Kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa sudah tak asing lagi bukan? Nabi Musa yang ditegur Allah karena merasa sombong. Pencarian Nabi Musa. Nabi Musa yang mesti kembali ke tempat Nabi Khidir berada setelah melewatinya. Kemudian tak boleh mempertanyakan apapun yang dilakukan Nabi Khidir. Nabi Khidir yang merusak Perahu. Nabi Khidir yang membunuh seorang anak. Nabi Khidir yang merenovasi rumah.
Nabi Musa si Kalamullah, dalam perjalanannya menemui, bertemu, dan bersama Nabi Khidir ditunjukkan hal-hal, kebenaran dan pengetahuan yang awalnya tak tampak. Nabi Musa masih menggunakan indera dan akalnya dalam melihat sesuatu. Nabi Musa menggunakan kebenaran logikanya. Ia mempertanyakan Nabi Khidir yang merusak perahu. Mata dan akal siapapun yang melihat itu, bisa dipastikan akan mengatakan perbuatan itu salah. Apalagi ketika Nabi Khidir membunuh seorang anak. Lalu membangun rumah di desa yang penduduknya tidak ramah. Dan itu pada akhirnya membuat nabi Musa dibilang “orang yang tidak bisa sabar”.
Apa yang dilakukan nabi Khidir kepada nabi Musa adalah menunjukkan kebenaran dan pengetahuan yang tidak tampak secara lahiriah. Ya, kebenaran dan pengetahuan yang tersimpan secara batiniyah. Sederhananya, kisah kedua nabi tersebut menjelaskan bahwa ada kebenaran dan pengetahuan yang tak tampak. Tersembunyi di balik wujud fisik dan lahiriah. Lalu apa kaitannya dengan sabar?
Sabar itu terkait proses dan waktu. Proses yang tak henti dalam mencari kebenaran dan pengetahuan. Bahkan Allah sendiri menciptakan semesta dalam enam hari, padahal Allah sanggup menciptakan semua dalam sekali petikan jari. Bahkan lebih cepat dari orang solih yang memindahkan istana ratu Bilqis sebelum Nabi Sulaiman selesai mengedipkan mata.
Begitu juga dengan kebenaran dan pengetahuan yang tak tampak. Kebenaran yang menurut Al-Imam Al-Ghazali tersimpan dalam “dzauq”. Di dalam hati. Tersembunyi. Tak terliat oleh mata. Bahkan terkadang tak bisa diterima akal. Dan Azan, selain pengingat masuknya waktu salat, juga menjadi pengingat semua itu: kebenaran dan pengetahuan yang tak tampak, sabar dalam proses pencariannya.
Lalu apa kaitannya azan dengan kebenaran, pengetahuan dan sabar?
Kebenaran dan pengetahuan yang hakiki menurut Al-Imam Al-Ghazali itu sumbernya dari Allah. Berupa cahaya. Nurullah. Cahaya Allah itu tak bisa dilihat oleh biji mata sebagai indera penglihatan manusia. Bahkan akal tak mampu menangkapnya. Satu-satunya yang bisa hanya “dzauq”. Intuisi. Hati. Seperti proses penerimaan wahyu pertama pada Nabi Muhammad. Jibril yang “membelah” dada nabi lalu dibersihkan segala macam kotoran yang ada di dalamnya. Hingga cahaya Allah menerangi segala tingkah laku, ucapan, dan pikiran Nabi Muhammad.
Keisengan saya kambuh. Sepertinya bukan tanpa maksud, Nabi terakhir bernama Muhammad, yang berarti yang terpuji. Terpuji ucapannya. Terpuji akhlak dan sikapnya. Terpuji pikirannya. Terpuji hatinya. Hingga disebut “al-Ma’shum”. Dan sumber semua itu, yang ada pada diri manusia, adalah hati. Kemudian dilanjutkan ke akal. Dan ini lagi-lagi terkandung dalam seruan suci yang terdengar setiap hari: azan.
Setelah “brojol” ke dunia, manusia sudah diwanti-wanti oleh Sang Maha Cinta agar selalu mengingat kebenaran, pengetahuan, dan sikap (sabar) dalam pencariannya. Bahkan, dalam dua puluh empat jam, lima kali manusia diingatkan. Ditambah ketika meninggal pun masih diingatkan. Tentunya untuk mereka yang masih hidup. Karena kematian adalah nasihat paling baik, bukan?
Ya, dalam azan terdapat begitu banyak nasihat. Ini bisa dilihat dari kalimat-kalimat yang digemakan. Kalimat-kalimat berbentuk suara yang menyasar hati lewat telinga manusia. Kalimat-kalimat yang membawa cahaya Allah agar manusia bisa bersikap dan berakhlak terpuji seperti kanjeng Nabi Muhammad. Walau tak bisa, dan pasti tak bisa seperti nabi seutuhnya, setidaknya sebagian, atau beberapa yang bisa diambil dari Nabi terakhir.
Apa saja nasihat yang terkandung dalam azan?