maret 2020), saya tercekat di hadapan sebuah poster tabligh akbar yang diunggah luas di sosial media dengan mengambil judul tema “Syiah Lebih Berbahaya Daripada Virus Corona.”
Ya Ilahi, Gusti Allah ya rabbal ‘alamin….
Mendadak saya teringat suatu khutbah Jumat di kampung setahunan silam. Seorang khatib yang telah berumur dengan heorik mengatakan bahwa umat Islam di negeri ini akan diusir dari tanahnya sendiri, dibunuhi, dirampasi harta-hartanya, karena telah disiapkan jutaan komunis untuk mengambil alih keberadaan umat Islam. Sungguh ini tak main-main!
Baru-baru ini kita menyaksikan edaran video seseorang kembali mengeluarkan tudingan-tudingan frontal, keras, dan provokatif terhadap pemerintah kita sendiri. Juga NU. Lema komunisme pun dideraikan dengan penuh cekaman. Keresahan pun merebak tak terbendung.
Sering sekali begitu, dan terus berulang.
Dalam skala lainnya, berlingkup relasi antar-umat beragama, pernah seorang ustadz dengan santai saja melontarkan hinaan-hinaan menggiris kepada non-muslim dari panggung masjid. Dengan membenarkan diri pada kutipan-kutipan yang disebutnya dalil-dalil, ia tuding simbol-simbol religius agama lain sebagai tempat iblis, setan, dan sekaumnya. Agama lain dikoyak begitu saja marwahnya.
Sontak riuhlah semua kita.
Selang waktu, ustadz bersangkutan merilis klarifikasi–dan isinya pembelaan diri lagi—bahwa acara tersebut digelar di dalam masjid, jadi hanya untuk komunitas muslim, dan apa yang dikhutbahkannya adalah kebenaran syariat. Jika lantas memicu kemelut, itu bukan salahnya, tetapi salah mereka yang menayangkannya di sosial media. Jadi, tidak ada yang perlu dimintakan maaf atas kejadian tersebut.
Prof. Quraish Shihab dengan gaya kalemnya berkomentar tanpa menyebut nama ustadz kontroversial tersebut: “Umpama saya mengatakan sesuatu yang menurut saya benar secara dalil dan ilmu, tetapi menyinggung perasaan pihak lain, saya akan meminta maaf….”
Memang beda, sangat beda, kualitas seorang ulama yang menep hatinya dengan ahli ilmu yang belum bersendikan kemendalaman hati nuraninya dan terus-menerus memuja ilmunya.
Mengapa hal-hal polemis, bahkan agitatif, yang menguras energi kebersamaan kita dan rawan mengoyak kesatuan kita terus terjadi di negeri yang majemuk ini? Tegasnya, mengapa dakwah kebencian terus berlesatan di seantero pertiwi ini?
Saya ingin menjawabnya secara besar-besaran: akibat absennya negara!! Dalam berbagai hal, saya semakin kecewa saja kepada kinerja pemerintahan terkini ini.
Ke mana negara yang bertugas mutlak menjaga keharmonisan bangsa ini tanpa keberpihakan kepada agama-agama apa pun karena semuanya adalah rakyat yang tidak lain tidak bukan merupakan anak kandung pertiwi?
Absennya negara pada kejadian-kejadian memilukan bagi harmoni kemajemukan NKRI ini tentu sangat mengecewakan. Negara sebagai ulil amri bagai membiarkan anak-anak yang diampunya bergumul satu sama lain, melampaui batas-batas kekeluargaan, sehingga makin lama makin menjadi kebiasaan. Yang mayoritas makin enteng-entengan unjuk kekuatan, yang minoritas terus tertindas, dan boleh jadi dalam skalanya masing-masing juga melakukan pembalasan. Apa jadinya bila antar-agama, antar-mazhab, antar-ormas, terus saling gontok-gontokan dan dibiarkan oleh negara?
Jika dicermati dengan detail, sejumlah orang yang semena-mena mencerca pihak lain di ruang publik begitu, atas nama kebenaran agama, adalah orang-orang yang bernama besar, punya massa jamaah yang besar, dan karenanya niscaya berpengaruh besar pula. Ujaran-ujaran kebencian dan penistaan kepada pihak-pihak lain yang dilakukannya bagaikan virus kebangsaan yang terus menular satu demi satu, majelis demi majelis, jamaah demi jamaah, lingkungan demi lingkungan, dan seterusnya.
Kita telah menyaksikan dengan hati pedih berbagai kejadian viral yang melibatkan anak-anak kecil memekikkan nada-nada permusuhan dan kebencian kapada agama-agama lain di berbagai wilayah. Anak-anak kecil itu tentulah diajari oleh mereka yang besar, bisa gurunya atau orang tuanya, yang menuai dakwah kebencian dan permusuhan atas nama kebenaran agamanya itu di antaranya dari majelis-majelis begitu rupa.
Bagaimana mungkin bibit-bibit disharmoni bangsa yang dibiakkan oleh dakwah-dakwah kebencian beginian dibiarkan saja oleh negara? Mau jadi apa kelak saat anak-anak itu telah tiba waktunya untuk menjadi pemegang berbagai kursi strategis di lembaga-lembaga pemerintahan kita?
Aneh, sungguh tak masuk di akal sehat kita.
Negara, sekali lagi, adalah ulil amri –suka tak suka kita kepada satu atau dia kebijakannya. Derajat spiritual ulil amri hanyalah segaris di bawah kewajiban patuh kita kepada Allah Swt dan RasulNya Saw.
Ulil amri sebagai pemimpin, pemegang otoritas, negeri luas yang beraneka keyakinan dan agama ini sudah pasti harus senantiasa menjamin kebebasan beragama dan menjalankan ibadah semua pemeluk agama yang resmi diayomi. Tidak bisa dibenarkan sama sekali dari kacamata kepemimpinan untuk membiarkan setiap tindakan yang rawan mengoyak keterayoman semua elemen bangsa ini. Ini hukum mutlaknya!
Tapi, kenapa negara tidak gemar menjalankan kewajiban mutlaknya tersebut? Mengapa negara membiarkan narasi-narasi dan termasuk yang bertopeng dakwah-dakwah kebencian itu diabiarkan terus melenggang kangkung hingga lama-lama menjelma seolah kebenaran?
Mau tak mau, mesti dituturkan di titik ini perihal silang-sengkarut kepentingan politik praktis para elit penguasa negeri ini, dari level pusat sampai daerah.
Di Karimunjawa, misal, kita mendengar kabar luas perihal diusiknya sebuah gereja yang telah berdiri bahkan sejak sebelum negara ini berdiri dan telah memiliki ijin sah dari pemerintah dalam bentuk IMB, tetapi pemerintah daerahnya tak bisa tampil di depan dengan tegak di hadapan sejumlah kelompok yang mempermasalahkan keberadaan rumah ibadah tersebut.
Memang tak bisa dipungkiri bahwa para pemimpin kekuasaan memerlukan dukungan politik yang solid dari khalayak luas. Demokrasi yang kita anut memang menisbatkan hal tersebut.
Akan tetapi, mesti dan mesti semua pemimpin itu tidak berkiblat kepada corong-corong politik praktis ini demi mendedikasikan secara sangat utama posisi strategisnya bagi pengayoman semua elemen bangsa dan wilayah. Jika pemimpinnya semata menjadikan kekuatan-kekuatan politik sebagai basis langkah dan kebijakannya, walhasil akan tergadaikanlah banyak agenda kepentingan besar yang menjadi kata kunci bagi soliditas NKRI ini. Perilaku pemimpin sejenis ini jelas telah melenceng benar dari amanat kepemimpinannya dan hanya akan menyisakan madharat-madharat bagi kohesi nasional kita.
Kita mengerti bahwa amat banyak tokoh politik di negeri ini yang dengan sengaja betul menjadikan politik identitas keagamaan sebagai basis kekuatan bargaining-nya. Helaan-helaan simbolis keislaman dalam berbagai momentum yang sebagiannya sungguh terasa dipaksakan hingga begitu menyebalkan sekaligus menggelikan membuktikan dengan telanjang eksploitasi tersebut.
Entah itu yang berjuluk reuni-reunian, bela ulama-ulama tanpa ujung, anti kriminalisasi Islam, dll., dalam berbagai demo yang menguras energi bangsa ini, dieskploitasi terus semata untuk mendulang suara politik elektoral, dan terus dikawal begitu, dan tentulah dijadikan “alat barter” dengan pusat-pusat kekuasaan. Betul, Anda tak salah, pada dasarnya ketulusan dan sekaligus keluguan umatlah yang dikeduk terus-menerus secara emosional untuk dijadikan lumbung suara politik mereka.
Tentu saja, ini adalah cara berpolitik yang banal. Amat disayangkan. Tapi faktanya itu jugalah yang terus dieksploitasi. Pertanyaannya, mengapa negara diam?
Tepat pada titik inilah saya ingin mengatakan bahwa sejumlah petinggi kita di pemerintahan memang menjadikan spektrum-spektrum politik partisan begitu sebagai lumbung politiknya. Dengan bahasa telanjang, ada elit-elit yang sengaja memeliharanya untuk dijadikan kekuatan bargaining politiknya sekaligus lumbung suara elektoralnya.
Dikarenakan situasi nasionalnya memang mengandung indikasi-indikasi begituan, dapat dibayangkan betapa di lingkup akar rumput bisa menjadi lebih banal lagi. Sebagian corong strategisnya adalah mimbar khutbah Jum’at atau pengajian-pengajian akbar. Walhasil, berkali-kali kita menyaksikan para penceramah dengan sengaja menyelipkan atau bahkan mengeksploitasi dengan telanjang narasi-narasi sejenis itu yang sungguh berbahaya bagi harmoni sosial kita yang majemuk.
Antar-tetangga bisa jadi tak lagi akur karena beda pilihan politiknya; antar-tetangga bisa tak sejamaah lagi karena menuding tetangganya salah, sesat, dan tak sesuai ajaran Islam lagi; bahkan pecah belah antar-saudara pun bisa saja telah terjadi.
Islam dieksploitasi untuk kepentingan politik pragmatis, menimbun sumber suara politik elektoral, dan dijadikan alat bargaining dengan poros-poros kekuasaan. Sungguh ngilu dan nyeri rasanya hati ini menyaksikan hal-hal yang tak pantas itu.
Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mengubah keadaan?
Pertama, tentu saja menjadi bagian kritis bagi kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak akomodatif terhadap harmoni kemajemukan dan kebangsaan kita. Tak peduli itu di level pusat maupun daerah, suara kritis menjadi ujung tombak bagi mekanisme kontrol di luar pusat kekuasaan yang ada. Tentu, dengan kritisi-kritisi yang berkelas, otoritatif, dan semata berniat bagi kemaslahatan bangsa ini.
Kedua, meningkatkan derajat keilmuan setiap kita, dari level-level yang paling rasional untuk kita jangkau. Ini akan menjadi sumber kritisisme bagi pelbagai ajakan, dorongan, maupun sebaran provokasi bertendensi eksploitasi Islam, entah yang mengatasnamakan kelompok berlabel Islam maupun pengajian, kajian, liqa’, dll. Meningkatnya kritisisme kita kepada suatu ungkapan, narasi, dan sikap yang tendensius bagi harmoni kemajemukan bangsa merupakan indikasi bagi makin luasnya kesadaran mendasar yang cermat dan jeli dalam membedakan mana eksploitasi Islam untuk kepentingan politik partisan dengan mana eksplorasi Islam yang sungguh-sungguh atas nama keimanan dan marwah kita. Kita takkan gampangan lagi terbuai oleh bius-bius berlabel dalil-dalil maupun Arabisme yang tujuan hakikinya hanyalah obsesi politik dan kekuasaan.
Ketiga, merawat masing-masing anggota keluarga dan lingkungan terdekat kita dari paparan eksploitasi dan ekstremitas itu. Maka tegaknya sang pemimpin rumah atau lingkungan menjadi hal yang sangat penting untuk ada. Ia akan menjadi garda penyaring bagi lalu-lalang usaha eksploitasi yang deras. Di antara media yang seyogianya Anda waspadai dengan intensif ialah sebaran link-link dan share-share di grup WhatsApp. Ini merupakan media yang paling dekat dengan tiap kita, dan derasnya informasi di dalamnya begitu luar biasa, yang bila tidak disaring dengan kejelian dan keilmuan bisa mempengaruhi cara pandang kita terhadap agama, kemajemukan, pemerintah, dan bangsa ini dengan sangat mencengangkan.
Keempat, tentu saja kita bisa memberikan pelajaran kepada para politikus yang tega menjual ayat-ayat Tuhan untuk semata eksploitasi syahwat politik kekuasaanya dengan cara tidak memilihnya kembali di era berikutnya, baik personnya maupun partainya. Kita bikin kapok mereka yang membodoh-bodohi kita selama ini dengan mosi tak percaya lagi kepadanya. Dengan demikian, selesailah karir politiknya.