Nabi Musa, Khidir dan Nalar Kritis Kita

Nabi Musa, Khidir dan Nalar Kritis Kita

Tradisi nalar kritis, logis, dan rasional kini hilang pada sebagian kaum beriman.

Nabi Musa, Khidir dan Nalar Kritis Kita

Dialog dan perjalanan Nabi Musa dan Nabi Khidir menjadi dua arus besar dalam tradisi intelektual Islam, Teologi atau Filsafat dan Mistisisme. Singkat kata, ketika Khidir merusak perahu yang memberi tumpangan gratis kepada keduanya, Musa merasa heran/penasaran, “Kenapa engkau rusak perahunya? Mau menenggelamkan penumpangnya? Ini kesalahan fatal!” Musa protes.

Kedua, Ketika Khidir tiba-tiba membunuh anak kecil tanpa sebab, tak ada angin tak ada panas, Musa kembali mengajukan pertanyaan logis-kritis, “Kenapa engkau bunuh anak kecil yang masih bersih itu tanpa sebab? Ini perbuatan keji yang sulit diterima akal sehat!”.

Logis dan rasional adalah kata kunci memahami jalan pikiran nabi Musa. Selama puluhan tahun nabi Musa hidup dengan bangsanya, kaum Israel, yang konon berpegang kepada hukum yang ketat (Torah). Salah satu karakteristik yang khas dari teori dan implementasi hukum adalah logis dan rasional.

Pandangan dunia (????? ????), termasuk aturan, hukum dan sanksi-sanksinya harus bisa dijelaskan secara logis-rasional dan dapat diterima oleh nalar yang sehat. Sementara tradisi mistik atau sufisme yang dipraktikkan oleh Khidir yang menerima langsung wahyu, revelasi atau ilham dari Tuhan adalah fenomena yang tidak bisa diverifikasi, tidak bisa diobservasi, dan seringkali tidak logis dan rasional, untuk ukuran orang-orang biasa, bahkan untuk ukuran para teolog dan filusuf.

Fenomena mistik seperti yang dialami Khidir seringkali hanya terbatas pada kasus-kasus spesifik yang tidak bisa diberlakukan secara umum, dalam waktu, ruang dan aktor yang umum. Dengan kata lain, fenomena Khidir adalah tradisi kecil, tradisi orang-orang khusus dalam lingkaran yang sangat terbatas, meskipun efek atau hasil dari visi elit Sufi ini bisa sangat besar bagi kemanusiaan.

Musa juga menerima wahyu, ia jelas orang beriman, tapi ia ingin menunjukkan pikiran yang kritis sebagai hal yang manusiawi. Naluri bertanya dan ingin tahu (?????????) adalah insting dasar manusia. Di Abad Pertengahan model Musa ini sering disebut sebagai “????? ???????? ??????????? (????? ??????? ?????????????), iman yang mencari rasionalitas.” Meskipun tidak semua doktrin teologis bisa dijelaskan, tapi saya ingin terus mencari penjelasan yang logis dan rasional dari iman (agama) yang imani ini, begitu kira-kira.

Arkoun menyebut iman yang kritis ini sebagai “iman progresif” yang berpuncak pada sosok Ibn Rusyd. Ibn Rusyd adalah salah satu pionir rasionalitas dalam Islam. Ibn Rusyd meninggalkan warisan yang mendorong kaum Muslim untuk mengembangkan kemanusiannya dengan cara “bertanya dan mengkritik”, persis seperti Musa. Bagi Ibn Rusyd, iman-wahyu sama sekali tidak bertentangan dengan penalaran rasional, karena berpikir logis dan rasional bukan hal di luar syariat, tapi justru perintah syariat. Ibn Rusyd sering merujuk kepada ayat-ayat yang mewajibkan aksi menalar, berpikir dan mengambil I’tibar, apakah pada fenomena hukum alam atau pada struktur makhluk yang rumit.

Untuk mencapai kebenaran definitif (jelas dan pasti) atas doktrin teologi dan semesta yang empirik ini, Ibn Rusyd mendorong kaum Muslim untuk mengembangkan metode burhani (rasional-demonstratif), bahkan metode ????? ‘????, melakukan analogi rasional antara wahyu dengan akal bersamaan, bahkan lagi menggunakan ????? ?????? ??????? (analogi definif-demonstratif).

Sekali lagi, bagi Ibn Rusyd, iman dan akal tidak mungkin bertentangan. Itu artinya Al-Quran dan filsafat Aristoteles (yang dianut Ibn Rusyd) adalah satu kebenaran, atau “kebenaran tunggal”. Ibn Rusyd menolak “kebenaran ganda”, yakni satu ajaran yang benar dan bisa diterima oleh nalar secara filosofis tapi menjadi salah ketika dilihat oleh agama. Syariat Islam tidak begitu, kata Ibn Rusyd.

Bagi banyak orang mungkin sulit kalau mau jadi “Ibn Rusyd baru”, tapi minimal membiasakan tradisi berpikir logis, rasional dan kritis dalam banyak aspek yang proporsional, harus dijaga. Tradisi itu kini hilang pada sebagian kaum beriman. Agama seringkali disamakan dengan Tuhan. Padahal beda, yang satu ciptaan, yang satu lagi Pencipta.

Penafsiran keagamaan yang seringkali tidak logis, tetap diikuti ?? ????, tanpa dicerna lagi. Pikiran, tindakan dan ajaran beberapa tokoh agama yang sulit diterima akal-budi dan nalar sehat, tetap diikuti secara massal tanpa ???????, karena mereka adalah panutannya yang ‘pasti tidak mungkin salah’. Di hadapan terang akal-budi, sebagian orang beriman itu jadi terlihat “naif dan dungu”.

Tradisi kritis dan “ingin tahu” (kuriositas) Nabi Musa dan kaumnya, bangsa Yahudi kelihatannya tetap dijaga dari generasi ke generasi. Mereka inilah kelak jenius-jenius yang jadi para penemu (?????????) ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka rutin dapat hadiah nobel sains atau penghargaan-penghargaan kelas dunia karena temuan-temuan mereka bermanfaat bagi jutaan manusia.

Sebagian kaum Muslim yang dididik di Lembaga Pendidikan Islam tradisional atau modern, termasuk saya dulu di pesantren, sering diajari: “tidak boleh banyak bertanya, karena itu perilakunya Bani Israel! Dan Bani Israel itu terkutuk!” Kaum yang kita anggap “terkutuk” itu dalam dua abad terakhir menjadi para penentu arah dunia, para pemain, para produsen. Sementara kita tetap jadi penonton, tetap jadi konsumen, dan seringkali jadi korban. Pilihan selalu terhampar di hadapan kita, mau jadi ????????? atau tetap ????????? (??????????)?

Wallahu a’lam.