Muslim Kagetan di Sekitar Kita

Muslim Kagetan di Sekitar Kita

Muslim kagetan di sekitar kita banyak juga, yang kaget jika ada sesuatu yang baru di luar yang biasa ia tahu

Muslim Kagetan di Sekitar Kita
Seorang warga di Prancis memakai hijab dengan bendera pada sebuah aksi protes. Pict by AP

Seorang kawan yang sedang melakukan perjalanan mengunggah sebuah foto sholat dio sebuah masjid di Ankara, Turki. Dalam foto itu, pakaian yang dipakai sholat berbeda dengan lazimnya di Indonesia. Bahkan banyak yang cuma pakai kolor belaka.

Lalu, ada yang komentar, Duh sholatnya kok gitu, apa sah ya? Kawan saya cuma menimpali, ya sah aja menurut mazhab Hanafi yang memang, plus emoticon senyum.  Kawan saya tadi mungkin bertanya-tanya, kok bisa ya orang muslim kok jadi kaget ada orang berbeda di luar dirinya.

Nah, di era digital ini, menjadi muslim memang gampang-gampang susah. Gampangnya akses informasi sepatutnya menjadikan seorang muslim bijak dan tidak gampang menyalahkan orang lain apalagi mudah kagetan terhadap segala sesuatu yang di luar dirinya. Ini tentu juga berlaku untuk ajaran islam yang luas, lengkap dengan ragam tafsir dan mazhabnya

Entah sejak kapan hal ini ini mula diperkenalkan,  tapi saya kira istilah ‘kagetan’ ini sangat pas untuk melihat bagaimana seorang muslim dengan sangat gampang terkejut atas segala sesuatu, khususnya fenomena yang terjadi di luar pemahaman yang ia tahu.

Gus Mus dalam sebuah kesempatan memberikan petuah tentang bahaya menjadi muslim yang kagetan. Menurut pengasuh PP Raudlatut Thalibin Rembang ini, salah satu cirri orang adalah mereka yang kurang berilmu.

“Ciri-ciri orang memiliki ilmu yang nyegoro (luas laksana lautan) salah satunya adalah tidak kagetan.
Ada syiah kaget, ada Ahmadiyah kaget,” tutur beliau dalam kesempatan 7 hari wafatnya K. H. Sahal Mahfudz di Kajen, beberapa tahun lalu.

Ilmu atau pengetahuan memberikan kita cara pandang terhadap segala sesuatu. Pikiran kita akan bisa melihat segala sesuatu bukan hitam-putih belaka. Akan selalu ada ruang negosiasi dan verifikasi dalam tempurung kepala seseorang jika ia memiliki pengetahuan yang cukup terhadap segala sesuatu, atau jika tidak, ia akan terus mencari. Termasuk pada perkara yang berbeda  di luar dirinya.

Kesalahan seseorang adalah jika ia berhenti belajar dan mencari, lalu akhirnya memberikan justifikasi dan labelling terhadap sesuatu yang tidak ia ketahui. Buruknya  lagi, jika ia hanya ikut-ikutan belaka.

Kasus AgnezMo dengan pakaian bertuliskan Almuttahidah beberapa waktu silam, perkara Anjing yang berbeda tafsiran antar mazhab hingga dianggap kafir, padahal mereka cuma tidak bisa membedakan antara najis dan kafir, atau kebingungan terhadap islam nusantara dan menganggapnya berlabel JIL, cebong, kampret atau sejenisnya—sapaan yang lebih akrab dengan identitas politik yang memecah pasca Pilpres 2014 lalu dan masih memiliki efek hingga hari ini.

Pola itu, tampaknya, akan terus berulang. Perulangan ini tentu saja agak menyedihkan mengingat sebenarnya pintu untuk mempelajari islam di era internet sebenarnya jauh lebih mudah. Tapi, faktanya, belajar islam lebih mudah tidak membuatnya muslim lebih bijak dalam melihat segala sesuatu.

Anda bisa dengan gampang menemukannya di internet. Atau jika sibuk, coba saja cek twitter akun seperti @na_dir dan simak reply orang yang menolaknya. Padahal, tentu saja, Profesor Nadirsyah Hosen yang belajar islam sejak kecil hingga jadi ahli hukum islam dan mengajar di Monash University kesehariannya tidak pernah lepas dari islam, tapi kerap dikerdilkan dengan label JIL, Cebong dan lain-lain. Masih banyak contoh lain lagi terkait bagaimana kebencian membuat orang-orang menjadi gelap hati dan sukar rasional, apalagi jika mendapatkan informasi baru.

Cuma, memang harus lebih jeli dan teliti dan jernih melihat segala sumber bacaan. Jika tidak, maka kasus mudahnya menyebut pelecehan terhadap akan terjadi lagi. Ahok dengan surah Almaidah yang digoreng sedemikian rupa atau stigmatisasi terhadap orang non-muslim dan lain sebagainya. Tentu saja kita tidak lupa, misalnya, lihat beberapa waktu lalu saat ramai penggunaan langgam Jawa pada pembacaan Al-Quran yang dianggap melecehkan islam, padahal itu diperbolehkan oleh ulama.  Atau pun kasus yang terjadi pada Kristen koptik yang menggunakan bahasa arab di Mesir.

Jika Gus Dur menyebut guru terbaik bagi dirinya dalah realitas, tentu saja kita bisa juga mempelajarinya. Dari realitas pula kita akan memahami pola yang terjadi dalam masyarakat keagamaan kita, yang begitu gampangnya mengikuti arus tanpa mengulik sumber terlebih dahulu.

Padahal, dalam bermasyarakat kita tidak sendirian, ada ragam tipe manusia dan agama yang berbeda pula cara pandangnya. Cobalah jalan-jalan dan melihat begitu luasnya dunia, begitu ragamnya corak dan jenis keberislaman seorang muslim. Makanya, di era banjir informasi seperti saat ini, sebagai muslim kita harus cermat dalam memilah biar tidak gampang kaget.

Jika tidak, maka akan gampang sekali ikut arus dan menjadi muslim kagetan. Apakah anda begitu? Saya sih ogah menjadi muslim kagetan,.