Suatu ketika, dalam kelas, seorang mahasiswa bertanya :”dari mana seharusnya demokrasi diawali?” saya pun menjawab. “dari dalam rumah, dari sebuah keluarga”
Rumah yang di dalamnya terhimpun sebuah keluarga merupakan titik awal bagi tumbuh-kembangnya nilai-nilai demokrasi tentang partisipasi, kesetaraan, keterbukaan, keadilan, dan toleransi. Di dalam rumah itulah “narasi ideal” tentang demokrasi layak dipraktikkan sedini mungkin.
Musyawarah keluarga, terutama keluarga inti idealnya dilaksanakan secara berkala, entah itu musyawarah mingguan atau bulanan. Melalui musyawarah itu semua persoalan keluarga dipercakapkan secara terbuka untuk mencari titik-temu dan menjadi dasar melakukan tindakan bersama.
Lebih jauh, melalui musyawarah, Tiap-tiap anggota keluarga belajar untuk mengemukarkan pendapat secara terbuka, belajar untuk mendengar dan menghargai pendapat, belajar berdialog dan sekaligus belajar mengelola perbedaan.
Dalam musyawarah, semua anggota keluarga mempunyai hak yang sama dalam mengajukan pendapat, bahkan termasuk anak kecil sekalipun, pendapatnya layak didengar. Tidak ada ikhtiar untuk menjadi pihak yang mendominasi, dalam musyawarah itu.
Sebuah keluarga yang terbiasa mempraktikkan musyawarah tidak akan ditemui kasak-kusuk, penyembunyian masalah, saling curiga atau prasangka buruk dari masing-masing anggota keluarga. Musyawarah menjadikan kehidupan keluarga lebih hidup dan bermakna. Perjumpaan dalam sebuah keluarga bukan lagi sekedar jumpa tubuh, tetapi juga jumpa gagasan dan perasaan.
Indikator sebuah negara yang kehidupan demokrasinya mapan dapat diukur dari bagaimana “indeks musyawarah” dalam keluarga di negara itu. Nilai-nilai demokrasi dapat dengan mudah dihayati melalui praktik musyawarah secara terbuka dan egaliter.
Di Indonesia, praktik musyawarah dalam keluarga kelihatannya mulai memudar. Salah satu indikatornya ada tingkat perselingkuhan dan perceraian yang terus meningkat. Terlalu banyak keluh-kesah dan gagasan yang terpendam, tidak dibicarakan dengan elegan melalui musyawarah, dalam keluarga-keluarga di Indonesia.
Defisit musyawarah keluarga itu, tentu saja, berdampak pada kehidupan demokrasi di Indonesia yang hari-hari ini surplus dengan debat kusir dan fitnah. Tidak ada kesadaran diri untuk respek dan mendengar pendapat pihak lain. Semuanya ingin menjadi pemenang perdebatan.
Tanpa musyawarah yang terbuka dan setara, demokrasi nihil cerita.