Apakah musik itu halal, makruh, atau haram? Hal ihwal ini tergantung pada pendapat mana yang dianggap lebih kuat. Sulit untuk diserukan larangan mutlak atas musik karena ada hadis sahih yang menyebut, bahwa Nabi Muhammad SAW bertanya kepada ‘A’isyah apakah seorang perempuan yang telah menikah dengan lelaki kaum Anshar telah memiliki acara hiburan, karena orang-orang Anshar gemar hiburan.
Ibn ‘Abbas juga meriwayatkan bahwa ketika ‘A’isyah menyerahkan salah seorang kerabat perempuannya untuk dinikahi oleh seorang lelaki Anshar, Rasulallah bertanya apakah ada penyanyi, dan ketika dia mendengar bahwa sang penyanyi belum disiapkan, Muhammad menyarankan agar perihal itu harus segera dilakukan, dan bahkan mengutip lagu yang terkenal kala itu. Ketika Abu Bakr hendak mendiamkan dua anak perempuan yang sedang menyanyi dan bermain rebana, Muhammad mencegahnya karena waktu itu adalah hari Lebaran.
Persetujuan terhadap musik yang gamblang ini tidak diikuti oleh mazhab-mazhab besar. Malik ibn ‘Abbas (pendiri mazhab Maliki) malahan bersikap keras terhadap kebanyakan nyanyian. Namun, diriwayatkan bahwa dia tidak keberatan dengan nyanyian yang sederhana ketika nyanyian itu berfaedah (yakni membuat tenang unta, atau perempuan yang sedang melahirkan) dan jika musik pengiringnya adalah duf, drum yang sederhana.
Menurut Ibn al-Jauzi (w. 597 H/1200 M.), ahli hukum bermazhab Hambali, yang menulis Talbis Iblis (Tipuan Setan) yang mengatakan bahwa ghina’, nyanyian, asal mulanya adalah pembacaan puisi ritmik, tujuannya adalah mengajak orang pada kehidupan nan religius. Akan tetapi, segera setelah ghina’ berkembang menjadi melodi yang njelimet dan berdentam, nyanyian menjadi bid’ah, suatu inovasi yang harus ditolak. Pengubahan atau kebaruan adalah bid’ah, karena merusak aturan kesederhanaan.
Ibn Khaldun meneroka bahwa seiring dengan berkembangnya peradaban, bentuk-bentuk artistik musik pun menjadi lebih kompleks, sehingga pembacaan Alquran yang semula berkelindan dengan kesederhanaan hidup suku-suku Arab, lantas menjadi lebih kompleks, dengan melibatkan tingkat keselarasan dan musikalitas yang pada masa-masa awal terbilang sangat mewah.
Dia mengatakan bahwa jika Malik dikatakan menentang penggunaan melodi dalam tajwid, Al-Syafi’i (pendiri mazhab Syafi’i) menyetujuinya. Dia mengkritisi penggunaan musik untuk dalam pembacaan Alquran dengan dalih bahwa musik ini menjauhkan pembaca dari kemurnian penampilan teks itu sendiri yang merupakan tujuan utama kegiatan pembacaannya. Kesenangan terhadap musik juga mengalihkan pembaca dari teks karena tujuan teks bukanlah untuk memberikan kesenangan. Dia kemudian menyarankan agar pembacaan Alquran dilakukan secara berirama dan sederhana, dan cara-cara seperti ini diperbolehkan. Namun, dia menilai bahwa ketika kemewahan dan kemegahan digemari umum, hasrat akan kesederhanaan nyaris tak memiliki gema pada umat.
Menurut Ibn Taimiyyah (w. 728 H./1328 M.), oang harus membedakan antara sama’ sahabat Nabi dan musik orang-orang yang mencari hiburan. Dia berhujah bahwa ada alasan yang mesti diperhatikan dalam penggunaan sama’. Musik memengaruhi emosi kita dan ini berbahaya. Musik terlalu subjektif. Ibn Taimiyyah selanjutnya berpendapat bahwa hadis tentang masalah ini tidak jelas. Menurutnya, hadis yang yang menyebutkan bahwa Rasulallah mendengar nyanyian budak perempuan tidak mengisyaratkan bahwa Muhammad menyimak nyanyian sehingga menyetujuinya.
Nabi mungkin telah mendengarkannya, tetapi ini bisa jadi karena tidak disengaja, dan ketika Nabi menyebut nyanyian dan musik dalam pembicaraannya, boleh jadi karena dia sedang mempertanyakan apakah sesuatu yang biasanya dilakukan itu masih dikerjakan. Ini tidak berarti bahwa Muhammad berpikir musik harus dilakukan. Menurut Taimiyyah, jika kita melihat konsekuensi ghina’, kita dapat melihat apa yang salah dengan ghina’ itu. Ghina’ dapat terlalu merangsang kita dan bisa mengalihkan kita dari ayat-ayat Tuhan.
Syihab al-Din al-Suhrawardi membolehkan tarian jika dilakukan untuk motif yang benar, bahwa inna al-a’mal bi al-niyyat (tindakan itu tergantung pada niatnya). Al Ghazali juga berpendapat bahwa semata-mata karena sebuah tindakan itu dilakukan dengan cara yang benar. Dalam Alquran, tidak ada celaan terhadap lahw atau bathil, yang melenakan dan yang sia-sia, asalkan perbuatan itu untuk hiburan ringan yang tidak melenakan kita dari hal ihwal yang lebih penting daripada itu.
Di sisi lain, perbuatan yang termasuk lahw al-hadits, yang disebutkan dalah Surah Luqman ayat 6 sebagai perbuatan yang sama dengan “omong kosong” sulit untuk dibenarkan. Dari sudut pandang fiqih, kita harus membedakan antara dua kategori yang disebut bathil atau netral (mubah). Kategori yang dapat ditolak adalah ketika orang menjadi begitu terpesona dengan apa yang seharusnya bukan menjadi sasaran perhatian kita, sehingga perhatian kita beralih dari objek yang seharusnya menjadi pusat perhatian kita.
Mungkin tidak ada yang salah dengan perhal mubah itu sendiri, tetapi keburukannya berasal dari perannya sebagai pelena, dan musik dapat dengan mudah masuk ke dalam ketegori ini. Di sisi lain, relaksasi yang dihasilkan oleh hiburan seperti musik mungkin membuat kita mampu berkonsentrasi lebih baik terhadap hal yang benar-benar penting, yaitu tugas-tugas keagamaan kita.