Nasihat Rasulullah SAW untuk Para Ibu Rumah Tangga

Nasihat Rasulullah SAW untuk Para Ibu Rumah Tangga

Nasihat Rasulullah SAW untuk Para Ibu Rumah Tangga

Sebagai seorang laki-laki tentu saja saya kurang memahami secara pasti peran perempuan, khususnya seorang ibu rumah tangga. Jelas, karena mau menggunakan kepekaan dan teknik secara emosional pun, saya hanya bisa meraba-raba “Bagaimana sih menjadi perempuan? Apalagi menjadi ibu rumah tangga.”

Sungguh tak bisa dibayangkan. Tidak hanya soal bagaimana penampilan saya jika memakai daster dan segala atribut emak-emak lainnya, tapi yang terbayang di benak saya adalah apakah saya mampu menyelesaikan semua pekerjaan ibu rumah tangga.

Sepintas memang perkerjaannya gampang dan tampaknya tidak terlalu banyak menghabiskan tenaga. Akan tetapi, jika hal itu dikerjakan secara terus menerus dan setiap hari. Ampun deh. Sepertinya saya lebih memilih jadi suami yang berangkat pagi pulang pagi.

Mengapa? Karena memang tak dapat dipungkiri pekerjaan mengurus rumah tangga itu bukanlah pekerjaan yang mudah dilakoni. Saya bisa bertaruh, tidak semua laki-laki mau dan sanggup melakukannya. Sebab, tabiatnya laki-laki memang maunya menang sendiri dan mau enaknya saja dan kalau dipikir-pikir lebih enak kerja nyari uang di luar daripada setiap hari mantengin kompor gas, mesin cuci, dan meja setrikaan.

Stigma bahwa ibu rumah tangga itu rendah derajatnya memang harus dilawan. Sebagai seorang laki-laki yang seharusnya maskulin, saya lebih memilih menjadi feminis. Ibu rumah tangga bahkan pernah dibela secara halus oleh Nabi Muhammad dan dinaikkan derajatnya setinggi langit. Adalah kisah Fatimah yang menangis karena pekerjaan ibu rumah tangga yang berat.

Diriwayatkan dari ulama masyhur, Imam Nawawi al Bantani, dikisahkan Nabi Muhammad suatu ketika sedang mengunjungi rumah putrinya, Fatimah. Rasulullah mendapati putrinya itu sedang menangis sambil menggiling gandum menggunakan batu.

Melihat hal itu, Baginda Nabi bertanya perihal apa sampai-sampai putrinya itu menangis. Pertanyaan itu dijawab oleh Fatimah bahwa ia menangis lantaran harus melakukan pekerjaan rumah sendiri. Ia pun mengeluh dan meminta untuk dibelikan budak atau pembantu yang akan menemaninya bekerja.

Dari pristiwa tersebut dapat dikatakan bahwa bahkan Fatimah yang merupakan keturunan Nabi, bisa mengeluh karena pekerjaan rumah tangga. Dalam hal ini bukan berarti Fatimah lemah dan manja karena mengeluh. Tapi jika kita lihat dalam konteks peristiwa tersebut, Fatimah sedang mengeluh kepada ayahandanya sendiri, yaitu Baginda Nabi Muhammad SAW.

Dalam konteks tersebut tentu wajar seorang anak mengaduh dan curhat kepada ayahnya. Sebab, ayah lah tempat mengeluh paling nyaman, terlebih jika ayahnya adalah manusia paling mulia dan sempurna di muka bumi ini.

Selain itu, Fatimah pun akhirnya mengeluh dan mengaduh sebab Rasulullah datang berkunjung ke rumahnya. Andaikan tidak, tentu Fatimah tidak akan menangis, mengeluh, atau pun mengaduh. Mungkin saja ia akan menangis terus sembari mencoba bersabar dan menenangkan diri.

Setelah mendengar keluhan putrinya itu, Rasulullah kemudian menunjukkan kemuliaannya, yaitu dengan memerintahkan raha (batu yang digunakan Fatimah untuk menggiling gandum) untuk bergerak sendiri. Batu itu bergerak memudahkan pekerjaan Fatimah. Kemudian Rasulullah menasihati putri tercintanya itu.

“Hai, Fatimah. Jika Allah SWT menghendaki benda tersebut (raha) bergerak, ia akan bergerak. Tapi Allah SWT ingin menulis kebaikan untukmu, melebur dosa-dosamu, dan mengangkat derajatmu.”

“Hai, Fatimah. Tidak ada istri yang menggiling tepung untuk suami dan anaknya kecuali Allah SWT menuliskan kebaikan baginya dari setiap biji gandum, meleburkan dosanya, dan meninggikan derajatnya.”

Akhirnya, dapat dijalinlah sebuah tali rahmah yang tak putus dan seolah saling melengkapi sebagai anugerah dan kasih sayang Allah SWT kepada makhlukNya. Seorang ibu rumah tangga jangan pernah merasa dirinya rendah dan tidak memiliki derajat apapun di sisi Allah SWT. Justru setiap pekerjaan rumah yang diniati untuk mendapatkan ridho Allah SWT akan menerima ganjaran yang lebih dan berlipat-lipat.

Tentu tidak hanya menjadi ibu rumah tangga, perempuan karirpun jika ia berjuang demi membahagiakan keluarganya, maka ia juga memiliki keistimewaan sebagaimana yang telah disebutkan oleh Rasulullah SAW di atas.

Sebaliknya seorang suami dan anak hendaknya memahami dan menghormati ibu, karena tanpa seorang ibu atau istri, hidup akan terasa hampa, betul, tidak? (AN)

Wallahu a’lam.