Narasi Ekstremisme Ber(Agama) di Media Sosial

Narasi Ekstremisme Ber(Agama) di Media Sosial

Narasi Ekstremisme Ber(Agama) di Media Sosial

Kehidupan memberi kita ruang menyimak aktivitas beragam manusia beragama, melihat mereka menjalankan ibadah harian, menyalurkan zakat dan sedekah, menyantuni fakir miskin, hingga bergiat di komunitas sosial yang berlandaskan nilai keagamaan. Religio, sebagai istilah, bermakna sebuah ikatan yang menghubungkan manusia dengan kebenaran.

Sayyed Hossein Nasr dalam Ideals and Realities of Islam (2000) menerangkan bahwa kebenaran mutlak memiliki dua esensi yang sama dalam semua agama, yakni doktrin dan metode. Doktrin agama merupakan alat untuk membedakan antara yang mutlak dan yang nisbi, membedakan apa yang wujud dan apa yang hanya nampak wujud. Sedangkan metode, adalah alat untuk mendekatkan diri kepada yang nyata dan mutlak serta hidup sesuai dengan kehendak-Nya, yang menjadi tujuan dan arti eksistensi manusia.

Perbedaan pada ranah metode merupakan jawaban mengapa hari-hari ini spanduk-spanduk bertajuk bela agama, bela ulama dan semacamnya semakin pepat di seantero Jakarta, bahkan terus menyebar ke kota-kota lain. Keluhan terhadap khotbah Jumat dan materi pengajian yang politis pada mimbar-mimbar masjid yang seharusnya mengakomodasi sifat rahmatan lil alamiin pun terus menguat. Salah satu penyebab arus tak terbendung tersebut adalah media.

INFID dan Jaringan Gusdurian melalui Survei Persepsi Orang Muda & Pemetaan Internet-Social Media, Tentang Radikalisme dan Ekstrimisme di Indonesia” melakukan pengamatan terhadap situs-situs online radikal dan percakapan di media sosial.  Proses pencarian data didasarkan pada kata kunci yang dirumuskan berdasar pada indicator for monitoring extrimism (The International Centre for Counter-Terrorism (ICCT) – (Alex P. Schmid, 2014).  Schmid merumuskan 20 indikator ekstrimisme dengan mengacu kepada Manus I. Midlarsky, Origins of Political Extremism: Mass Violence in the Twentieth Century and Beyond (Cambridge: University Press, 2011) dan Astrid Bötticher & Miroslav Mares, Extremismus (2012).

Hasilnya, temuan pada pesan teks pribadi (Whatsaap) media sosial (twitter, facebook, instagram) dan video (youtube) secara umum memuat beberapa narasi ekstremisme yang segaris. Pertama, pesan menyajikan frame bahwa umat Islam tertindas, terzalimi, dan mendapat perlakuan tidak adil. Serangan terhadap Islam ini dilakukan oleh kaum luar yakni kelompok kafir dan kaum sesat (yang bisa berupa syiah atau yang lainnya). Kedua, narasi berisi seruan jalan keluar atas masalah tersebut, yakni kembali menegakkan atau menjalani hukum Islam secara utuh dari level individu hingga negara dan melakukan perlawanan terhadap kaum kafir dan sesat.  Pijakan motivasionalnya adalah bahwa hal tersebut —melawan kaum kafir dan menegakkan hukum Islam—adalah perintah atau kewajiban agama.

Menurut Snow dan Benford dalam teori frame alignment (1988), gerakan-gerakan sosial dan para aktivis menggunakan frame untuk melibatkan para pendukungnya, merekrut anggota baru, dan memotivasi mereka untuk melakukan aksi-aksi yang sejalan dengan misi organisasi.  Organisasi dan gerakan sosial melakukannya dengan tiga proses framing yaitu diagnostik, prognistik, dan motivational framing.  Perasaan sebagai Muslim yang tertindas serta siapa yang dipersalahkan termasuk dalam diagnostik framing, yakni serangkaian pesan yang memberikan identifikasi masalah yang harus diatasi (dalam hal ini termasuk atribusi kesalahan atau penyebab).

Adapun pesan-pesan untuk kembali kepada hukum Islam dan skema Negara Islam termasuk dalam prognostik framing yang yang memuat framing solusi dan cara mengatasi masalah tersebut. Sementara motivational framing adalah alasan atau dasar mengapa aksi jihad harus dilakukan termasuk seruan untuk beraksi mengatasi masalah tersebut.

Skema Negara Islam yang ditawarkan sebetulnya tidak sesuai dengan tawaran piagam Madinah sebagaimana yang selama ini kerap dijadikan rujukan para ekstremis. Rasul Muhammad pada tahun 622 M justru menghentikan pertentangan sengit antara Bani Aus dan Bani Khazraj di Madinah dengan menetapkan sejumlah hak dan kewajiban yang adil bagi kaum Muslim, kaum Yahudi dan orang-orang Pagan Madinah dalam bentuk sebuah komunitas yang disebut ummah. Konsep ummah dapat kita maknai sebagai nasion (bangsa). Konsep nasion ke-Indonesiaan kita pun telah baik dan final dalam piagam Jakarta yang kemudian disahkan dalam Pancasila.

Sementara itu, istilah jihad juga merupakan polisemi (mushtarak al ma’ani). Harun Ibnu Musa di akhir tahun kedua hijrah menyebut dalam Al Wujuh wa Al Nazair perihal tiga makna turunan dari jihad, yakni jihad bil qawl atau jihad lewat ucapan (Q.S 25:52 dan Q.S 9:73), jihad al qital bis silah atau peperangan (Q.S 4:95) dan jihad al amal atau giat bekerja (Q.S 29:6 dan Q.S 22:78).

Selainnya, prinsip ayat muhkamat (sudah pasti) yang jatuh untuk ayat-ayat perdamaian serta prinsip mutasyabihat (perlu ditinjau ulang) yang jatuh untuk ayat-ayat perang akan cocok Jika ditilik menggunakan metode double movement Fazlur Rahman. Di sini, ayat Al Qur’an dapat dipahami lewat dua jalan. Pertama, penafsir memahami ayat dengan memperhatikan situasi sejarah dan akar turunnya ayat dengan menilik prakondisi makro orang Arab saat ayat turun. Kedua, penafsir mengambil prinsip moral tertentu dari kisah yang tersaji kemudian menghubungkan dengan pesan utama teks untuk diinterpretasi sesuai kondisi hari ini.

Bermacam pendekatan untuk memaknai agama sebagai semata alat perdamaian itu akan mengingatkan kita pada KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menawarkan tiga pendekatan dalam agama. Pendekatan filosofis, memaknai agama secara tidak literal semata. Pendekatan etis, sebisa mungkin menempatkan agama sebagai instrumen kesopanan universal. Dan, pendekatan humanis, yang berarti agama harus wujud dalam persaudaraan yang utuh. Ketiga hal tersebut sesungguhnya memuat pesan kebaikan yang identik dalam semua agama, sehingga persaudaraan sejati (yang bukan hanya strategis atau politis) pun sangat mungkin untuk diwujudkan. []

Kalis Mardiasih, Staf dan Periset di Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian