Nasihat Habib Husein Ja’far al-Hadar Bagi Orang yang Takut Menikah

Nasihat Habib Husein Ja’far al-Hadar Bagi Orang yang Takut Menikah

Nasihat Habib Husein Ja’far al-Hadar Bagi Orang yang Takut Menikah

Pernikahan bukanlah sesuatu yang berat dan bukan pula sebagai sesuatu yang bisa dianggap remeh. Baiknya, pikirkan secara matang sebelum menempuh jenjang pernikahan. Jangan sampai hidup orang lain menjadi sulit dan berantakan setelah kita menikahinya. Karenanya, persiapan itu penting sebelum masuk jenjang pernikahan. Persiapan nikah tidak hanya dari sisi ekonomi semata, tetapi juga dari aspek pengetahuan, kedewasaan, spritualitas, dan seterusnya.

Karena itu, dalam pandangan Habib Husein Ja’far al-Hadar, pernikahan adalah suatu keputusan yang besar. Makanya, Allah di dalam surat al-Rum ayat 21 mengawali ayat tentang pernikahan dengan redaksi, wa min ayati, dan di antara tanda kebesaran Tuhan. Allah biasanya menggunakan redaksi ini ketika menjelaskan kebesaran ciptaannya, baik di langit ataupun di bumi.

“Maka menikah, sebagaimana penciptaan langit dan bumi, adalah sesuatu yang begitu besar. Pernikahan memang tidak perlu ditakutkan, namun juga tidak baik bila diremehkan. Seorang muslim diajarkan untuk bersikap proporsional dalam melihat sesuatu. Perkara besar jangan diremehkan, tapi karena pernikahan juga bagian dari karunia Tuhan, tidak perlu juga ditakutkan berlebihan,” Jelas Habib Husein Ja’far al-Hadar.

Karena pernikahan adalah keputusan yang sangat besar, para ulama memosisikan hukum nikah dalam rentang yang sangat luas, dari wajib sampai haram. Seperti dikatakan Habib Husein Ja’far, nikah itu hukum dasarnya sunnah bagi orang yang mampu untuk menjalankannya. Namun bagi orang yang tidak mampu, bahkan berpotensi merugikan pasangannya kalau menikah, diharamkan untuknya nikah. Begitu juga sebaliknya, orang yang memiliki kemampuan, dikhawatirkan akan menimbulkan kemudaratan bila tidak menikah, diwajibkan atasnya menikah.

“Hukum nikah kembali pada kondisi masing-masing. Karenanya, kita dapati kisah sebagian ulama yang membujang seumur hidup, semisal Ibnu Taimiyah. Ada juga ulama yang dimuliakan karena dia menikah, semisal Abdurrahman Bajalhaban. Lagi-lagi, menikah atau tidak, kembali kepada kondisi masing-masing individu,” Tegas Habib Husein Ja’far.

Habib Husein mengingatkan, jangan sampai menikah karena dorongan dari luar diri sendiri, semisal orang tua, kawan, rekan kerja, dan seterusnya. Kalau Allah saja tidak memaksa kita untuk menikah, tentu orang lain tidak punya hak untuk memaksa pernikahan. Semuanya kembali kepada kondisi masing-masing.

Urusan pernikahan perlu dilihat secara adil, tidak perlu ditakutkan dan juga jangan dikejar ugal-ugalan. Dalam al-Qur’an surat al-Nur ayat 32, Allah menyuruh orang yang mampu menikah untuk menikah, sebab pernikahan itu bisa menjadi pembuka pintu rejeki. Tapi perlu diingat, kata Habib Husein, dalam ayat 33 Allah berpesan kalau kita tidak mampu menikah, jagalah kesucian diri, dengan cara tidak melakukan kemaksiatan.

Kembali kepada surat al-Rum ayat 21, Allah berfirman bahwa orang yang kita nikahi itu min anfusikum, orang seperti kamu atau diri kamu. Maksudnya, suami atau istri yang kita nikahi sama seperti diri kita sendiri: punya salah atau khilaf. Jangan menuntut kesempurnaan dari pasangan kita. Apalagi sebagai manusia pasti memiliki kekurangan.

Jangan bayangkan, kata Habib Husein, pernikahan itu untuk mendapatkan kesempurnaan dari pasangan atau memberi kesempurnaan. Hubungan itu saling mengisi dan melengkapi. Pernikahan akan membawa kedamaian kalau semuanya dilandasi atas dasar cinta. Cinta yang dimaksud bukan berdasar hawa nafsu, tetapi cinta yang menghadirkan Allah dalam setiap bentuk aktivitasnya. Orang yang menikah karena cinta kepada Allah, maka dia akan menganggap pernikahan itu sebagai ibadah, tidak mempermasalahkan kekurangan yang ada pada pasangannya.

Kalau setiap keputusan yang diambil didasarkan pada kecintaan kepada Allah, maka tidak perlu takut untuk menikah ataupun memilih untuk tidak menikah. Posisikanlah nikah itu sebagai perjanjian agung antara kita dengan Tuhan.

Habib Husein menjelaskan, “Jika kita memilih pasangan karena Allah, menjalaninya karena Allah, menunjukkan pernikahan untuk allah, pasti pernikahan jadi jalan terbaik. Tapi jika kita memilih tidak menikah karena Allah, menjalani proses kejombloan di jalan Allah, dan meniatkan tujuan kejombloan karena allah, niscaya itu juga akan menjadi jalan terbaik untuk menuju Allah.”