Musik dalam Peradaban Islam (7): Mencecap Kemurnian Musik Arab

Musik dalam Peradaban Islam (7): Mencecap Kemurnian Musik Arab

Bagaimana lanskap sejarah peradaban islam dipengaruhi ekspresi musik Arab?

Musik dalam Peradaban Islam (7): Mencecap Kemurnian Musik Arab

Ibn al-‘Arabi membuat suatu hubungan yang menarik antara kemurnian dan spiritualitas sebagai lawan dari sama’ ruhani dan sama’ thabi’i. Yang disebutkan terakhir merupakan musik dalam pengertian umum, sedangkan yang disebut pertama melukiskan sifat realitas, dan batu loncatan ke sama’ al-muqayyad (pendengaran yang terbatas) menuju sama’ muthlaq atau pendengaran yang sempurna, dan penerimaan yang sempurna harus juga dianggap sama dengan diam.

Orang mungkin berpikir, hal ini berarti bahwa semakin sederhana musik, semakin baik, tetapi kenyataannya tidak selalu demikian. Semisal, boleh jadi musik yang rumit itu senada dengan kompleksnya tatanan ilahiah di alam raya ini. Akan tetapi, boleh jadi secara keseluruhan ada beberapa prinsip yang sangat mendasar di balik struktur alam raya ini, dan kita bisa menirunya secara estetik dalam musik yang kita gubah.

Ikhwan al-Shafa’ juga berhujjah, seni harus meniru susunan dasar dunia ini. Sosok dunia berbentuk bola, karena itu bola adalah bentuk terbaik yang harus dipakai dalam seni; gerakan planet adalah berputar, karena itu berputar ialah bentuk gerakan yang terbaik; cahaya bintang-bintang (kecuali bulan) adalah instrinsik dan esensial; dan sifat bola-bola langit (kecuali bumi, sebagai pusat bola-bola langit) itu adalah transparansi. Oleh karena itu, inilah bentuk-bentuk dan tekstur yang harus kita gunakan dalam seni.

Kendati berorientasi pada kesederhanaan, musik Arab sering terlihat amat rumit. Dalam musik Barat, ada sebuah bentuk komposisi yang dikenal sebagai “arabes” (arabesque). Komposisi ini adalah sebuah potongan musik yang dibuat oleh penggubahnya, guna meraih pengaruh dekoratif tinimbang efek emosional. Komposisi ini secara musikal jelas meniru efek estetik dari bentuk dekorasi yang akrab dalam seni Islam.

Tentu saja, tidak banyak musik Arab yang dicirikan dengan arabes, yang acap dekoratif dan improvisasinya kadang terlihat untuk tujuan improvisasi semata. Fenomena ini dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah maqam. Musik didefinisikan dalah istilah ruang dan waktu, nada dan irama, dan dalam maqam ruang atau nada diperbaiki, sedangkan irama sedikit diperjelas.

Dalam tradisi Barat klasik, justru kebalikannya, yakni irama benar-benar diperjelas, tetapi dimensi nada dibiarkan relatif bebas. Hasilnya, ketika orang-orang Barat mendengarkan musik Arab, musik ini sering terlihat kacau dan tanpa tujuan karena ia tidak menggunakan skema not balok yang berulang-ulang dan matra yang konstan. Di atas segalanya, musisi maqam memanggukannya tanpa partitur musik, sehingga nampak bahwa sang musisi membuatnya di tengah jalan.

Biasanya ada jeda panjang yang membeda-bedakan baris melodi menjadi bagian-bagian melodi yang lebih kecil, dan bagaimana baris melodi ini dikembangkan akan menentukan hasilnya. Misalnya, sang musisi mungkin menekan nada pertama dari baris maqam yang berada di bagian melodi kedua, setelah itu nada keempat maqam diletakkan di bagian melodi ketiga. Setiap nada yang dianggap penting diulang bersama-sama di setiap bagian yang secara khusus dianggap penting. Namun, faktor penting yang menentukan jenis musik adalah, tidak ada peraturan yang pasti untuk membuat urutan penekanan nada, jumlah bagian-bagian melodi dalam maqam, dan tingkat pengulangan. Tidak pernah ada dua penampilan maqam yang benar-benar sama karena meskipun struktur nadanya sama, skema iramanya bergantung pada improvisasi.

Penyanyi atau pemain akan bergerak ke wilayah ekspresi tertentu untuk melihat apa yang dihasilkannya, bermain-main dengan pelbagai ide dan ekspresi musik tertentu guna menggalinya dengan cara yang tampak analitis dan bukan sekadar emosional. Kadang improvisasi itu akan kacau dan pemain akan mulai lagi dari posisi yang sedikit lebih awal, setelah ia mengetahui di mana kesalahannya dan berhasil memecahkan masalah itu pada usaha yang kedua. Terkadang percobaan ini harus dilakukan beberapa kali untuk menghasilkan musik yang baik, meskipun sulit didedahkan indikator yang menentukan, bahwa percobaan ini berhasil.

Orang akan menganggap bahwa sang seniman mungkin sengaja “membuat kesalahan”, agar dengan demikian ia berkesempatan memamerkan keahliannya memperbaiki kesalahannya itu. Dalam penampilan ini, ia tentu sudah siap mengajak para pendengar untuk bekerja sama dengannya, dan menjabarkan ide-ide mereka untuk mengarahkan orientasi musiknya, dan perihal ini menjadikan pendengar semakin terdorong untuk tetap berada di tempat serta terlibat pertunjukkan.

Kontras antara aspek dekoratif dan emosional menarik karena kontras ini tidak perlu dibuat. Aspek dekoratif bisa sangat emosional, dan demikian sebaliknya. Hal ihwal ini tentu saja berlaku dalam musik, dan pemain sangat sering emosional ketika memainkan musik.

Dalam kasus penyanyi musik Arab, ada perbedaan menarik antara penyanyi dan orkestra. Penyanyi biasanya sangat emosional, sedangkan orkestranya sangat kaku, berbusana resmi (sering memakai setelan jas dan dasi, sepatu kulit yang disemir mengkilap) dan kontras seperti itu penting di sini.

Okrestrasi itu seolah-olah ingin memelihara keutuhan karya yang dimainkannya, sedangkan penyanyi bersiap merespons perasaan penonton dan perasaannya sendiri, dengan mengubah karya itu guna mempertimbangkan perasaan-perasaan tadi. Tidak sulit untuk dilihat betapa bermanfaatnya strategi semacam ini dalam konteks yang tepat. Penyanyi berada di pihak kita, di pihak pendengar dan dengan pengungkapan emosi yang mudah, sedangkan orkestra berada di pihak otoritas dan konvensi. Akan tetapi, pendengar mengetahui bahwa tanpa disiplin orkestra, semuanya akan musykil.

Selain itu, kita tidak dapat memungkiri fakta bahwa pengucapan bahasa Arab dengan suatu cara tertentu –khususnya dengan menggunakan ekpresi klasik– dapat memberikan suatu formalitas tertentu pada suatu peristiwa, yang tanpa cara itu formalitas tersebut tidak akan muncul. Cara pengucapan itu juga dapat memberi kepada kata-kata itu sendiri resonansi yang lebih kuat daripada makna yang sebenarnya.