Aisyah pernah ditanya apakah Rasulullah juga guyon.
“Ya,” kata Aisyah.
Aisyah bercerita, suatu saat ia sedang bersama seorang perempuan tua di rumah. Rasulullah kemudian datang. Nenek-nenek ini minta didoakan agar kelak masuk surga.
“Surga tidak dimasuki oleh nenek-nenek renta,” kata Rasulullah. Rasulullah segera ke luar rumah karena ada yang memanggil, kemudian masuk lagi. Beliau melihat nenek-nenek ini menangis.
“Kenapa?” tanya Rasulullah. Rasulullah lalu tahu bahwa nenek-nenek tadi menangis karena ucapan beliau tadi.
“Oh, iya. Surga tidak dimasuki nenek-nenek renta,” kata Rasulullah. “Sebab, kelak nenek-nenek renta akan diubah oleh Allah menjadi perawan, penuh cinta, dan sebaya umurnya.”
Kisah di atas dinukil oleh Ibnu al-Jauzi (597 H.) dalam Akhbar al-Adzkiya’. Secara bahasa, judul kitab itu berarti “Kabar tentang Orang-orang Cerdas”—Ibnu al-Jauzi seakan hendak menjelaskan kecerdasan Rasulullah dalam berguyon. Dengan rangkaian rawi berbeda, Imam al-Tirmidzi (279 H.) juga meriwayatkan kisah tersebut dalam al-Syamail al-Muhammadiyyah.
Kisah berikut juga dinukil oleh Ibnu al-Jauzi dalam Akhbar al-Adzkiya’.
Suatu ketika Rasulullah menanyakan nama suami seorang perempuan. Si perempuan lalu menyebutkan nama.
“Oh, yang di matanya ada putih-putihnya, ya,” kata Rasulullah.
Si perempuan kaget, lalu segera pulang dan langsung memeriksa mata suaminya.
“Kamu kenapa, sih?”
“Rasulullah bilang ada putih-putih di matamu.”
“Ya, memang semua mata itu ada putih-putihnya.”
Imam Tirmidzi meriwayatkan, suatu ketika, seseorang minta unta (untuk dijadikan tunggangan) kepada Rasulullah.
“Oke. Nanti kamu bisa naik anak unta,” jawab Rasulullah.
“Mau diapain itu anak unta?” kata si seseorang itu. Anak unta tentu saja masih kecil. Tidak layak dijadikan tunggangan. Begitu, dia pikir.
“Lah ya kan setiap unta juga anak dari unta?!” kata Nabi.
Masak ada unta anak dari manusia.
Sa ae, Nabi.
Dalam Akhbar al-Hamqa wa al-Mughaffalin, Ibnu al-Jauzi menukil tata cara membunuh setan. Seorang tukang cerita berkata di hadapan orang banyak, “Jika kalian membaca ‘bismillah’ sebelum makan, setan tidak akan mendekat. Nah, makanlah roti yang asin, tapi jangan baca ‘bismillah’, biar setan ikut makan. Habis itu, minum, baru baca ‘bismillah’. Setan bakal mati kehausan.”
Bisa jadi, lelucon di atas terinspirasi dari hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (teks Arabnya dapat Anda baca di catatan kaki).
Seseorang makan tanpa membaca “bismillah”. Sampai tinggal satu suapan, ia baru membaca “bismillah” (Bismillahi awwalahu wa akhirahu—ini kemudian disebut sebagai doa saat lupa membaca “bismillah” sebelum makan; baru ingat setelah melewati satu suapan atau lebih).
Melihat tingkah seperti itu, Rasulullah tertawa.
“Tadi setan ikut makan,” kata Rasulullah. “Tapi dia langsung muntah saat dibacakan ‘bismillah’.”
Jadi, ya. Rasulullah juga pernah guyon. Sampai-sampai, para penyusun kitab hadis, seperti Imam Tirmidzi dalam al-Syamail al-Muhammadiyyah, membuat judul bab bernama “Bab Ma Ja’a fi Shifah Muzah Rasulillah” atau “Bab Guyonane Rasulullah”.
Jadi, tidak berlebihan jika dikatakan, guyon, ngelucu, merupakan sunnah Nabi. Dalam arti, ada guyonan yang dinisbahkan kepada Nabi; Nabi pernah guyon. Bahkan, barangkali bukan lagi pernah; Nabi sudah berada di level senang guyon—seperti Anda.
Sebab, guyonan memang manusiawi.
Wallahu a’lam.