Suatu ketika ada seseorang bertanya kepada Nasruddin. “Apa artinya nasib, Mullah ?”
“Asumsi-asumsi,” ujar Nasruddin.
“Bagaimana?”
“Begini. Engkau menganggap bahwa segalanya akan berjalan baik, tetapi kenyataannya tidak begitu. Nah itu yang disebut nasib buruk. Atau, engkau punya asumsi bahwa hal-hal tertentu akan menjadi buruk, tetapi nyatanya tidak terjadi. Itu nasib baik namanya.
“Engkau punya asumsi bahwa sesuatu akan terjadi atau tidak terjadi, kemudian engkau kehilangan intuisi atas apa yang akan terjadi, dan akhirnya berasumsi bahwa masa depan tidak dapat ditebak. Ketika engkau terperangkap di dalamnya, maka engkau namakan itu nasib,” papar Nasruudin.
Mari kita renungkan dalam-dalam cerita ini, jernihkan pikiran dan buka hati seluas-luasnya agar kita dapat memaknai hidup ini dengan penuh prasangka baik terhadap keadaan yang sedang kita jalani kini dan keadaan yang akan datang.
Bisa jadi nasib “buruk” hanya persoalan sebutan saja, yaitu sebutan untuk hasil yang sesuai dengan kehendak-Nya, akan tetapi tak sesuai dengan kehendak kita.
Maka dari itu belajar dari kisah Nasruddin Hoja di atas, mari kita sering-sering merenung, menjernihkan pikiran dan membuka hati seluas-luasnya agar dapat memaknai setiap keadaan yang kita alami dengan penuh prasangka baik dan tidak terjebak dengan sebutan-sebutan yang hanya kita asumsikan.
Wallahu A’lam.