Ia pernah bermimpi menjadi penari; ia menyukai tarian dan ingin mengungkapkan diri dengan cara menari. Kemudian ia punya mimpi lain untuk menjadi musisi; ia membayangkan piano akan menjadi alatnya untuk mengekspresikan diri. Namun, menari tidak mungkin baginya dan piano terlalu mahal bagi keluarganya. Ia tidak mungkin memiliki piano di rumahnya untuk berlatih.
Ia juga suka menulis. Ia menyukai segala bentuk ekspresi diri, baik itu menari, bermusik, maupun menulis. Maka, ia menulis, sebab hanya itu yang mungkin baginya.
Ia ingin memberontak dengan cara menulis.
Nawal El Saadawi melihat ada yang salah di dunia sekitarnya, di sekolah, di jalanan, juga di dalam keluarganya. Neneknya dari garis ibu, yang mewarisi darah Turki di pembuluh-pembuluhnya, membenci kulit hitam yang diwarisi Nawal dari ayahnya, lelaki berkulit gelap dari keluarga petani melarat.
Sekolah memberinya mimpi buruk yang lain. Pada 1940-an, ketika ia masuk SD, Mesir masih menjadi jajahan Inggris dan Raja Farouk memerintah sebagai penguasa boneka dan sang raja tidak mau mengakui bahwa Mesir adalah Afrika. Sekolah dijalankan mengikuti sistem pendidikan kolonial Inggris dan, dalam refleksinya bertahun-tahun kemudian, Nawal menyatakan bahwa itu sistem pendidikan yang mengandung banyak gagasan rasis, patriarkhal, religius, dan kapitalis. Para guru di sekolahnya, baik orang Inggris maupun orang Mesir, memandang murid-murid berkulit putih berderajat lebih tinggi dibandingkan mereka yang berkulit gelap. Dan Nawal berkulit gelap.
Bibinya dari garis ibu ingin meningkatkan derajatnya dan menjadikan Nawal manusia yang lebih baik: Ia harus berkulit putih dan berambut lurus. Untuk itu, si bibi setiap hari melumurinya dengan bedak tebal-tebal dan menyeterika rambut keritingnya agar lurus.
“Mereka keliru memperlakukan saya,” katanya.
Ia sedikit beruntung memiliki ayah dan ibu yang akan meralat hal-hal buruk yang ditanamkan di benaknya oleh sekolah. Selebihnya, ia harus mendidik dirinya sendiri agar bisa membebaskan diri dari situasi yang ia sebut “perbudakan” dan ia melakukannya dengan tulisan.
Mula-mula, saat ia masih gadis kecil, Nawal menulis surat kepada Tuhan, menantang-Nya untuk menjelaskan mengapa wanita diperlakukan berbeda dari pria. Ia pikir ia perlu menanyakan langsung hal itu kepada Tuhan. Ia menginginkan perubahan besar; ia menginginkan perubahan dari akar.
“Tapi Dia tidak pernah menjawab,” katanya. “Karena itu saya bilang kepada-Nya, ‘Jika Kamu tidak adil, aku belum siap mempercayai-Mu.'”
Tuhan tetap tidak menjawab ultimatumnya. Pada kesempatan yang sama, ia justru melihat Raja Farouk, yang memimpin negara dan angkatan bersenjata, makin menjadi-jadi. Sang Raja memiliki kekuasaan lebih besar dibandingkan kekuasaan Tuhan dan Rasul atas rakyat Mesir. Namun, komandan tentara Inggris yang menyerbu Mesir memiliki kekuasaan lebih besar dibandingkan Raja Farouk dan tentara dan pemerintahan Mesir.
Dari ayahnya ia mendengar bahwa tentara Inggris mengepung istana Raja Farouk dan mengancam akan menurunkannya dari tahta jika sang raja tidak mematuhi perintah Inggris untuk menunjuk El Nahhas Pasha sebagai perdana menteri.
Al-Azhar, pemilik kuasa keagamaan di Mesir, tidak sanggup membela raja, meskipun para imamnya mengumumkan, di masjid-masjid tiap Jumat, bahwa Baginda Raja dilindungi oleh Tuhan dan Rasulnya dari rongrongan setan dan akan memimpin Mesir selamanya; tidak ada yang bisa menggulingkan Raja Farouk kecuali Tuhan menghendaki.
Nawal menanyakan kepada ayahnya: “Bagaimana mungkin Inggris memiliki kekuasaan di atas Tuhan?” Tidak mungkin manusia memiliki kekuasaan di atas Tuhan, kata ayahnya, tetapi Tuhan bisa menggunakan tentara kolonial Inggris atau siapa pun sebagai alat untuk menghukum Raja Farouk sebab ia korup dan tidak berlaku adil.
Pada Juli 1952, ketika Nawal menjadi mahasiswa pada fakultas kedokteran, Raja Farouk digulingkan oleh para perwira bebas di bawah komando Gamal Abdul Nasser. Ayahnya menjelaskan bahwa Tuhan menggunakan Nasser dan kelompoknya sebagai alat untuk mewujudkan kehendak-Nya.
Ia mendengarkan penjelasan itu, tetapi tidak lagi mempercayainya. Katanya, “Sudah jelas bahwa satu-satunya kehendak yang bisa terwujud di dalam kehidupan sehari-hari adalah kehendak tentara dan negara.”
Ayahnya meninggal pada Februari 1959; ia tidak menyaksikan kekalahan besar Nasser pada Juni 1967 dan tidak bisa lagi menjelaskan kehendak Tuhan, tetapi imam Al-Azhar mengumumkan bahwa kekalahan ini adalah kehendak Tuhan, bukan kehendak Inggris-Perancis-Israel-Amerika. Ia menganggap Nasser seorang diktator komunis, ateis, sekuler, dan karena itu Tuhan menghukumnya.
Nasser meninggal pada September 1970 dan penggantinya, Anwar Sadat, membuka pintu bagi masuknya barang-barang dari Israel-Amerika, menandatangani pakta perdamaian dengan Israel, mengubah konstitusi untuk menjadikan Mesir negara Islam, dan menyebut diri Orang Beriman, Bapak Bangsa. Nawal mencatat bahwa Sadat akan selalu memulai pidatonya dengan menyebut nama Allah dan mengakhirinya dengan menyebut nama Rasul Muhammad.
Pada 1981, Sadat memenjarakan para pemimpin oposisi yang mengkritik pemerintahannya. Nawal termasuk di dalamnya. Ia ditangkap dan dipenjarakan karena alasan melawan Sadat dan Tuhan.
Dari semua kejadian yang ia alami, dari peristiwa-peristiwa yang ia saksikan, Nawal mengambil kesimpulan bahwa Tuhan selalu hadir bersama penguasa. Di masa kecilnya, Tuhan selalu hadir di dalam pikirannya bersama setan. Mereka bahkan pernah hadir bersama-sama di dalam mimpi kanak-kanaknya. “Itu bukan salah saya,” katanya. “Mereka memang selalu bersama. Saya membaca Alquran, Perjanjian Baru, dan Taurat, dan selalu mendapati bahwa Tuhan tidak pernah hadir sendirian. Dia selalu ada bersama setan. Jika setan tidak ada, Tuhan tidak ada.”
Gagasan tentang Tuhan dan setan yang selalu hadir bersama itu tak pernah hilang dari benaknya. Dalam fakta keseharian, ia melihat Tuhan selalu hadir bersama penguasa. Agama yang menghadirkannya. Maka, bagi Nawal, agama tidak lain adalah alat untuk menutupi pikiran manusia dan memecah belah mereka. Ia harus menyampaikannya.
Maka, itulah yang selalu menjadi tema utama dalam tulisan-tulisannya, baik fiksi maupun nonfiksi, dan ia mendapatkan banyak musuh dan menerima berkali-kali ancaman pembunuhan karena buku-bukunya. Anwar Sadat memenjarakannya, Hosni Mubarak mengucilkannya, dan Nawal tetap menulis tentang Tuhan dan penguasa dan ketidakadilan terhadap perempuan.
“Woman at Point Zero” adalah novelnya yang pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Beberapa novelnya yang mengundang reaksi keras antara lain “God Dies by the Nile”, novel tentang perempuan yang membunuh penguasa di tepi Sungai Nil (Nawal selalu menyamakan penguasa dengan Tuhan), “The Fall of Imam”, sebuah alegori tentang kejatuhan Sadat, yang ia tulis ketika Sadat memenjarakannya, dan menjadi kenyataan, dan “Zeina”, novel tentang pemberontakan anak-anak.
Ia tidak menulis kecuali tentang pemberontakan. Sejak kecil ia menyukai novel-novel yang mengisahkan pemberontakan. Ia mengagumi Thaha Husein. Baginya Husein adalah penulis Mesir yang revolusioner. Ia tidak menyukai Naguib Mahfouz, penerima Nobel Sastra 1988, yang ia anggap pendukung kemapanan, sesuatu yang ia lawan sepanjang hayat.
Sampai ajal datang kepadanya pada usia 89, pada 21 Maret 2021, ia telah mengerjakan apa yang paling ia inginkan—ia menulis untuk merongrong kemapanan, sebab kemapanan itulah yang menjadikan perempuan tidak setara dengan lelaki. Ia marah pada ketidaksetaraan dan dengan lugas mengakui: Saya menulis karena didorong oleh kemarahan.***