Di kelas, kami berdiskusi tentang khulafur rasyidin dan peristiwa terbunuhnya tiga di antara mereka. Sebagian mahasiswa memandang perstiwa itu sebagai bagian dari intrik politik dan fanatisme. Mereka lalu coba mengaitkan peristiwa itu dengan terbunuhnya seorang suporter di Bandung.
Menurut mereka, apa yang terjadi adalah bukti fanatisme bisa membutakan. Efek dari semangat permusuhan yang terus dipelihara. Berkubu-kubu tanpa akal sehat.
Salah seorang mahasiswa lalu mengkhawatirkan terulangnya kejadian nahas itu pada gelaran pilpres 2019. Menurutnya saat ini masyarakat seolah sudah terpolarisasi menjadi dua kubu. Meski pilpres 2019 tampanya akan lebih adem dibanding pilpres 2014, namun kewaspadaan tetap diperlukan. Kami lalu berdiskusi apa cara terbaik untuk meredam fanatisme terutama menghadapi pilpres 2019. Salah satu gagasan yang tercetus adalah dengan menggali kearifan lokal.
Dalam masyarakat Jawa dikenal istilah “sak madyane” yang jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia kira-kira artinya sewajarnya saja, secukupnya. Nasihat untuk tidak terlalu berlebihan, dalam hal apapun. Istilah ini bisa diterapkan untuk kondisi apa saja. Termasuk dalam hal politik dan sepakbola.
Dukung mendukung klub bola boleh, tapi sewajarnya saja. Begitu juga dalam pilpres 2019. Siapapun mendukung capres A atau B tidak masalah. Tapi sekadarnya saja. Tidak perlu ngotot. Demikian halnya ketika tidak suka dengan lawan politik. Tidak harus sampai mencaci maki, menjelek-jelekkan, dan memfitnah.
Masyarakat Jawa juga karib dengan istilah “menang tanpa ngasorake”. Saya kira ini juga bentuk kearifan menjadi semakin relevan di momen pemilihan presiden atau kepala daerah atau sejenisnnya. Makna dari ungkapan itu kurang lebih: jika menang jangan merendahkan. Menang dalam kontestasi politik sejatinya justru merupakan hal “berat” dan tidak perlu disambut dengan euforia, sebab amanah besar sudah menanti di depan.
Maka ketika keluar sebagai pemenang hendaknya berlaku sewajarnya, terutama para pendukung garis keras masing-masing paslon.
Lebih mendasar dari itu, Jawa juga mengajarkan “unggah ungguh” atau tatakrama.
Kita tahu, ada aturan cara berbicara kepada orang yang lebih tua dari kita, menggunakan kromo inggil misalnya. Di titik tertentu itu adalah wujud sopan santun kita kepada orang lain. Mengingatkan perihal tatakrama dan sopan santun sejujurnya terasa klise. Namun di masa sekarang, terutama di media sosial, dua hal tersebut seakan pudar.
Banyak yang abai hanya karena merasa media sosial menjajikan kebebasan berpendapat.
Segala kearifan tersebut jika dicermati selaras dengan nilai-nilai Islam.
Manifestasi dari berislam adalah akhlak. Muslim yang baik menghindarkan orang di sekitar dari keburukan akhlaknya. Sebab, selain baiknya hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan sesama manusia harus juga mendapatkan perhatian.
Menjadi aneh jika secara individual ia tampak soleh tapi perilakunya menyakiti dan merugikan lain.
Jika kearifan Jawa (dan daerah manapun, sebetulnya) dihayati dan mampu menjadi laku, saya kira kita tidak akan bertemu kembali dengan hal-hal barbar selama pilpres. Sebab pada intinya segala kearifan budaya itu ingin mengembalikan manusia sebagai manusia. Menghidupkan kembali sisi-sisi kemanusiaan. Menjenguk ulang kefitrahan kita.