Sebagai orang awam, mengikuti polemik tentang status habib terasa sangat membagongkan. Referensinya berat dan istilah-istilahnya terdengar asing. Mungkin salah saya sendiri, merasa awam tapi sok-sokan mengikuti tema yang seharusnya merupakan konsumsi para ahli.
Masalahnya, tidak mudah untuk menghindarkan diri sama sekali dari kegaduhan tersebut. Polemik itu seperti tidak berkesudahan, hingga hari ini. Konten-konten seputar tema itu berseliweran di dinding akun media sosial saya.
Masing-masing kubu atau simpatisannya mendesakkan versinya masing-masing. Belum lagi, orang-orang yang juga awam tapi ikut menceburkan diri ke dalam masalah yang sama sekali tidak ia pahami, hanya untuk memperkeruhnya.
Polemik ini menjadi begitu gaduh, panas dan menyita banyak perhatian selain karena berjalin dengan banyak aspek, soal sosial, politik, ekonomi juga terutama soal agama.
Dalam konteks agama, topik ini berjalin dengan persoalan otoritas keagamaan. Sederhananya, otoritas keagamaan itu adalah kewenangan untuk menerjemahkan dan menafsirkan teks-teks agama. Termasuk di dalamnya kemudian adalah kewenangan untuk menentukan tafsir siapa yang benar dan salah, pemahaman mana yang lurus dan menyimpang dari ajaran agama yang benar.
Otoritas keagamaan itu diyakini oleh mayoritas umat Islam dipegang oleh mereka yang memiliki pengetahuan luas dan mendalam atas ilmu-ilmu agama.
Mereka, karenanya, dipercaya sebagai kelompok yang paling memahami maksud dan keinginan Tuhan melalui firman-Nya.
Dengan status yang begitu agung para pemegang otoritas ini menempati posisi yang mulia di masyarakat. Kehadirannya ditunggu, perkataan diikuti, tindak tanduk dan petuahnya jadi rujukan. Para pemegang otoritas ini lazim kita sebut sebagai ulama dan diakui sebagai pewaris para nabi.
Sepanjang pengalaman saya mengikuti polemik tentang nasab, perkara otoritas agama ini juga sering muncul.
Ada kesan seolah otoritas itu secara otomatis melekat pada jalur nasab teetentu. Dalam satu potongan cemarah, misalnya, ada pernyataan “Ente mengikuti Al-Qur’an tapi tidak mengikuti habib, ente sesat.”
Pernyataan itu disampaikan oleh pemuka habaib. Ia sedang menjelaskan tentang posisi al-Kitab, Nabi, habaib dan ulama fungsinya sebagai pegangan hidup. Ulama ia sebut sebagai pengawal nabi, sedangkan habaib berada dalam satu barisan dengan Nabi karena masih keluarga.
Pernyataan senada banyak kita temukan dalam postingan-postingan yang beredar. Bahkan lebih jauh ada semacam pengakuan bahwa habaib, karena dalam dirinya mengalir darah Nabi saw. juga punya privilege untuk memberikan syafaat/pertolongan. Mungkin karena keyakinan itu ada habib yang mengatakan bahwa orang yang mengkritik habaib sama dengan iblis.
Selebihnya, kita dengan mudah menemukan postingan-postingan yang menekankan keistimewaan derajat habaib. Mulai dari perbandingan bahwa belajar pada satu 1 habib meski yang jahlul lebih baik dari 70 kyai yang alim hingga kisah-kisah ajaib seputar habaib. Seperti bahwa selama habib Anu masih hidup malaikat pencatat amal buruk diliburkan oleh Allah.
Narasi-narasi semacam itu mengusik emosi keagamaan sejumlah kalangan. Ditambah sejumlah perilaku tercela (oknum) habaib di masyarakat, dengan ‘menjual’ nama Nabi saw.
Reaksi atas fenomena ini beragam. Ada yang diam. Ada yang geran tapi tidak berani membantah karena takut kualat. Ada pula yang memberikan bantahan.
Ekspresi paling tajam, kalau boleh dibilang demikian, datang dari Kiai Imaduddin Utsman dari Banten.
Dengan mendasarkan pada data-data dari naskah-naskah tentang nasab, ia melakukan penyelidikan tentang ketersambungan nasab klan Ba’alawi kepada Nabi saw. Hasilnya, ia menyimpulkan bahwa garis nasab dari marga Ba’alwi tidak tersambung kepada Nabi saw. Dengan demikian, menurut Kiai Imad, ketersambungan nasab Ba’alwi kepada Nabi batal. Dalam banyak ceramahnya Kiai Imad tak ragu menegaskan keyakinan atas tesisnya sampai taraf “haqqul yaqin dunia dan akhirat”.
Kesimpulan ini mendorong banyak pihak melakukan kritik terhadap habaib secara lebih terbuka dan berani.
Otoritas keagamaan mereka dipersoalkan. Kecaman bahkan penolakan atas kehadiran mereka juga terjadi. Gugatan yang seharusnya bersifat ilmiah ini, kemudian berkembang tak terkendali.
Sebagai awam, situasi ini tentu sangat memprihatinkan. Gambaran seperti dalam peribahasa bahwa ketika dua gajah bertarung pelanduk mati di tengah-tengah benar-benar terjadi, meski tidak mati betulan.
Gesekan antar awam sudah begitu keras. Kalau zaman pilpres berkembang istilah cebong dan kampret, sekarang ada mukibin dan pribumi.
Karena itu, penting untuk mengembalikan kehidupan yang kondusif di masyarakat. Salah satunya barangkali bisa dimulai dengan mengembalikan perdebatan itu ke jalur ilmiah. Tesis Kiai Imad perlu didudukkan sebagai “tesis” yang kebenarannya harus diuji secara akademik oleh tim atau lembaga yang otoritatif dan hasilnya diumumkan ke publik
Dengan begitu, minimal orang awam kemudian memperoleh informasi yang lebih luas dan jernih. Tidak seperti sekarang yang masing-masing pihak mengisi nilai di rapornya sendiri-sendiri, sehingga sebagai awam kita tidak tahu mana yang bisa dipercaya.
Mengembalikan perdebatan ke arah ilmiah dapat melatih masyarakat untuk mengutamakan ilmu dan bersikap dewasa dalam beragama. Dorongan ini juga akan mengingatkan kita bahwa otoritas agama itu dikaitkan dengan ilmu.