Musuh yang Sesungguhnya dalam Jihad

Musuh yang Sesungguhnya dalam Jihad

Musuh yang Sesungguhnya dalam Jihad

Pakar bahasa Arab dan ilmu-ilmu al-Quran, Ar-Raghib Al-Ashfihani (w. 1108) dalam bukunya, Mufradat Alfadh al-Qur`an, menjelaskan bahwa kata jihad sinonim dengan kata mujahadah, artinya “mencurahkan segala upaya untuk menolak musuh” (istifragh al-wus’ fi mudafa’ah al-‘aduww). Musuh di sini bisa berupa musuh yang terlihat (dhahir) maupun musuh yang tidak tampak, yakni setan dan hawa nafsu. (2009: 208).

Al-Quran dalam berbagai ayatnya seperti dalam QS. Al-Hajj 78, QS. At-Taubah 41, QS. Al-Anfal 72 menggunakan kata jihad dengan arti tersebut, yakni memerangi musuh yang riil maupun abstrak. Demikian juga dalam hadis, kata jihad digunakan untuk menunjukkan makna ini.

Kata jihad yang terdapat di dalam al-Quran banyak yang disampaikan dalam bentuk fi’il amr, yakni menunjukkan makna perintah. Karena itu, para ulama menetapkan bahwa jihad bagian dari kewajiban agama yang harus dilakukan oleh seorang muslim hingga kiamat tiba.

Kesalahan kerap terjadi di dalam penggolongan atau kategorisasi “pihak musuh”, yakni objek yang harus diperangi. Siapa musuh yang harus diperangi? Di sini muara kesalahan terjadi. Kesalahan ini menjadikan kesucian jihad ternodai seperti yang dilakukan kelompok-kelompok jihadis dewasa ini.

Musuh yang harus diperangi adalah kezaliman. Dalam al-Quran semua ayat yang berkaitan dengan jihad tidak lepas dari upaya melawan kezaliman (Misalnya QS. Al-Hajj 39-40, QS. Al-Baqarah 190, QS. At-Taubah 36 dan yang lainnya). Nabi Muhammad dan para sahabatnya diperintahkan memerangi orang-orang kafir karena kezalimannya, yakni telah menyerang Nabi dan pengikutnya. Ketika kafirin tidak lagi melakukan kezaliman (mengancam dan menyerang umat Islam), maka jihad juga segera dihentikan. (QS. Al-Baqarah 193).

Jihad dalam contoh Nabi Saw melawan orang-orang kafir di atas menunjukkan arti perang dengan cara melukai atau membunuh. Hal ini bukan berarti jihad Nabi sama dengan kekerasan. Apa yang dilakukan Nabi Saw dan sahabatnya tidak lebih sebagai upaya membela diri dari serangan musuh (daf’ al-i’tida`) yang berupa kezaliman dari orang-orang kafir.

Musuh berupa kezaliman bentuknya sangat beragam dan bisa dilakukan siapapun dan kapanpun; penguasa kepada rakyat, pemilik modal kepada pekerja, umat agama tertentu kepada pemeluk agama lain, dan seterusnya. Selama di dunia ini ada kezaliman, maka kewajiban jihad akan terus ada. Namun apakah dilakukan dengan cara melukai atau membunuh? Tentu tidak. Melukai dan membunuh hanya dilakukan dalam keterpaksaan ketika orang-orang yang menjadi musuh (baca: pelaku kezaliman) menyerang hingga dalam ancaman nyawa; yakni di hadapkan pada dua pilihan antara dibunuh atau membunuh, dilukai atau melukai.

Melawan kezaliman sebagaimana banyak diserukan dan dilakukan oleh para ulama sejak masa lampau bentuknya sangat banyak, seperti memberikan nasihat kepada pemimpin yang tidak adil (zalim), belajar dan mengajar, menolong orang-orang yang membutuhkan, membela orang-orang yang tertindas, dan sejumlah aktivitas lainnya yang memberikan kehidupan, bukan kematian. Karena jihad yang sesungguhnya bukan memberi kematian pada seseorang, melainkan menghilangkan kezalimannya.

Adapun memerangi musuh yang abstrak, yakni setan dan hawa nafsu juga pada dasarnya melawan kezaliman. Setiap manusia memiliki setan dan hawa nafsu yang jika dibiarkan maka akan melahirkan tindakan zalim. Setan atau hawa nafsu yang terus menggoda seseorang untuk mengambil barang yang bukan haknya atau korupsi misalnya, jika tidak dilawan maka seseorang akan kalah dan melakukan kezaliman. Setan atau hawa nafsu yang mendorong seseorang berfantasi mengikuti pesta seks di surga apabila tidak segera diperangi juga akan melahirkan kezaliman, dan sejumlah tindakan pembiaran terhadap setan dan hawa nafsu lainnya yang semuanya berdampak pada kezaliman.

Jadi, musuh sesungguhnya yang harus diperangi adalah kezaliman, siapapun pelakunya. Selama kezaliman masih ada di muka bumi, maka jihad selalu menjadi kewajiban bagi seorang muslim.