Sejak umat Islam menguasai berbagai wilayah di jazirah Arab, Nabi Muhammad mewanti-wanti umat Islam supaya tidak menzalimi penganut agama lain.
Dalam perjalanan hidupnya, Nabi Muhammad memang banyak melakukan perang melawan orang-orang non muslim seperti penyembah berhala Quraisy, Yahudi Madinah, Nashrani, dan yang lainnya. Namun perlu “digarisbawahi”, motivasi perang bukan untuk menyebarkan agama (dakwah) atau karena perbedaan agama, melainkan karena mempertahankan diri dari serangan orang-orang yang memusuhinya (daf’u al-i’tidâ`) dan menghentikan perilaku orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi (fitnah fi al-`ardl).
Ketika berperang melawan orang-orang yang tidak seagama, Nabi tetap menjunjung tinggi hak kebebasan beragama para lawannya. Hal ini dibuktikan ketika Nabi perang melawan Yahudi di wilayah Khaibar, sekitar 150 km dari Madinah, Nabi memerintahkan sahabatnya untuk mengembalikan Taurat, kitab suci Yahudi yang tertinggal bersama harta kekayaannya. Harta kekayaan milik Yahudi menjadi harta jarahan perang (ghanîmah), sementara kitab sucinya disuruh dikembalikan kepada pemiliknya. (Al-Maqrîzî, 1999: I, 318).
Pesan Nabi Muhammad untuk tidak mengzalimi umat non muslim ini antara lain:
أَلَا مَنْ ظَلَمَ مُعَاهَدًا أَوِ انْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ، أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا بِغَيْرِ طِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ، فَأَنَا حَجِيْجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Ingatlah, barangsiapa menzalimi umat agama lain yang sudah mengadakan perjanjian damai, atau mengurangi haknya, atau membebani sesuatu di luar kemampuannya, atau mengambil kebijakan yang tidak mengenakkan hatinya, maka kelak di hari kiamat dia akan berhadapan dengan saya.” (HR. Abî Dâwud, 3052).
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيْحَهَا تُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا
“Barangsiapa membunuh non muslim yang tidak memerangi umat Islam maka ia tidak akan mencium bau surga. Sesungguhnya bau surga dapat ditemukan dari jarak tempuh 40 tahun.” (HR. Al-Bukhârî, 3166).
Kata “dhalam” atau “dhulm” dalam hadis di atas memiliki makna sebagaimana kata zalim dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yaitu “tidak adil”, “kejam” atau “berbuat sewenang-wenang”. Dalam kamus bahasa Arab Lisân al-‘Arab karya Ibnu Mandhûr, kata dhulm diartikan dengan “meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya (wadl’u asy-syai`i fî ghairi maudli’ih)”, “tidak adil (lam ya’dil)”, “bertindak sewenang-wenang (al-jaur)”, “melampaui batas (mujâwazatu al-hadd)”. (1414: XII, 373).
Pesan untuk tidak menganiaya non muslim disampaikan Nabi berulangkali. Alasannya, ketika umat Islam semakin banyak dan menguasai suatu wilayah tertentu maka rentan terjadi diskriminasi dan tindakan yang tidak adil terhadap pemeluk agama lain. Bagi Nabi, seseorang tidak boleh mengzalimi siapapun termasuk non muslim.
Orang yang dizalimi atau dianiaya (al-madhlûm) dari pengikut agama manapun memiliki derajat yang sangat tinggi di sisi Allah. Karenanya doa orang yang dizalimi sangat cepat dikabulkan. Nabi bersabda:
اِتَّقُوا دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ، وَإِنْ كَانَ كَافِرًا، فَإِنَّهُ لَيْسَ دُونَهَا حِجَابٌ
“Takutlah terhadap doa orang yang dianiaya, sekalipun dia bukan orang Islam (kafir). Sesungguhnya doa yang dipanjatkan oleh orang yang dianiaya tidak memiliki penghalang.” (HR. Ahmad bin Hanbal, 12549).
Melalui sabda di atas, Nabi Muhammad hendak menegaskan bahwa manusia dari agama dan suku manapun haram disakiti. Dalam hadis, Nabi menggunakan kata “kâfir” untuk menyebut selain umat Islam yang berarti kandungan maknanya menyeluruh, yakni haram menzalimi meski kepada orang yang dipandang telah tertutup mata hatinya, “tersesat”, atau tidak taat beragama.
*) Penulis adalah Pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Bukit Walisongo Semarang