Tanggal 17 April 2019 telah lewat dan masyarakat Indonesia telah memilih kandidat terpilih yang dianggap merepresentasikan aspirasinya. Melalui hasil hitungan cepat (quick count) oleh sejumlah lembaga survei, dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin unggul dengan selisih sekitar 10-11 persen.
Dari hasil tersebut, pertanyaan yang bisa diajukan adalah bagaimana partai Gerindra pasca Prabowo? Lazim diketahui, partai yang menggusung presiden biasanya memang elektabilitas sekaligus peraihan suaranya cukup besar. Sementara itu, partai-partai yang pragmatis hanya demi mendapatkan dukungan suara tidak bisa mendapatkan perolehan suara banyak, meskipun bisa bertahan dalam posisi tengah.
Di sini, partai demokrat bisa menjadi perbandingan di tengah upaya transisi kekuatan dari Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden Indonesia dua periode, menuju anaknya Agus Harimurti Yudhoyono. Sementara itu, partai besar seperti PDI-P telah berhasil mengalami transisi kekuasaan internal untuk jabatan penting.
Meskipun pucuknya dipegang oleh Megawati, transisi kekuasaan untuk calon presiden telah dilakukan partai berlambang banteng ini dengan legowo menerima Jokowi untuk dicalonkan menjadi calon presiden. Dengan cara ini, secara tidak langsung, proses kaderisasi partai PDI-P memunculkan tokoh-tokoh yang bisa bersaing pada tahun 2024 setelah Jokowi.
Pada tahun 2004, partai besutan SBY ini berada pada urutan kelima dengan perolehan suara 8.455.225 (7,45%). Saat SBY mengajukan diri kembali sebagai presiden, partai ini justru mendapatkan hasil maksimal, berada di urutan pertama pada tahun 2009, dengan perolehan suara 21.703.137 (20,85%), menempati urutan pertama.
Namun, pada tahun 2014, perolehan suara partai ini justru turun sekitar 8 %, dengan perolehan suara 12.728.913. Ada banyak alasan mengapa partai Demokrat turun, kehilangan figur SBY yang sebelumnya menjadi presiden merupakan faktor utama yang dapat menjelaskan hal tersebut. Tidak disiapkan penggantinya secara berkelanjutan dengan cukup cepat juga alasan lain yang dapat menguatkan.
Pada tahun 2009, perolehan partai Gerindra hanya sekitar 4,46%, berada diurutan ke-8. Namun, pada tahun 2014, dengan menggusung Prabowo sebagai calon presiden bersama dengan Hatta Rajasa, perolehannya naik tiga kali lipat menjadi (11,81 %), berada diurutan ketiga dengan perolehan suara 14.760.371. Menurut hasil hitungan cepat sejumlah lembaga survei, pada tahun 2019 ini, Gerindra berada di urutan kedua setelah PDI-P. Sementara itu, Demokrat sendiri berada di posisi tengah, bersaing ketat dengan PAN, PPP, PKS, NasDem.
Berkaca dengan hal tersebut, pasca Prabowo, suara Gerindra menjadi pertanyaan besar ke depan; apakah terus mengalami kenaikan ataukah justru mengalami penurunan? Membandingkan dengan PDI-P, Megawati sendiri sudah berhenti untuk mencalonkan diri menjadi Presiden di tengah elektabilitasnya yang terus menurun. Meskipun demikian, Megawati tetap menjadi pucuk pimpinan yang menjaga stabilitas partai berlambang banteng ini.
Posisi ini memungkinkan dua hal; adanya stabilitas partai politik di bawah kendali Megawati dan adanya proses kaderisasi di bawahnya. Meskipun demikian, dalam beberapa hal, demokratisasi internal sangat sulit diharapkan apabila Megawati sudah bersuara. Prabowo bisa menempati posisi seperti Megawati, sebagaimana kini dilakukan juga oleh Yusril Ihza Mahendra di PBB dan Amien Rais di PAN. Di sisi lain, Gerindra juga sudah memiliki maskot yang berpotensi meraup suara terbanyak dalam Pilpres 2024, yaitu Sandiaga Uno.
Meskipun tahun 2024 akan mengubah konstelasi yang apapun bisa terjadi. Selesainya Jokowi sebagai presiden selama 2 periode memungkinkan para tokoh-tokoh baru muncul, memberikan harapan terhadap masa depan Indonesia.
Di antara sejumlah tokoh tersebut adalah Tri Rismaharini (Walikota Surabaya), Ridwan Kamil (Gubernur Jawa Barat), Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta), Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah), Nurdin Abdullah (Gubernur Sulawesi Selatan), dan Khofifah Indar Parawansa (Gubernur Jawa Timur) serta tokoh-tokoh muda potensial lainnya.
Sama seperti Jokowi, spirit kebaruan, kemampuan manajemen sekaligus mengadopsi antara partisipasi dan teknologi menjadi bagian ke depan yang tidak bisa dipisahkan. Tidak dipungkiri, tarikan oligarki dalam upaya mendukung para tokoh potensial ini juga sebagai sesuatu yang tidak terhindarkan.
Namun, karena Jawa tetap menjadi kunci sebagai bagian dari perolehan suara terbanyak dari total suara di Indonesia dengan jumlah 60 persen, koalisi partai Nasionalis dan Islam tetap menjadi pertimbangan. Hasil Pilpres 2019 ini, adanya kerjasama PDI-P dengan PKB yang menggusung Islam tradisionalis tetap menjadi daya tarik untuk mendapatkan suara terbanyak.
Sementara itu, koalisi antara Nasionalis dan Islam modernis memang cukup kuat dan menjadi kuda hitam. Namun, jika terlalu memainkan narasi Islamisme dan politik identitas akan memunculkan kemuakan tersendiri di tengah kosmopolitan masyarakat Indonesia yang bisa mengakses informasi dari penjuru dunia melalui telepon genggamnya.
Dengan kata lain, menggunakan narasi agama dan politik identitas memang cukup efektif, tetapi memiliki batas-batasnya tersendiri. Batasnya ini yang seringkali dilupakan yang membuat agama kemudian menjadi harga yang sangat murah untuk dipolitisasi dalam meraih kemenangan politik elektoral.
Wallahu A’lam.