Merasa ‘lemah’ atau ‘tertindas’ seolah menjadi sebuah tren sebagian umat Islam. Tren ini semakin terlihat sejak Pilpres tahun 2014 lalu. Akan tetapi, sikap merasa lemah ini sebenarnya sudah terlihat sejak lama. Pertama, adanya pemikiran dan sikap dari sebagian kelompok Islam yang ingin dihargai ketika menjalankan puasa. Pemikiran dan sikap ini kemudian melahirkan perilaku merazia warung makan yang berjualan di bulan puasa. Bahkan, perilaku merazia ini cenderung brutal dan merugikan pihak lain. Jadi, selemah itukah sikap sebagian orang Islam?
Kedua, tentunya masih terekam jelas di ingatan kita tentang fenomena aksi bela Islam untuk menghadapi kasus penistaan agama yang dilakukan oleh mantan gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama atau Ahok. Aksi tersebut berlangsung berkali-kali dengan klaim peserta sekitar tujuh juta orang—meskipun banyak data meragukan hal ini. Aksi ini mendesak agar pemerintah menghukum Ahok atas sikapnya yang dianggap menistakan agama. Jika memang Ahok bersalah, haruskah mengerahkan massa sedemikian banyaknya untuk menghadapinya? Jadi, selemah itukah kekuatan sebagian orang Islam?
Ketiga, masih terkait dengan aksi bela Islam. Aksi tersebut memperlihatkan bahwa Islam dari berbagai komponen bersatu padu untuk tujuan membela Islam. Selain itu, aksi tersebut dianggap aksi yang paling bersih dan damai. Akan tetapi, jika menelusuri fenomena aksi bela Islam dari sudut pandang lain, akan ditemukan fakta mengejutkan. Beberapa dari orang yang mengikuti aksi tersebut menganggap orang yang tidak mengikuti aksi bela Islam sebagai sekutu kafir. Anggapan ini kemudian melahirkan sikap caci maki kepada orang yang memilih diam atas kasus tersebut. Padahal, sikap diam beberapa orang terhadap kasus tersebut belum tentu sebagai sikap membela dan pasti memiliki pertimbangan kemaslahatan yang lain. Jadi, selemah itukah pemikiran sebagian orang Islam?
Keempat, ketika beberapa ustadz atau ulama diproses oleh pihak kepolisian karena ujaran kebencian terhadap pemerintah dan kelompok agama lain, sebagian kalangan Islam bersikap seolah-olah terdhalimi. Ditambah lagi perasaan terdhalimi dari fenomena-fenomena yang lain. Sehingga, perasaan terdhalimi ini semakin besar dan dijadikan senjata untuk menyerang pemerintah atas nama agama dan ulama. Pemerintah dianggap anti Islam dan ulama, yang kemudian anggapan tersebut disebarkan ke masyarakat luas dengan berbagai media.
Padahal, jika bersedia berpikir proporsional, pemerintah masih menempatkan ulama pada posisi yang penting dengan sejumlah fakta bahwa pemerintah masih sering mengundang para ulama ke istana untuk membahas masalah kebangsaan. Di sisi lain, yang harus dipahami bahwa ulama yang diproses pihak kepolisian dianggap melakukan perilaku yang provokatif dan meresahkan. Sedangkan, ulama lain yang corak dakwahnya tidak provokaif dan bersifat menyejukkan tidak memiliki masalah dengan pihak kepolisian. Jadi, selemah itukah perasaan sebagian orang Islam?
Kelima, terkait fenomena penistaan agama yang beberapa waktu terakhir semakin menjadi perhatian masyarakat Indonesia. Ketika perkataan Ahok tentang Al Maidah ayat 51 dianggap menistakan agama Islam dan Meiliana yang hanya mengeluhkan kerasnya suara adzan juga dianggap menistakan agama Islam sehingga membuat kedua berakhir di balik jeruji besi, maka berbeda halnya dengan beberapa ustadz yang jelas-jelas menistakan Islam.
Misalkan, ustadz Khalid Basalamah yang menganggap orang tua Nabi Muhammad berstatus kafir dan masuk neraka, ustadz Hanan Attaki yang mengatakan bahwa Nabi Musa adalah premannya para Nabi, dan ustadz Evie Efendi yang menganggap Nabi Muhammad pernah tersesat secara akidah. Mereka tidak diprotes dan diproses lebih jauh. Apa karena Ahok dan Meiliana orang non Islam? Apa karena para ustadz itu memiliki corak keagamaan yang sama dengan kelompok-kelompok yang menuntut Ahok dan Meiliana?
Padahal, perkataan Ahok dan Meiliana masih bersifat interpretatif dan belum tentu menistakan agama, sedangkan perkataan para ustadz tersebut sudah jelas-jelas menjatuhkan Nabi. Bahkan, Tengku Zulkarnaen menyatakan siap memimpin perang jika Islam dinistakan karena Islam selalu didhalimi. Padahal, batasan dan indikator Islam terdhalimi sendiri tidak jelas. Jika memang begitu, selemah itukah pola pikir sebagian orang Islam?
Jika dipahami, perilaku-perilaku tersebut mengindikasikan lemahnya karakter, pola pikir, dan pola sikap sebagian orang Islam. Di sisi lain, perasaan terdhalimi sebagian orang Islam ini sejatinya dijadikan modalitas untuk menyerang kalangan lain. Pertanyaannya, apakah memang Islam mengajarkan untuk bersikap lemah? Apakah Islam mengajarkan meraih kejayaan dengan arogansi, kekerasan, dan menjatuhkan pihak lain?
Islam justru mengajarkan untuk bersikap kuat untuk mengasihi kalangan lain. Karena dengan begitu, kalangan lain benar-benar bisa merasakan bahwa Islam memang sebagai rahmat untuk seluruh alam. Islam jadi terkesan arogan dengan sikap sebagian orang Islam yang menjatuhkan orang lain dengan dalih merasa terdhalimi. Dalam kehidupan sosial dan politik, Islam menjadi terkesan ingin mendominasi dengan modalitas perasaan terdhalimi. Berdasarkan kondisi yang demikian, masyarakat harus semakin cerdas dan cermat dalam melihat peristiwa dan fenomena. Masyarakat hendaknya tidak mudah terpengaruh dengan politik belas kasihan tersebut.
Hal ini dikarenakan politik belas kasihan tersebut mengandung sejumlah abnormalitas berpikir, tingginya rasa egois, dan pola pikir yang tidak proporsional. Masyarakat sudah saatnya untuk bersikap independen dalam berpikir dan bersikap dengan memiliki pertimbangan yang matang.