Nasihat Wahb bin Munabbih tentang Berlebihan dalam Beragama

Nasihat Wahb bin Munabbih tentang Berlebihan dalam Beragama

Nasihat Wahb bin Munabbih tentang Berlebihan dalam Beragama

Abdussalam bin Barjis Alu ‘Abdil Karim (w. 2004) menulis buku berjudul Munashahah al-Imam Wahb bin Munabbih li Rajul Ta`atstsar bi Madzhab al-Khawarij (Nasihat Wahb bin Munabbih kepada orang yang terpengaruh paham Khawarij). Buku ini berisi riwayat nasihat Wahb bin Munabbih (w. 110 H) kepada orang kaya yang terpapar paham Khawarij, yakni tidak mengakui pemerintahan pada masanya karena menganggap pemerintah tidak memberlakukan hukum-hukum Allah. Riwayat ini diambil dari buku-buku sejarah Islam klasik seperti Tarikh Dimasyq karya Ibnu ‘Asakir (w. 571 H), Mukhtashar Tarikh Dimasyq karya Ibnu Mandhur (w. 711 H) dan Tahdzib al-Kamal tulisan Yusuf Al-Mizzi (w. 742 H).

Bagi Khawarij, siapapun yang tidak menerapkan hukum Allah maka mereka dianggap telah keluar dari Islam dan halal darahnya. Hukum Allah yang dimaksud pada dasarnya “tafsir” keislaman yang ia pahami lalu diabsolutkan dengan anggapan paham tersebut satu-satunya pemahaman yang benar dan yang lain salah.

Ciri keberislaman yang memutlakkan tafsir keagamaan sebagaimana Khawarij dalam rentang sejarah Islam selalu ada meski dalam jumlah yang sangat sedikit, hanya saja militansinya luar biasa hingga pendapat dan gerakannya kerap menutup kerahmatan dan seruan perdamaian yang dibawa Islam. Pada gilirannya Islam di mata “orang lain” yang terlihat justru paham keislaman Khawarij yang eksklusif dan radikal.

Berdasarkan kesamaan ciri-ciri keberislaman yang dimiliki Khawarij dengan fenomena radikalisme agama yang belakangan mewabah di sebagian kelompok muslim, nasihat Wahb bin Munabbih kepada muslim yang terpengaruh paham Khawarij menemukan relevansinya. Tulisan ini dihadirkan sebagai renungan dan nasihat dari Wahb kepada muslim yang terpengaruh radikalisme agama.

Diceritakan ada orang kaya bernama Dzu Khaulan, ia hafal al-Quran dan punya tekad ingin menjalankan Islam dengan baik. Suatu ketika ia didatangi orang-orang Khawarij dari Shan‘a. Khawarij berkata kepada Dzu Khaulan bahwa zakat yang ia keluarkan tidak sah karena diberikan kepada pemerintah yang kufur dan tidak mengalokasikan zakatnya kepada kelompok Khawarij. Karena itu Khawarij meminta kepadanya supaya zakatnya diberikan kepada Khawarij.

Selain persoalan zakat, Khawarij juga menjelaskan kepada Dzu Khaulan bahwa pemerintah dan orang-orang yang tidak sepaham dengannya adalah orang-orang tersesat yang harus dijauhi dan dimusuhi. Dzu Khaulan galau hingga akhirnya oleh salah seorang sahabatnya ditemukan dengan Wahb bin Munabbih, tabi‘in yang tinggal di wilayah Yaman.

Kepada Dzu Khaulan, Wahb bin Munabbih mengatakan:

“Wahai Dzu Khaulan, apakah engkau ingin setelah tua nanti menjadi orang Haruri (Khawarij) yang menuduh sesat terhadap orang lain yang (sesungguhnya) lebih baik baik darimu? Lalu apa yang akan engkau katakan kelak di hadapan Allah? (Bagaimana jika ternyata) Allah bersaksi atas keimanan seseorang yang telah engkau tuduh kufur, Allah bersaksi bahwa seseorang mendapatkan petunjuk sementara engkau mengatakannya sesat. Bagaimana jika pandanganmu terhadap orang itu ternyata bertentangan dengan pendapat Allah, kesaksianmu berbeda dengan kesaksian Allah?”

Lalu Wahb bin Munabbih meminta Dzu Khaulan untuk menceritakan apa saja doktrin yang telah diajarkan kelompok Khawarij kepadanya. Dzu Khaulan bercerita bahwa pada intinya Khawarij meminta supaya Dzu Khaulan membayar zakatnya kepada mereka serta tidak memberikannya kepada pemerintah dan orang-orang yang tidak sepaham dengan Khawarij. Selain itu Khawarij juga mendoktrin supaya Dzu Khaulan menganggap orang-orang yang berbeda dengannya sebagai orang-orang tersesat yang tidak boleh dimintakan ampunan dalam bacaan doa.

Wahb bin Munabbih kemudian meluruskan doktrin-doktrin Khawarij dengan dua poin penjelasan.

Pertama; tidak memberikan zakat kepada pemerintah dan orang-orang yang memiliki paham keislaman berbeda bagian dari kesalahan dalam beragama. Tidak memberikan zakat hanya karena memiliki pemahaman keislaman yang berbeda sama dengan menuduh orang itu sesat dan kafir. Pemahaman seperti ini bagi Wahb bin Munabbih sangat berbahaya.

Kedua; tidak memintakan ampunan kepada orang-orang yang memiliki paham keislaman berbeda karena menuduh sesat dan kufur terhadapnya juga bagian dari doktrin berbahaya dalam beragama. Pasalnya dalam al-Quran sendiri ditegaskan bahwa Malaikat sebagai makhluk Allah yang baik saja memintakan ampunan kepada semua penduduk bumi (QS. Asy-Syura 5). Pertanyaannya, kata Wahb bin Munabbih, apakah Khawarij atau orang-orang Haruri lebih baik dari Malaikat? “Jelas tidak,” kata Wahb.

Inti dari nasihat Wahb bin Munabbih kepada orang yang terpengaruh paham Khawarij di atas mengandung pesan bahwa dalam berislam tidak boleh dengan mudah menuduh orang-orang yang berbeda paham keagamaan dengan kafir dan sesat. Alasannya kesesatan dan kakufuran seseorang pada dasarnya akan diputuskan oleh Allah sendiri kelak pada hari Kiamat sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Hajj 17.

Mengkafirkan dan menyesatkan orang lain, terlebih disertai aksi atau upaya-upaya penyerangan, perusakan dan pembunuhan sesungguhnya bagian dari tindakan ngawur dan berlebihan dalam beragama atau “ghuluww fi ad-din” yang justru dilarang oleh agama itu sendiri.