Musik dalam sejarah islam begitu panjang dan membuat khazanah peradaban tersendiri. Bagaimana jejaknya?
Lema “Musik” (musiqa, istilah Arabnya) tidak berlaku pada semua jenis aransemen intrumental dan vokal artistik dari pola titi nada dan irama, seperti halnya istilah Inggris, music dan padanan katanya dalam bahasa Eropa lainnya. Musiqa justru hanya berlaku pada jenis tertentu dari seni suara; dan untuk sebagian besar, musiqa hanya menunjuk pada apa yang statusnya masih diragukan atau bahkan buruk dalam budaya Islam.
Oleh sebab itu, mewicarakan “musik”, seperti yang dipahami dalam budaya Islam, berarti membatasi pembahasan pada segmen terbatas jenis seni suara kaum muslim, dan mengabaikan jenis yang lebih penting dan diterima. Di sisi lain, memakai istilah itu seperti yang termasuk dalam qira’ah dan bentuk seni suara lain yang tidak dinilai sebagai musik dalam budaya itu, akan berakibat, bagi kaum muslim, bukan saja ketidaktepatan, tetapi penghujatan.
Untuk menghindari kesalahtafsiran, penyimpangan, dan gangguan seperti itu, material seni suara yang saya teroka dalam esai ini akan dipandang sebagai contoh handasah al-shaut (seni suara). Ungkapan Arab yang tergolong baru ini mempunyai arti semua kombinasi artistik nada dan irama yang muncul dalam budaya Islam. Istilah ini janganlah dimafhumi sebagai padanan kata musiqa yang sangat terbatas. Karena asosiasi yang tak terhindarkan dengan istilah musiqa dan relevansinya yang terbatas, kata “musik” akan dihindari sebagai padanan kata untuk totalitas seni suara dalam konteks Islam.
Apabila dipakai dalam rujukan dengan musik secara umum, atau dengan musik dunia non-muslim, maka musik mengandung arti luasnya yang umum. Bila bentuk sifat istilah itu diperlukan untuk pembahasan perihal seni suara dalam konteks Islam, maka kata shauti akan berarti “musikal” dalam arti yang luas dan inklusif.
Agama Islam memerintahkan–dan kaum muslim berupaya memenuhinya–kesatuan pikiran dan tindakan di bawah perintah Allah Swt. Alquran, selain bertindak sebagai model bagi ungkapan estetis seni lain, juga memberikan figurisasi esensi untuk memanifestasikan estetis dalam seni suara. Alquran memengaruhi handasah al-shaut dengan dua cara penting: pertama, secara sosiologis, yang menyebabkan pemusik dan pendengar memandang dan memakai seni shauti secara khas Islam; dan kedua, secara teoretis, dengan membentuk karakteristik contoh seni suara aktual, seperti yang ditampilkan dan dinikmati kaum muslim.
Penolakan dalam peradaban Islam terhadap pemisahan bidang religius dari bidang sekuler, terlihat juga dalam bidang handasah al-shaut (seni suara). Bukan saja tauhid relevan dengan pemakaian jenis religius handasah al-shaut, tetapi tauhid juga menanamkan pemikiran muslim, dan partisipasinya dalam bentuk lain dari seni suara.
Oleh karena itu, dalam konteks Islam, kategori yang umumnya dipakai untuk membedakan satu jenis musik dari dari jenis lainnya–musik religius dari musik populer–gagal memperlihatkan perbedaan yang umum. Handasah al-shaut menunjukkan “unitas ekstensif” yang menjembatani tipe jenis dan ketegorisasi jenis.
Homogenitas pada pemakaian handasah al-shaut dalam masyarakat muslim juga tampak pada kurangnya konteks tepat untuk pementasan dari banyak jenis. Hanya sedikit manfaat pemisahan dari gaya religius pada konteks keagamaan yang ketat dalam kultur ini. Misalnya, qira’ah merupakan jenis handasah al-shaut religius yang sangat penting. Ia dipakai setiap hari dalam pelaksanaan sembahyang, ibadah wajib Islam. Ia juga terdengar pada banyak kesempatan lain yang mempunyai arti religius: dalam sembahyang khusus pada hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha), dalam pemakaman, tahlilan, sembahyang tarawih selama bulan suci Ramadhan, dan lain sebagainya.
Namun, qira’ah bukan saja digunakan dalam konteks religius. Ia juga terdengar dalam majelis umum, dalam pertemuan sosial, pada kesempatan hajatan, dan pada program harian radio, televisi, dan internet. Banyak contoh lain seni shauti–lantunan syair, improvisasi vokal dan intrumental, dan kidung berirama dengan syair yang serius–juga ditampilkan dalam banyak konteks.
Hanya jenis yang diterima secara terbatas inilah yang diperdengarkan dalam konteks pementasan yang spesifik dan terbatas. Perlu dicatat bahwa sekalipun qira’ah dipakai dalam banyak konteks, tetapi hanya jenis handasah al-shaut inilah yang diterima sebagai bagian dari ibadah formal (sembahyang).
Perbedaan antara pelaku musik dari aliran yang berbeda dalam masyarakat muslim tidak sejelas seperti dalam masyarakat lainnya. Instrumentalis seperti Benny Goodman, yang gemilang melintasi batas yang memisahkan musik klasik dan jazz, merupakan pengecualian dalam budaya musik Barat.
Dalam budaya Islam, pelaku musik dari jenis yang sama sering memainkan atau menyanyikan aliran yang sangat berbeda dan untuk fungsi yang sangat berbeda pula. Banyak penyanyi sukses dari jenis musik yang disebut musik sekuler, telah menerima pendidikan awal sebagai pembaca Alquran. Mendiang Ummu Kultsum merupakan contoh paling termasyur.
Akibat kurangnya penghargaan budaya terhadap musisi profesional, maka tak banyak ahli yang secara khusus menggeluti pementasan musik. Partisipasi dalam semua jenis seni suara oleh nonprofesional, karena itu, penting–baik itu qira’ah atau lantunan religius lainnya, atau pementasan vokal dan instrumental untuk hiburan sosial. Para amatir sering sama pentingnya bagi pementasan shauti, seperti halnya para profesional.
Partisipasi pendengar juga menunjukkan homogenitas penggunaan seni suara dalam masyarakat muslim. Karena hanya sedikit perbedaan tajam yang memisahkan kategori pementasan shauti, maka tak ada aliran dari bentuk-bentuk tradisional yang berada di luar jangkauan apresiasi estetis segmen masyarakat.
Sesungguhnya, hanya musik klasik dan populer Barat kontemporer, yang muncul dari tradisi asing, yang memesona pendengar terbatas dan khusus yang menggelayut pada pelatihan khusus para pendengar potensial. Adapun untuk seni suara tradisional, hubungannya dengan prototipe Alquran telah menjadikannya secara estetis dapat dinikmati siapa saja. Tak diperlukan pelaksanaan kursus pendengar atau apresiasi formal.
Homogenitas handasah al-shaut juga memiliki dimensi historisnya. Banyak karakteristik yang dijumpai pengamat cerkas dalam contoh musik kontemporer, dapat didokumentasikan dalam material yang menggambarkan penampilan handasah al-shaut abad-abad lampau. Menurut Baron d’Erlanger, baik dalam ciri melodis maupun irama, karakteristik umum musik Arab kontemporer dapat dipandang sebagai “gema kesetiaan” musik periode pra-Islam.
Sedangkan George Sawa mendedahkan kontinuitas antara praktik penampilan Arab abad pertengahan dan kontemporer. Ketika menguraikan satu karya anonim ihwal teori musik Arab, Amnon Shiloah meneroka bahwa dokumen itu merupakan kunci untuk memafhumi sistem pegadaian yang berasal dari Shafi al-Din (abad ke-7 H./13 M.) dan ‘Abdul Qodir bin Ghaybi (w. 839 H./1435 M.), dan yang berada di basis sistem yang masih dipraktikkan dewasa ini.
Di samping unsur-unsur homogenitas itu, ekspresi shauti dalam masyarakat muslim menunjukkan homogenitas antarregional. Kendati berbeda teori musiknya, instrumennya, jenis atau alirannya, dan praktik pementasan dari negara ke negara dan kota ke kota, sejumlah karakteristik menyatukan pelbagai budaya musik kaum muslim. Karakteristik ini terlihat di negara yang mayoritas penduduknya muslim dan bahkan di banyak tempat di mana Islam eksis hanya sebagai agama minoritas yang cukup penting.
Karakteristik shauti tertentu diperoleh lebih baik atau lebih mudah dengan tipe instrumen tertentu. Fakta ini menyebabkan penyebaran sebagian besar instrumen khas kaum muslim awal di negeri kelahirannya (tanah Arab) ke semua wilayah dunia muslim. Penyebaran intrumen dibantu dan diperkuat oleh meningkatnya interaksi di kalangan masyarakat, menyusul dengan meningkatnya pemeluk Islam. Interaksi ini didorong oleh meningkatnya perdagangan, kemenangan politik, dan perjalanan untuk menuntut ilmu, dan menunaikan ibadah haji.
Lamat-lamat instrumen terpenting muslim ditemukan di setiap wilayah. Kadang-kadang instrumen ini mempunyai nama dan karakteristik yang sama dengan leluhurnya; tetapi, kadang-kadang, pelbagai intrumen ini diberi nama baru dan disesuaikan dengan lokalitas dan ketersediaan materialnya.
Homogenitas instrumen antarregional bahkan mungkin saja lebih kuat pada abad sebelumnya tinimbang pada zaman now. Pada periode awal sejarah Islam, tak ada tapal yang membatasi gerakan individu dan pelbagai gagasan. Bahasa Arab, bahasa Alquran, dikenal banyak orang. Bahasa ini menjadi medium pertukaran budaya bagi kaum muslim, dan bahkan bagi banyak non-muslim di seluruh wilayah di mana budaya Islam adalah kekuatan nan dominan.
Bahasa inilah dan kesamaan praktik shauti, terlepas dari perbedaan regional, yang memungkinkan meluasnya pengaruh banyak ahli teori shuati di dunia Islam. Risalah mereka bukan saja dibaca oleh orang di negeri mereka sendiri, dan daerah politik atau wilayah geografis mereka sendiri. Penulis handasah al-shaut seperti al-Farabi (w. 339 H./950 M.) dan Shafi ad-Din al-Urmawi (w. 693 H./1294 M.) ditiru dan dikutip selama berabad-abad sepeninggal mereka, baik oleh teoritisi maupun orang awam.
Relevansi antarregional bahkan terlihat dalam sikap mualaf di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Muslim baru ini berupaya, dalam setiap segi kehidupan, membaur dan menghubungkan diri mereka dengan umat (komunitas) muslim. “Lompatan” religius mereka ke dalam Islam memengaruhi minat, apresiasi estetis, maupun keyakinan religius mereka. Sejauh menyangkut seni seni shauti, qira’ah penting bagi mereka. Inilah gaya suara yang paling diapresiasi dan dibawakan secara artistik dalam kehidupan mualaf, terlepas dari latar belakang mereka. Hasrat akan daya tarik budaya ini pula yang membuat aliaran handasah al-shaut dari berbagai wilayah dunia Islam ini langsung mendapat apresiasi. []
Muhammad Iqbal adalah sejarawan IAIN Palangka Raya & editor Penerbit Marjin Kiri