Islam harusnya menjadi agama yang damai. Ia, seperti yang tergambarkan pada sabda nabi di Haji Wada’, memuliakan manusia, menjamin kehormatan juga keyakinan mereka, menghapus pembunuhan atasnama pembalasan dendam dan riba. Tapi kita tahu, bahwa amanat ini, seringkali dilupakan dan tidak dijalani. Kita selaku umat muslim harus mengakui bahwa dalam sejarahnya banyak pembantaian, kekerasan dan darah yang tertumpah karena perbedaan terhadap tafsir. Juga kita mulai bersama bahwa ada sebagian dari kita, umat muslim, yang cenderung memuja negativitas dan relasi penaklukan. Ketimbang usaha untuk ber- tasamuh, toleran dan mengedepankan kemanusiaan.
Hal ini konsisten ditunjukan nabi jauh sebelumnya saat terjadi perang Badar. Di sini dua wajah islam dipertemukan. Wajah garang dan wajah lemah lembut. Saat itu pasukan muslim berhasil memukul mundur pasukan Quraish bahkan menawan sekitar 70 orang suku Quraish. Ada dua orang Quraish yang dieksekusi ditempat. Ketika itu Sayidina Umar dan Sayidina Abu Bakar berdebat keras perihal bagaimana seharusnya tawanan itu diperlakukan.
Seperti yang dinarasikan dalam The Two Faces of Islam: Saudi Fundamentalism and Its Role in Terrorism susunan Stephen Schwartz. Sayidina Umar berpendapat mereka harus dieksekusi, karena mereka telah menjadi bagian dari musuh yang memerangi dakwah Islam. Sementara Sayidina Abu Bakar berpendapat mereka mesti dibiarkan hidup. Karena bukan tak mungkin dari yang 70 orang itu akan masuk Islam. Ia berpendapat mereka ditawan saja dan dijadikan tebusan bagi kaum quraish. Tebusan tersebut bisa digunakan untuk kedaulatan umat.
Ketika tak mencapai titik pertemuan keduanya lantas bertemu dengan Nabi Muhammad. Nabi cenderung sependapat dengan Abu Bakar. Ketika ini dijalankan Allah menurunkan Al Anfal ayat 68. "Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil." Konon Rasul dan Abu Bakar menangis karena takut ini merupakan peringatan atas keputusan mereka.
Akhirnya 60 orang Quraish itu dibebaskan berdasarkan tebusan. Sisanya yang 10 orang karena benar-benar tak mampu diwajibkan untuk mengajarkan anak-anak kaum muslimin dan muslimin yang buta huruf untuk bisa baca tulis. Menariknya dari 60 orang itu ada Abu Al'As menantu Nabi, suami dari Zainab putrinya, ia bebas setelah menyerahkan kalung sebagai jaminan. Nabi menjadi iba dan teringat Khadijah yang merupakan pemilik asli kalung tersebut.
Selama ditawan seluruh tawanan itu diperlakukan adil. Berbeda dengan perlakuan tawanan muslim oleh suku Quraish. Mereka yang ditawa saat perang badar dirawat lukanya dan diberi makan sebaik-baiknya. Rasul bahkan memerintahkan bahwa para tawanan harus dapat cukup makan meski jika demikian para kaum muslimin harus bertahan dengan makan kurma. Demikian adalah gambaran betana Nabi sangat memuliakan mereka yang berbeda jalan, meski jelas-jelas telah memerangi mereka dan nabi sedang sangat berkuasa.
Coba Memahami Konteks
Barangkali juga, sekali lagi, ada saudara kita kaum muslimin yang pelupa. Perbedaan keyakinan dan kekuatan besar bukan berarti kita boleh berlaku tidak adil apalagi menjadi arogan. Seperti yang terjadi pada peristiwa penyegelan Gereja Paroki St Bernadette di Bintaro, Tangerang Selatan, oleh ratusan orang pada Ahad (22/9) kemarin. Di sini perlu kita pertanyakan kepada mereka apa dasar dan menjadi kekuatan sehingga mereka boleh dan merasa berhak menganggu jalannya keimanan orang lain?
Dalam selebaran yang sungguh memilukan isinya, kelompok ini menukil Surat Al Baqarah ayat 120 dan Surat An Nisa Ayat 89. Tanpa alasan yang jelas mereka menyerukan penutupan gereja tersebut karena dianggap dapat memurtadkan kaum muslimin. Selemah itukah iman dari warga sekitar gereja? Sehingga dengan kemunculan sebuah gereja serta merta keimanan mereka akan runtuh, tunduk, lantas menjauh dari islam? Jika demikian yang salah, bagi saya bukan gerejanya, namun umat islam itu sendiri.
Tapi mari coba kita pahami tafsir dari Surat Al Baqarah Ayat 120 itu. Menurut riwayat dari ats-Tsa’labi yang bersumber dari Ibnu Abbas, ayat ini turun karena adanya utusan dari Yahudi Madinah dan Nasrani Najran yang berharap pada Nabi, agar, ketika shalat menghadap kiblat mereka di Yerusalem. Awalnya, menurut Ibnu Abbas, Nabi menerima usul ini. Namun ketika Allah memindahkan kiblat umat Islam ke Ka'bah mereka tidak senang dan berupaya agar nabi mengembalikan arah kiblat ke timur.
Sementara pada Surat An Nisa Ayat 89 ia tidak berdiri sendiri. Menurut Al Qurtubi ia harus dibaca bersama An Nisa ayat 90. Sehingga konteks ayat ini bukanlah memerangi orang Nasrani dan Yahudi karena mereka mengajak kepada jalan mereka. Tapi lebih pada kondisi masyarakat yang bernegara, saat itu selepas perang Badar dan Uhud banyak bani-bani di sekitar Madinah yang masuk islam. Di antara mereka ada yang dimusuhi dan kemudian di ancam akan dibunuh.
Sehingga konteks ayat ini adalah seruan untuk perlindungan bukan seruan untuk merusak. Dalam riwayat lain dari Ibnu Abi Hatim yang bersumber al Hasan. Ada kaum Bani Mud-laj, yang meminta perlindungan kepada rasul agar mereka tak diserang oleh kaum Quraish. Mereka berjanji bila kaum quraish kalah mereka akan masuk islam. Karena jika mereka masuk islam saat itu mereka akan diserang oleh kaum quraish. Sehingga frasa “carilah dan bunuhlah” adalah mereka yang memerangi umat muslim yang bersyahadat dan diburu kaumnya (baninya).
Perlu diingat pula, sekali lagi untuk mereka yang tidak tahu, Judaisme yang dianut Yahudi adalah agama yang ekslusif. Hanya orang yang lahir dari perempuan yahudi berhak memeluk agama ini. Bahkan dalam satu kelompok yahudi seorang rabi wajib mematahkan keinginan non yahudi yang ingin memeluk Judaisme. Belum lagi doktrin yang sangat ketat dan ajaran yang rumit bahkan oleh kaum yahudi sendiri susah dijalani. Lagipula Judaisme sendiri tidak memiliki kewajiban dakwah menyebar agama seperti Islam dan Kristen.
Sementara untuk menjadi ‘murtad’ Katolik juga bukan perkara mudah semudah mengucapkan syahadat. Katekumen atau calon Baptis, orang-orang yang belajar percaya akan doktrin katolik harus mengikuti Katekese, yaitu pembinaan iman dan doktrin katolik selama satu tahun. Lalu apakah semua calon baptis pasti diterima? Tidak. Setiap selesai Katekumenat atau masa persiapan calon baptis akan ada ujian dari romo paroki setempat yang harus dijawab dengan benar. Jika tidak ia harus mengikuti proses katekese sekali lagi.
Relasi Muslim dan Kristen
Dalam sejarahnya yang penuh darah Islam dan Kristen sebenarnya pernah memiliki hubungan yang baik. Tentu saja ini hanya akan bisa diterima oleh mereka kaum muslimin yang punya otak dan punya nirani. Contohnya seperti riwayat perang salib. Dimana ketika kaum muslimin mendapatkan kemanangan Yerusalem dari Bizantium. Saat itu Patriac Sophronius, penguasa lama, mengundang Sayidina Umar bin Khatab guna melakukan serah terima kota Jerusalem. Dalam pertemuan itu dibuatlah “Perjanjian Aelia” yang berisi jaminan Islam untuk kebebasan, keamanan dan kesejahteraan kaum Kristen beserta lembaga-lembaga keagamaan mereka. Di sini kita mengenal frasa ahludz dzimmah yang artinya tanggung jawab, hal ini merujuk kepada nasib mereka merupakan tanggungan Allah.
Apakah Sayidina Umar berhenti sampai di sana? Tidak. Konon menurut hikayat Sayidina Umar hendak melaksanakan shalat, Sophronius lantas mempersilahkan Khalifah untuk shalat di dalam Gereja Holy Sepulchre. Penolakan ini dilakukan Umar karena tak ingin gereja itu dihancurkan dan diubah menjadi masjid setelahnya. Karena, seperti kebiasaan kaum pemenang sebelumnya, setiap kuil atau tempat ibadah yang ditaklukan diubah fungsinya menjadi tempat ibadah agama pemenang.
Sementara pada hikayat lain yang bersumber pada al Jamiu li Ahkam al Quran karya Al Qurtubi dan Al Sirah Al Nabawiyyah susunan Ibnu Ishaq. Terdapat kisah betapa Nabi memuliakan kaum nasrani. Dalam kitab itu Al Qurtubi menarasikan ada kaum nasrani dari Najran yang datang kepada nabi dan berdiskusi soal keimanan. Ketika datang waktu mereka untuk beribadah kaum nasrani tadi berdiri lantas menghadap timur untuk beribadah. Sahabat-sahabat yang hendak protes ditahan oleh Nabi dan berkata “Biarkanlah mereka begitu”.
Sementara pada kisah lain Sirah Al Nabawiyyah diriwayatkan jika 60 kaum nasrani itu datang bersama 14 tetua mereka. Pemimpinnya adalah Abdul Masih, mereka datang pada nabi yang sedang berada di masjid. Lantas ketika datang waktu mereka ibadah, Nabi mempersilahkan mereka untuk beribadah. Lantas apakah kita, yang hanya umat ini, yang mengaku pengikut Nabi, menafikan narasi ini? Atau bahkan kita pura pura bebal dan melupakan bahwa ada kisah semacam ini dan menindas kaum nasrani hanya karena merasa benar?
Sayidina Umar bin Khatab perilhal ahludz dzimmah seperti yang diriwayatkan Imam Bukhori sebenarnya telah menjamin kaum non muslim. Uushiikum bidzimmatillahi fainnahuu dzimmatu nabiyikum katanya. Aku berwasiat kepada kalian agar menjaga Dzimmah Allah, karena sesungguhnya ia juga merupakan Dzimmah kalian. Sebagai penutup saya ingin mengembalikan cuplikan narasi An Nisa ayat 88 kepada mereka yang menggaungkan permusuhan ini:
“Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri ? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah? Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya.”
Ayat ini seperti yang dikabarkan Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Zaid bin Tsabit. Merupakan peringatan bagi kaum Muslimin. Bahwa dalam kaum muslimin ada para munafik dan tak ada yang berhak menilai siapa yang munafik dan bukan kecuali Rasul dan Allah. Frasa Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya sudah cukup menjelaskan. Apabila kita manusia tidak berhak memaksakan untuk membuatnya menjadi islam atau tidak islam. Wallahu A'lam Bishawab.