Nasi Uduk Ibu

Nasi Uduk Ibu

Bagaimana kita memaknai aktivitas sederhana dengan ibu tiap hari? Tulisan ini mencoba mengajakmu mengingat momen ini

Nasi Uduk Ibu
Ilustrasi lukisan tentang ibu. Photo: istimewa

Karena ukurannya yang kecil, ruang-ruang di rumah saya tak terbagi secara sempurna. Ruang keluarga, dapur dan ruang makan misalnya tak dipisahkan secara sempurna. Hanya sebatas tembok kecil yang berfungsi laiknya sebuah partisi untuk memisahkan. Akibatnya jelas, interaksi antar ruang menjadi begitu cair. Dari situ saya mulai memperhatikan bagaimana interaksi di rumah terjadi.

Setiap pulang ke rumah, bapak biasanya mengajak saya mengobrol di ruang keluarga sambil menonton televisi. Ia biasanya menanyakan beberapa hal terkait perkembangan informasi di luar. Biasanya ia bertanya soal politik, ia tahu anaknya setiap hari bergelut dengan hal itu. Saya biasanya menanggapinya dengan dingin. Bagi saya rumah adalah rumah, ia bukan sebuah ruang perdebatan yang berpindah tempat.

Sementara ibu berada di dapur yang hanya dipisahkan tembok kecil dari ruang keluarga. Ia rutin memasak makanan yang ia anggap saya sukai. Biasanya udang goreng dengan kulit yang sudah dikupas. Saya selalu gagal membuat udang, mungkin itu alasan ibu rajin membuatkan saya udang. Setelah udangnya masak, ia akan memanggil saya untuk makan bersama. Saya biasanya menyanggupinya. Di meja makan ia biasa menceritakan kesehariannya di pasar. Di dua ruang tersebut saya merasakan pengalaman yang berbeda.

Pengalaman ini yang saya sukai saat kembali ke rumah, kembali ke titik nol. Khususnya saat berbicara dengan ibu. Ia seperti punya kerajaan sendiri di rumah, dunia luar adalah sesuatu yang di luar dirinya. Baginya rumah, pasar dan bisnis kecil-kecilan yang ia jalankan adalah dunianya sendiri. Sementara bapak selalu merasa memiliki kepentingan dengan dunia luar.

Pagi ini saya teringat interaksi di ruang rumah saya ketika sedang berkirim pesan pendek dengan seorang teman. Ia mengatakan sedang membantu ibunya membuat kudapan. Saya membalas dan sedikit meledek dengan mengatakan interaksi ia dan ibunya mirip Film Brownies, terasa manis. Teman saya kemudian merespon bahwa ibunya tidak manis, justru ibunya tangguh. Saya hanya tersenyum membaca pesan tersebut.

***

Mel sedang mengunjungi Are di toko bukunya. Bukan tanpa alasan ia mengunjungi Are, Mel yang diceritakan sebagai planner di sebuah agency periklanan sedang melakukan riset untuk kliennya. Dalam obrolan tersebut mereka kemudian membahas tentang perempuan Jawa. “Perempuan Jawa itu ibarat canting, hidup dari nafas lingkungan rumah tangga. Terkesan tanpa daya di hadapan laki-laki, tapi di balik itu ada kekuatan untuk menggerakkan roda rumah tangga…ia beda dengan laki-laki yang kerjanya hanya ngomong soal politik sambil minum teh di pendopo,” jelas Are pada Mel sambil menghabiskan es podengnya.

Cuplikan tadi adalah sebuah scene di Film Brownies, salah satu film dengan skenario terbaik yang dibuat Salman Aristo. Are sebenarnya sedang menaruh “bapak” dan “ibu” secara oposisi biner. Tentu dalam kehidupan nyata ada persilangan kepentingan diantaranya. Tapi ia dengan sederhana menggambarkan apa yang terjadi di kebanyakan rumah, tak terkecuali rumah saya.

Mungkin Are benar ketika melihat ibu sebagai sebuah roda rumah tangga, tapi ia melupakan satu hal. Ia bisa terus berputar karena komitmennya. Bukan komitmen pada sesuatu yang besar, tapi sebuah komitmen yang justru sangat keseharian, bahkan dipandang remeh. Ia berkomitmen pada rutinitas.

Saya tak bisa membayangkan menjadi ibu. Bangun, mengurus pekerjaan rumah, menyiapkan diri membuka toko, menjaga toko, kemudian pulang di malam hari. Sebuah rutinitas yang tiap hari ia lakukan selama bertahun-tahun. Ia berhasil menjalaninya dengan biasa saja.

Saya ingat sebuah esai “Kitab Kawin Mawin” yang ditulis Ulil dalam Jurnal Kalam. Di situ ia menceritakan seorang tokoh tanpa nama (yang boleh jadi adalah alter egonya) yang sedang mudik ke kampung. Ia terperangah dengan kampungnya yang tidak berubah. Baginya ia sudah melompat ke zaman yang berbeda, namun kampungnya tetap.

Menggambarkan hal itu Ulil mencatat, “Barangkali kuncinya adalah kerutinan yang dijalani secara wajar, biasa saja, tanpa ada kehendak atau melankoli untuk mengejar kebaruan atau kedahsyatan.” Sementara untuk para generasi zaman yang merupakan anak kandung dari kampung tersebut ia menuliskan dengan, “Semangat ingin mendorong hidup ke batasnya yang paling ujung, frontier, semangat tak ingin rutin.”

***

“Tapi di tiap rutinitas pun lo bisa nemuin hal-hal baru, perspektifnya yang diubah. Pasti ada yang baru di rutinitas kok,” kata teman saya ketika kami mengobrol. Sebelumnya saya menceritakan tentang kekaguman saya pada orang-orang yang bisa melakukan sesuatu dengan rutin. “Gue enggak bakal bisa sih hidup rutin,” ujar saya. Dan ia pun melontarkan beragam perspektif tentang rutinitas yang menurut saya menarik. Pun dalam rutinitas ada kebaruan yang bisa digali, begitu singkatnya ia bicara.

Pendapat teman saya ada benarnya, mungkin. Jakarta dan banyak tempat lain mungkin tak menyediakan sebuah, apa yang dikatakan Ulil, sebagai ‘mendorong hidup ke batasnya yang paling ujung’. Heroisme tak punya tempat di kota ini agaknya. Ia butuh orang-orang biasa yang menjadi luar biasa karena bisa hidup dengan biasa.

Pulang dari bertemu dengan teman tersebut, esoknya saya kembali ke rumah. Saat itu ibu sedang menyiapkan nasi uduk untuk sajian kami berbuka puasa. Ibu tak pintar memasak namun ia telaten. Nasi uduk itu lumayan lengkap, ada ayam goreng, kering tempe, telor dadar dan abon. Ia menaruh beberapa piring sejajar untuk keluarga kami, cukup rapi.

Melihat itu saya seperti sedang kembali membaca Pram di Rumah Kaca. Di sana Pram mengatakan, “Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirnya.” Sedetik itu saya memandang ibu. Ia tak mengenal Pram, tapi ia menjalani hidup dengan biasa saja, tanpa ada keinginan mendorong ke ujung batas hidupnya. Malam itu saya mengamini apa kata teman saya. Ia benar adanya, pasti ada yang baru di tiap rutinitas. Seperti nasi uduk ibu yang malam itu berbeda dengan biasanya.