Naskah Pidato Buya Siradjuddin Abbas: PERTI dan Revolusi [Bag-1]]

Naskah Pidato Buya Siradjuddin Abbas: PERTI dan Revolusi [Bag-1]]

Selain dikenal sebagai penulis produktif, Buya Siradjuddin Abbas juga aktivis pergerakan. Pemikirannya tidak hanya tertuang di atas kertas, tetapi juga diwujudkan dalam aksi nyata

Naskah Pidato Buya Siradjuddin Abbas: PERTI dan Revolusi [Bag-1]]
Buya Siradjuddin Abbas (Sumber poto Wikipedia)

Selain dikenal sebagai penulis produktif, Buya Siradjuddin Abbas juga aktivis pergerakan. Pemikirannya tidak hanya tertuang di atas kertas, tetapi juga diwujudkan dalam aksi nyata. Kontribusi perjuangannya tak diragukan lagi, ia menentang segala macam penjajahan, mulai dari zaman Belanda, Jepang, dan mendukung penuh visi revolusi Bung Karno setelah Indonesia merdeka.

Pada zaman Belanda, bersama PERTI beliau menolak kebijakan ordonansi pencatatan perwakinan yang dikeluarkan Belanda; menolak ide Jepang untuk menggabungkan wilayah Sumatera dengan Malaka, supaya terpisah dengan wilayah Indonesia lainnya; mendukung misi Dwikora dalam hal menentang proyek neo-kolonialisme “Malaysia. Tertulis dalam sejarah, Buya Siradjuddin Abbas, mewakili Perti, ikuti merumuskan Deklarasi Bogor tahun 1964, yang mana salah satu hasilnya: menolak proyek neo-kolonialisme.

Buya Siradjuddin Abbas semasa hidupnya pernah menjabat sebagai Ketua Umum Partai Islam PERTI, organisasi Islam yang dirintis oleh Syekh Sulaiman Arrasuli bersama ulama tradisional lainnya. Di bawah kepemimpinannya, PERTI menjadi organisasi yang revolusioner. Hal ini sangat terlihat dalam pidato-pidatonya dan tema-tema yang diangkat dalam publikasi Suara Perti, majalah resmi Partai Islam Perti, terbit sekali sebulan.

Pada 12 Mei 1964, Buya Siradjuddin Abbas menyampaikan pidato dengan tema “Perti dan Revolusi” di hadapan peserta kongres daerah PERTI Sumatera Barat yang diselenggarakan di wisma Pancasila Padang. Pidato ini menggambarkan pemikiran profresif beliau tentang Islam dan pergerakan nasional. Pidato ini juga menggambarkan kontribusi Perti dalam melawan penjajahan Belanda, Jepang, dan neo-kolonialisme-imperialisme pasca Indonesia merdeka.

Naskah pidato beliau didokumentasikan dalam Suara Perti (Suara resmi Partai Islam Perti), terbitan bulan januari tahun 1965. Dalam pengantar redaksi, ditulis bahwa Suara Perti terbit kembali pada bulan januari 1965 dengan semangat baru, sesuai dengan semboyan yang dicetuskan dalam kongres ke IX: maju menyerbu, sesuai juga dengan semboyan revolusi Bung Karno: Onward, no retreat, maju, pantang mundur.

Untuk kepentingan mengabadikan sejarah, melawan lupa. Naskah pidato beliau itu kami tuliskan kembali dan akan dipublikasikan secara bertahap: kemungkinan besar menjadi tiga bagian. Berikut isi lengkap pidato Buya Siradjuddin  Abbas ketika membuka  kongres Perti wilayah Sumatera Barat tahun 1964.

PERTI dan Revolusi

Saudara-saudara, tujuh hari lalu, yaitu pada saat tanggal 5 Mei 1965, telah cukup genap usia Partai Islam Perti ini 36 tahun, karena gerakan ini didirikan pada tanggal 5 Mei 1928. Maka dalam rangka memperingati usia Perti 36 tahun, inginlah saya mengungkapkan sedikit catatan sejarah yang bertalian dengan partai ini.

Saudara yang membaca sejarah tentu mengetahui bahwa pada sekitar tahun 1925 sampai 1930, rakyat Indonesia sedang giat-giatnya mempersiapkan suatu revolusi besar untuk menumbangkan kekuasaan Belanda di Indonesia ini. Di mana-mana timbul gerakan kemerdekaan yang radikal-revolusioner baik secara menumbuhkan yang baru atau secara meningkatkan gerakan yang ada untuk menjadikannya lebih radikal-revolusioner lagi.

Gerakan yang bertujuan untuk menumbangkan imperialisisme Belanda di Indonesia pada khususnya dan imperialisme lain pada umumnya, ada yang berdasarkan Nasionalisme, Islamisme, dan juga Marxisme.

Tertarik dengan perjuangan teratur yang anti penjajahan, maka sekumpulan Ulama-ulama besar di Sumatera Barat ini mendirikan organisasi Islam yang bertujuan menumbangkan kolonialisme Belanda dan juga untuk mempertahankan agama islam, yang tekah dikucar-kacirkan oleh kaum penjajah Belanda, yang kebetulan tidak beragama Islam pula.

Maka pada tanggal 5 Mei 1928 mereka dirikanlah suatu gerakan Islam dengan nama Persatuan Tarbiyah Islamiyah [PERTI], yang sekarang bernama Partai Islam Perti, yang bergerak dengan caranya sendiri, yaitu menentang kolonialisme dengan obor Islam di tangannya, menegakkan syariat Islam, sambil menganjurkan persatuan Nasional sesuai dengan namanya, yaitu Persatuan Tarbiyah Islamiyah.

Sekolah-sekolah agama dibangun, dakwah Islamiyah diperhebat, dan aksi-aksi politik dijalankan, baik dengan cara sendirian, maupun dengan cara bersama-sama dengan gerakan nasional yang lain yang menuju untuk menghancurkan kekuasaan Belanda di Indonesia.

Alhamdulillah, PERTI ketika ikut beraksi bersama-sama GAPI (Gabungan Partai Politik se-Indonesia) mengadakan Kongres Rakyat Indonesia untuk menuntut Indonesia ber-parlemen dan ikut hadir dalam Kongres-nya yang diadakan pada tanggal 23 sampai 25 Desember 1939 di gedung Gang Kenari Jakarta di bawah pimpinan Pemimpin-pemimpin “Nasakom”.

“Nasakom” ketika itu, yaitu Saudara Husni Thamrin, Amir Syarifuddin, dan Abikusno Tjokrosujoso.

Pada tahun 1940, Partai Islam PERTI juga didatangi oleh misi Visman yang dibentuk Belanda untuk menyelidiki perubahan tata kenegaraan di Indonesia di mana ketika itu Partai Islam PERTI dengan sungguh-sungguh mengajukan usul kepada rakyat  Indonesia diberikan kemerdekaan penuh, mempunyai negara yang berdaulat dari Sabang sampai Merauke, karena PERTI beranggapan bahwa rakyat Indonesia sudah matang untuk merdeka ketika itu.

PERTI alhamdulillah tidak pernah menerima subsidi dari pemerintah kolonial Belanda, tetapi sebaliknya PERTI mengadakan oposisi, baik dalam sidang dewan-dewan sebagai Minangkabau Raad atau di luar sidang-sidang di tengah masyarakat, seperti mengadakan protes pertemuan melawan ordonansi “kawin bercatat” dan lain sebagainya.

Teranglah bahwa PERTI ikut aktif mempersiapkan revolusi pada zaman kolonial bersama-sama dengan golongan dan partai lain. Tetapi gerak PERTI ini bukanlah serupa “api kelupak bambu yang hidup buru-buru dan mati buru-baru”, tidak. Pertumbuhan gerakan PERTI serupa tumbuhnya padi, tumbuh dengan diam-diam, tidak berbunyi, sebagai yang digambarkan oleh penyair dan pujangga besar Multatuli.

Pada ketika pendudukan fasis Jepang, PERTI pun tidak mati dan tidak pula mematikan diri, tetapi hidup secara lihai di bawah tekanan Jepang. Tidak henti-hentinya menegakkan Islam dan memperjuangkan kemerdekaan, sambil menghalang-halangi politik Jepang yang hendak memecah Indonesia dengan memasukkan Sumatera dalam lingkungan Malaya, lepas dari wilayah Indonesia lainnya, karena PERTI dari bermula bertujuan untuk merdeka dalam sebuah wilayah Negara Kesatuan yang berwilayah dari Sabang Sampai Merauke, yang mempunyai penduduk mayoritas beragama Islam.

Memang Jepang berusaha dengan segala macam jalan untuk menghancurkan partai-partai dan organisasi rakyat, tetapi niat jahatnya itu tidak berhasil, berkat gigihnya pemimpin rakyat ketika itu secara lihat mengikuti Jepang pada lahirnya dan mempersiapkan diri untuk kemerdekaan pada hakikatnya.

Baik saya umumkan dalam kesempatan sekarang ini, sebuah kisah pendek pertemuan saya dengan Bung Karno kira-kira dua bulan sesudah masuknya Jepang ke Indonesia.

Pada suatu malam, rumah saya di Bukittinggi, jalan Surau Gonjong No. 25 yang menjadi kantor PERTI ketika itu, kira-kira jam 7 malam diketok pintunya oleh seseorang. Setelah dibuka, ternyata yang mengetok pintu itu adalah Bung Karno yang datang dari tempat kediaman beliau ketika itu, yaitu dari rumah Saudara Munadji yang tidak berapa jauh dari tempat saya.

Setelah saya persilahkan beliau duduk, Bung Karno menyatakan kepada saya bahwa pemerintahan Jepang yang masuk ke Indonesia ketika itu adalah pemerintahan fasis yang bertujuan juga untuk menghancurkan seluruh partai dan organisasi rakyat.

Bung Karno menyatakan kesedihan, kalau pemerintah Jepang membubarkan Perti, karena beliau tahu benar bahwa ulama dan pimpinan Perti telah mendirikan dan membangunkannya dengan susah payah.

Bung Karno mengharapkan supaya PERTI dipertahankan dan dijalankan secara licin, sehingga pemerintahan Jepang dapat diabui dan tujuan kita bermula, yaitu kemerdekaan negerti dari sekalian penjajahan harus dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya.

Itulah kisah pertemuan pendek dengan Bung Karno pada permulaan masuknya Jepang ke Indonesia.

Nasihat Bung Karno itu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, sehingga Jepang tidak ada kesanggupan untuk membubarkan PERTI.

Saudara-saudara

Saya yakin, kalau PERTI pada bulan Agustus 1945 ada di Jakarta sudah pasti ia akan ikut bersama-sama dengan pemuda-pemuda di Pegangsaan Timur untuk mengelilingi Bung Karno ketika membacakan proklamasi Kemerdekaan, karena proklamasi itu adalah tujuan gerakan PERTI yang utama, akan tetapi sayangnya takdir ilahi berlaku bahwa PERTI dilahirkan di Sumatera dan ketika itu belum berkembang di Jawa, sehingga ia tidak dapat menghadiri upacara Proklamasi itu.

Takdir Ilahi memang tidak dapat dibantah, sebagai keadaannya manusia yang tidak dapat membantah atau tidak dapat juga memilih kelahirannya, dan juga tidak dapat membantah atau memilih siapa yang akan menjadi ibu dan bapaknya.

Tetapi sejarah juga telah mencatat, bahwa di antara surat-surat kabar yang mula-mula menyiarkan Proklamasi 17 Agustus di Sumatera Barat khususnya ini adalah Surat Kabar PERTI yang bernama SUARTI (Suara Tarbiyah Islamiyah) yang terbit di Bukittinggi, 8 September 1945, yang dokumentasinya masih tersimpan dengan baik.

Pada ketika itu seluruh surat kabar dikuasai Jepang dan tidak sebuah pun yang berani menyiarkan teks proklamasi Kemerdekaan di Sumatera, tetapi surat kabar PERTI dengan tekad, satu hilang dua terbilang, menyiarkan proklamasi itu seluas-luasnya sehingga diketahui oleh umum, padahal sebelumnya proklamasi itu hanya didengar samar-samar di Sumatera karena dihalang-halangi oleh kekuasaan Jepang dan perhubungan antara Jawa dan Sumatera terputus ketika itu.

*Silahkan klik di sini untuk membaca bagian selanjutnya