Nabi Tidak Pernah Sesat, Belajarlah Ilmu Agama dari Ahlinya

Nabi Tidak Pernah Sesat, Belajarlah Ilmu Agama dari Ahlinya

Belajar ilmu agama hendaknya dari orang yang benar-benar menguasai ilmu, begitu pesan para ulama terdahulu

Nabi Tidak Pernah Sesat, Belajarlah Ilmu Agama dari Ahlinya
Evie Effendi berpose di pelataran Masjid Al Ukhuwah, Bandung, Senin (25/6/2018) Beritagar.id / Aditya Herlambang

Sudah seringkali saya ingatkan agar setiap umat Islam berhati-hati agar mengambil ilmu agama langsung dari para ahlinya, yakni dari para ulama, kyai, ustadz, tuan guru, yang jelas mata rantai pengambilan ilmunya (isnad), telah populer akan kedalaman ilmunya dan kesalehannya. Jangan belajar justru secara kepada sembarang ustadz atau ustadz yang sembarangan. Karena kini sebagian umat Islam sudah gampang memberi predikat ustadz kepada siapa saja yang pintar ceramah agama, pintar membual soal agama dan politik sambil sesekali melawak atau menghibur para pendengarnya, dan “berani” mengecam sana sini. Persoalan yang mereka panggil ustadz itu pada hakekatnya sungguh tidak paham ilmu-ilmu agama tidak menjadi masalah, karena mereka yang menggelarinya juga tidak paham.

Dunia keberagamaan kita kini sepertinya sudah jungkir balik dan penilaian masyarakat awam juga sudah terbalik-balik. Para tokoh agama yang dikenal luas dan mendalam ilmu agamanya, diperoleh dari silsilah/sanad keilmuan yang jelas, dan dikenal berakhlak baik tidaklah mereka gandrungi. Sebaliknya justru mereka benci, mereka fitnah dengan stigma-stigma negatif seperti Syi’ah, liberal, munafik, ulama su’, penjilat pemerintah dan sebagainya berupa kalimat-kalimat yang tidak menunjukkan adanya kesantunan dan kecerdasan dalam beragama itu sendiri.

Akibat buruk dari belajar agama secara instan kepada para ustadz “hijrah karbitan” adakah sebagian masyarakat menjadi terombang-ambing, kebingungan, dan labil dalam beragama. Para ustadz abal-abal yang sangat senang terkenal di media sosial itu karena tidak memunyai basis ilmu-ilmu keislaman yang kokoh dan disertai semangat yang menggelora menjadi sangat mudah tergelincir dalam menafsirkan ajaran agama, cenderung tekstualis, beragama secara eksklusif, sempit wawasan, tidak bijaksana, mudah menyalahkan pihak lain, menjadi intoleran, sesat dan menyesatkan, dan pada ujungnya mencari pengikut sebanyak mungkin untuk tujuan-tujuan yang bersifat duniawi.

Jejak-jejak digital di Youtube masih menyisakan berserakan bukti yang sangat mudah kita akses untuk sekedar melihat segala bentuk dan model “ustadz” yang sangat sembarangan dalam mengutip dalil, berupa al-Quran dan al-hadits, yang lepas dari konteksnya, dimaknai semaunya, diletakkan bukan pada tempatnya, dijelaskan tanpa landasan ilmu, disimpulkan sendiri hukum-hukumnya dengan mengikuti hawa nafsunya (tanpa syarat-syarat ilmiah dan syarat-syarat kepribadian), dikutip untuk menyerang siapa saja yang dianggapnya memusuhi atau merusak agama, dan tentu saja dipolitisasi untuk menjaring pengikut setia sebanyak-banyaknya.

Para ustadz dengan karakteristik sebagaimana yang saya gambarkan itu hendaknya segera ditinggalkan dan janganlah diikuti karena telah jauh menyimpang dari rel agama, tidak membawa umat ke dalam hidup yang maslahat, melainkan menjerumuskan umat ke jurang kehidupan dunia-akhirat yang sangat berbahaya.

Contoh yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial adalah tentang seorang “ustadz hijrah” yang menyebut bahwa nabi Muhammad pernah termasuk sesat sebelum beliau diutus menjadi rasul dan oleh karena itu tidak boleh memeringati hari lahirnya. Cukup jelas bahwa pernyataan itu dilatar belakangi oleh dorongan hawa nafsu karena menafsirkan kata “dlāllan” dengan kesesatan, suatu penafsiran yang tidak pernah dijelaskan oleh para mufasir kenamaan dalam kitab-kitab tafsir terdahulu.

Tentu kata “dlāllan” pada Qs. al-Dluha itu tidak bermakna sesat dalam arti tidak tahu atau menyimpang dari Islam, karena maksud firman Allah tersebut konteks (sabab nuzul)nya adalah menghibur Rasulullah dengan mengingatkan bahwa pada saat belum diturunkan wahyu kepadanya, beliau dalam kondisi bingung, yakni tidak mengetahui arah yang benar, hingga kemudian Allah memberikan petunjuknya. Dengan menelaah karya-karya tafsir al-Quran kita bisa mendapati beberapa versi penafsiran atas maksud kata “dlāllan” dalam Qs. al-Dluha itu dari para mufasir.

Tentu saja tidak cukup mengandalkan terjemah al-Quran dan sekedar tahu arti kosa kata bahasa Arab menurut kamus untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang memiliki makna yang sangat dalam itu. Ada sekian syarat ilmiah dan kepribadian untuk mampu menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang tidak sembarang ustadz bisa memenuhinya.