Sebagai organisasi besar dengan anggota puluhan juta orang, Nahdlatul Ulama (NU) memiliki banyak lembaga, cabang dan badan otonom. Jika lembaga dan cabang secara langsung berada di bawah kepengurusan PBNU, badan otonom adalah adalah organisasi yang berafilisasi ke NU tetapi memiliki struktur kepengurusan tersendiri. Di antara badan otonom yang berafiliasi ke NU adalah IPNU (Ikatan Pelajar NU), IPPNU (Ikatan Pelajar Puteri NU), Ansor (organisasi pemuda), Fatayat (organisasi pemudi), serta Muslimat (organisasi perempuan NU). Jika Fatayat berisikan anak-anak muda, Muslimat beranggotakan ibu-ibu.
Saat ini Muslimat NU sedang merayakan ulang tahunnya yang ke-70 dan sekaligus menggelar peringatan di Stadion Gajayana Malang yang dihadiri 50an ribu orang. Dalam umurnya yang ke-70, Muslimat NU telah melakukan banyak hal untuk NU dan juga Indonesia, mulai dari berbagai kiprahnya di dunia pendidikan, kesehatan, politik dan sosial. Ada ribuan PAUD dan TK yang dijalankan ibu-ibu muslimat, ratusan klinik kesehatan, juga yang tak terhitung adalah kegiatan-kegiatan sosial. Kala induknya, NU, mengalami kemandegan di tingkat cabang atau ranting-ranting, Muslimat dengan berbagai kegiatan yang sederhana sering menghidupkan dinamika NU di level lokal.
Sejarah lahirnya Muslimat tak bisa dilepaskan dari NU. Berdiri 31 Januari 1926, NU awalnya hanya diisi oleh kaum lelaki atau para kiai. Kondisi pendidikan kaum perempuan yang rata-rata lebih rendah dan struktur patriarki yang masih kuat nampaknya memengaruhi sedikitnya kaum perempuan yang aktif di organisasi sosial-keagamaan itu. Secara organisasi keikutsertaan perempuan dalam kepengurusan juga tidak diatur, kalau tidak dibilang tidak dibolehkan.
Namun memasuki akhir 1930an, keterlibatan kaum perempuan di NU mulai kelihatan. Pada Muktamar ke-13 di Menes, Banten, 1938, kaum perempuan tampak hadir dan diberi kesempatan berbicara. Ny R Djuaesih dan Ny Siti Sarah adalah dua wakil perempuan yang mengemukakan suara dan pendapatnya di Muktamar Menes.
Hal itu kembali terjadi di Muktamar ke-14 di Magelang satu tahun berikutnya, 1939. Dalam muktamar tersebut Ny R Djuaesih bahkan menjadi salah satu pimpinan sidang. Keterlibatan aktif kaum perempuan NU berlanjut ke Muktamar Surabaya setahun berikutnya. Didukung oleh KH Dahlan Pasuruan dan Aziz Dijar lewat berbagai pendekatannya ke pengurus-pengurus PBNU, eksistensi kaum perempuan di tubuh NU kian diterima. Kali ini, kaum perempuan telah memikili wadah yang namanya Nahdloetul Oelama Muslimat (NOM) yang berada di bawah PBNU.
Setelah tiga tahun yang masif, perkembangan Muslimat sedikit mengalami hambatan karena situasi politik nasional yang tidak kondusif. Kedatangan Jepang hingga agresi militer Belanda telah memaksa NU menafikan banyak agenda internalnya dan menaruh fokus perhatian pada perjuangan nasional. Pada medio 1940an inilah keluar sesruan Resolusi Jihad NU, yang kemudian memicu perlawanan besar terhadap sekutu di Surabaya, 10 Nopember 1945.
Paska proklamasi kemerdekaan, tepatnya Maret 1946, NU kembali menggelar muktamar, dengan mengambil tempat di Purwokerto. Di Muktamar ke-16 Purwokerto inilah NOM akhirnya diterima memiliki kepengurusan sendiri atau menjadi badan otonom. Kerja keras Ny Djuaesih dkk yang dibantu oleh Kiai Dahlan membuat KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah bersedia menandatangani pemisahan NOM dari PBNU. Maka sejak saat itu, 29 Maret 1946 ditetapkan sebagai hari lahir Muslimat NU, dengan ketua pertamanya Ny Chadijah Dahlan, istri KH Dahlan, yang memang sudah cukup dikenal karena beliau juga merupakan anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Kini Muslimat NU sudah berusia 70 tahun, sebuah usia yang cukup tua untuk ukuran manusia. Dalam usianya yang ke-70 Muslimat telah membuktikan darma bhaktinya buat negeri ini. Presiden Jokowi dalam sambutannya di Stadion Gajayana Malang menyatakan kebanggaannya atas keberadaan dan kiprah organisasi perempuan NU ini. Menurutnya Muslimat telah ikut berperan penting dalam perubahan bangsa.
Di acara Harlah ke-70 Muslimat mengusung deklarasi anti-narkoba, mengingat banyak generasi terjangkit oleh zak adiktif yang berbahaya ini. Akhirnya, dari keluarga pendidikan pertama didapat, dan dari keluarga pula palang pintu terakhir bisa diharapkan. Dalam konteks ini, muslimat yang beranggotakan ibu-ibu punya peran penting dalam mengemban tugas mulai namun berat ini. Padamu muslimat, nasib anak-anak negeri ini kami titipkan. (SA)