Narasi Kekeluargaan: Pengalaman Pesantren Mengelola Perbedaan

Narasi Kekeluargaan: Pengalaman Pesantren Mengelola Perbedaan

Narasi Kekeluargaan: Pengalaman Pesantren Mengelola Perbedaan

Banyak narasi yang disampaikan pegiat Islam damai menyebarkan gagasan dan kegiatannya. Kami sendiri, di Pondok Pesantren Qothrotul Falah Lebak Banten, lebih memilih mengedepankan narasi kekeluargaan sebagai lem atau kunci perekat beragam perbedaan: agama, suku, warna kulit, bahasa, pilihan politik dan sebagainya. Dan inilah yang terus-menerus kami sampaikan pada para santri usia SMP/MTs/SMA/MA, sehingga mereka memiliki keterbukaan dan tidak canggung lagi menatap realitas kebhinnekaan.

Doktrin narasi kekeluargaan ini, kami cantelkan pada riwayat Imam al-Baihagi misalnya. Rasulullah Saw bersabda: al-Khalqu kulluhum ‘iyal Allah wa ahabbuhum ila Allah anfa’uhum li iyalihi. Seluruh makhluk adalah keluarga Allah; dan yang paling dicintai-Nya adalah yang paling bermanfaat bagi keluarganya. Sabda putera ‘Abdullah dan Aminah ini menjelaskan bahwa semua yang ada di alam raya ini adalah makhluk Allah. Semua terangkum dalam tenda keluarga besar.

Semua makhluk di bumi ini berkeluarga karena muncul dari Dzat yang sama, pun akan kembali pada Dzat yang sama. Dan yang paling dicintai-Nya, adalah yang paling memberikan banyak kemanfaatan bagi anggota keluarga lainnya. Predikat terbaik bukan karena pilihan Islamnya, Kristennya, Katoliknya, Hindunya, Budhanya, atau Khonghucunya; melainkan karena peran sosial kemanusiaannya. “Khairal-nas anfauhum li al-nas/sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya, tegas Muhammad pada kesempatan lain. Dan inilah yang kami sampaikan pada santri kami, bahwa seluruh penghuni alam ini adalah keluarga besar Tuhan. Untuk itu pula, kami pernah menulis artikel untuk kegiatan di sebuah gereja, bertitel: “Aku, Engkau, Kita adalah Keluarga.

Jika kita mengedepankan narasi kekeluargaan, maka banyak hal yang bisa menjadi perekatnya. Kita muncul dari pintu yang sama dan akan kembali pada pintu yang juga sama. Apa bedanya? Tak ada! Dengan narasi ini, muncul pemahaman, bahwa bapak, ibu, kakak, dan anggota keluarga lainnya memiliki darah dan genetika yang sama. Tujuan akhir kiranya juga sama belaka. Tak elok dan tak pantas rasanya, kita saling menyalahkan saudara kita sendiri, hanya  karena pilihan isteri/suami yang berbeda, rancang bangun rumah yang tak sama, atau selera tersier yang tak serupa. Hargailah dengan penuh hormat pilihan-pilihan yang tak sama itu.

Ada beberapa contoh kecil yang bersifat turatsi (berlandaskan kitab kuning) terkait penghormatan pada pilihan yang berbeda ini. Dalam karya kecil Qami al-Tughyan karya Syeikh Nawawi Banten dituliskan, bahwa meng-ghibah (menggunjing) orang kafir itu haram alias terlarang hukumnya. Ini sama halnya membuka aib keluarga sendiri. Karena itu, al-Qur’an menarasikan bahwa menggunjing sama halnya memakan daging bangkai saudaranya (an ya’kula lahma akhihi maitan). Kalaupun ingin menegur, tentu saja bukan dengan mengumbarnya, melainkan dengan mengarahkannya penuh kelembutan.

Dalam al-Futuhat alMadaniyyah fi al-Syu’ab al-Imaniyyah karya Syeikh Nawawi Banten, juga dijelaskan bahwa kita terlarang merendahkan orang musyrik (penyekutu Allah Swt), karena dampaknya bisa menghilangkan ma’rifat kita kepada Allah. Narasi kekeluargaan seperti inilah yang penting didaur-ulang terus-menerus.

Dan semestinya, narasi kekeluargaan ini tidak hanya diinjeksikan pada santri pesantren, namun pada seluruh generasi muda bangsa ini. Karena nyatanya, seringkali tindak intoleransi justru dilakukan kaum muda sendiri yang semestinya menjadi generasi emas. Hasil survey Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), pimpinan Bambang Pranowo (Guru Besar Sosiologi Islam UIN Jakarta), pada Oktober 2010 s.d. Januari 2011 pada siswa dan guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di Jabodetabek, menyimpulkan bahwa 50 % siswa setuju tindakan radikal; 25 % siswa dan 21 % guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi; 84,8 % siswa dan 76,2 % guru setuju penerapan Syariat Islam di Indonesia; 52,3 % siswa setuju kekerasan untuk solidaritas agama dan 14,2 % membenarkan serangan bom. Dalam konteks akademik, penelitian ini sudah termakan usia memang, 5 tahun silam. Namun indikasi gerakan radikal di kalangan anak-anak remaja tampaknya terus menguat. Hasil penelitian Wahid Foundation yang disampaikan di Rancamaya Bogor Jawa Barat Agustus 2016 ini, kiranya juga menguatkan penelitian sebelumnya.

Pertanyaan berikutnya: bagaimana mengampanyekan narasi kekeluargaan ini? Kami dengan kawan-kawan santri menggunakan media 3R (mimbar, layar dan lembar). Media mimbar diisi dengan kegiatan ceramah di berbagai kesempatan dan ruang. Untuk santri, kami membentuk Halqah Santri Triple Ing Community atau Triping.Com. Tugas mereka hanya melakukan 3-ing, reading (membaca), writing (menulis) dan speaking (berbicara). Tiap pekan harus ada buku yang mereka baca dan dilaporkan tertulis, minimal satu buku. Mereka juga harus menulis makalah dan harus berani menyampaikan materi. Bahkan enam santri kami, sejak 1 Agustus 2016 berkeliling di beberapa radio di Banten untuk menyemaikan gagasan perdamaian, dimulai dari RRI Banten. Mereka juga membentuk Peace Leader yang bertugas menyemaikan perdamaian di kalangan siswa-siswi di Lebak Banten. Inisiasi kegiatan ini muncul dari SFCG Jakarta.

Kami memang berupaya melatih mereka berakrab dan terbiasa dengan tiga dunia ini, yang memang dibutuhkan untuk kontek kekinian. Bahkan untuk media lembar, kini mereka sudah menghasilkan buku Renungan Santri I: Esai-esai Seputar Problematika Remaja (2014), Renungan Santri II: Inteletualitas, Integritas dan Moralitas (2016), Rumah Kita (2015), juga Lazuardi Kata (2016) yang berisi kumpulan cerita pendek. Kegiatan-kegiatan demikian akan mengalihkan anak-anak usia muda dari kegiatan yang tidak positif.

Di Lebak juga diselenggarakan Pesantren Kebangsaan pada setiap Ramadhan, yang diisisiasi oleh kawan-kawan muda penggerak perdamaian yang tergabung dalam Forum Komunikasi Remaja Masjid Lebak (FKRML). Materi yang disampaikan tentang keramahan Islam, NKRI, Pancasila, antiradikalisme, saling menghormati antar perbedaan, dan sebagainya. Untuk tahun ini, sudah 17 kali kawan-kawan FKRML menyelenggarakannya dan militansi yang kuat tanpa topangan dana pihak manapun.

Melalui lembar, selain menerbitkan buku, kami juga membuat Buletin Samha, bekerja sama dengan Abdurrahman Wahid Center Universitas Indonesia (UI). Bulletin dengan bahasa ringan ini diniatkan sebagai pengimbang terhadap buletin-buletin galak yang antara lain disebarkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada setiap Jum’at, yang terus-menerus mengusung narasi khilafah. Bulletin al-Islam-nya HTI ini masuk ke berbagai masjid agung dengan begitu mudahnya, termasuk Masjid Agung al-A’raf Lebak. Dan Bulletin Samha berupaya memberikan keseimbangan informasi tentang keislaman yang ramah, bukan yang marah, kendati harus terus dievaluasi.

Dan melalui layar, selain menggunakan kendaraan website www.qothrotulfalah.com, kami dan santri-santri juga membuat film pendek yang mengusung perdamaian. Kami pernah membuat film berjudul Shalawat, yang menceritakan kearifan lokal di desa dekat pesantren. Kami juga membuat film Indahnya Keragaman, yang menarasikan perbedaan ibarat taman bunga. Akan indah dan menawan, jika taman ini dihiasi oleh bunga-bunga yang beragam warna dan beraneka keharuman.

Santri-santri kami juga mengikuti berbagai kegiatan pelatihan pembuatan video, yang diselenggarakan oleh berbagai pihak pengusung ide perdamaian. Pada September 2016 nanti, insya Allah dua santri kami juga akan terlibat kegiatan ini, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pesantren (PSP). The WAHID Institute juga sering mengajak santri kami mengikuti kegiatan serupa, termasuk pada 2013 hasil jepretan santri kami bertitel “Kebersamaan” memenangi lomba potografi. Itulah yang bisa kami lakukan, dan tentu harus terus-menerus aktif memproduksi aneka inisiatif dan terobosan lainnya, termasuk menghadirkan mereka yang berbeda keyakinan ke tengah para santri dan ini sudah berkali-kali kami lakukan.

Terkait penyemaian perdamaian ini, tentu saja masih banyak kekurangan baik yang bersifat internal maupun eksternal yang perlu segera dibenahi. Secara internal, soliditas pegiat dan pengusung isu perdamaian harus lebih ditingkatkan. Militansi yang kurang juga penting dinaikkan levelnya, sehingga bisa menyamai militansi kelompok-kelompok galak nan garang. Sedangkan tantangan eksternal, masih banyak orang tua atau tokoh masyarakat yang cuek terhadap isu-isu radikalisme. Pegiat perdamaian acapkali menghindari masjid-masjid yang sesungguhnya justru menjadi penyemaian paham-paham yang galak.

Jika Rajeb T. Erdogan menyatakan “masjid adalah barak kami,” maka kita semestinya juga menyatakan hal yang sama. Kita perlu kembali ke barak karena kelompok-kelompok toleran acapkali alpa di sana, sehingga kelompok-kelompok radikal mengambil kesempatan kekosongan ini. Maka, yang terpenting, kuasailah masjid, lembaga pendidikan dan ruang-ruang rumah tangga. Di sanalah anak-anak muda semestinya mendapatkan kegembiraan dan melupakan tindakan yang tak sejalan dengan misi agama dan kemanusiaan.[]

 Nurul H. Maarif adalah Pengelola Pondok Pesantren Qothrotul Falah Lebak Banten.