Dalam tradisi sufi, musik umumnya sangat dihormati. Sama’ secara harfiah berarti “audisi”, dan dalam tradisi sufi sama’ mengacu pada pendengaran dengan hati, seperti meditasi. Hal ihwal ini semacam pemusatan pada melodi agar mendapatkan apa yang diwakili oleh melodi itu. Di dunia Islam, tradisi sama’ sangatlah panjang, meskipun ada juga tradisi yang sangat panjang dalam menentang segala jenis musik, dan berbagai tingkat penentangan terhadap beberapa jenis musik.
Bagi sufi, musik hanya bisa efektif jika diposisikan di tempat yang tepat, dan sahabat yang tepat. Waktu yang tepat adalah ketika hati pendengar terbuka dan siap mengapresiasi apa yang mereka dengar, sehingga musik bisa ditampilkan di setiap waktu. Tempat yang tepat tidak harus tempat khusus, tetapi tempat yang memungkinkan seseorang bisa menempatkan dirinya dalam tingkat pikiran yang tepat.
Akhirnya, sahabat yang tepat sangatlah penting, ketika seseorang perlu ditemani oleh orang-orang yang tepat, dan kadang ini ditafsirkan sebagai “ditemani oleh orang-orang yang telah mencapai taraf spiritual yang sama tingginya.” Beberapa orang berpendapat bahwa kondisi seperti tidak bersifat niscaya, sebab sama’ sangat membantu siapa pun, betapapun mereka belum begitu canggih dan siap. Keadaan spiritual (hal) yang dihasilkan oleh musik adalah kesadaran estetik yang lahir dari kedalaman metafisis, sedangkan nada-nada mewakili keselarasan Ilahiah.
Komentar yang sama dibuat oleh para sufi mengenai tari dan puisi; keduanya terkadang tidak diterima oleh kebanyakan komunitas muslim. Tarian dan puisi bisa efektif dalam mengembangkan kesadaran spiritual pemeluknya, dan hal seperti itu harus diusahakan dan didorong. Tentu saja, tidak semua tarian, musik, atau puisi cocok dengan kategori ini, dan perlu kita ingat bahwa apa yang membuat kegiatan ini dibolehkan sama sekali bukanlah karena karena kegiatan itu sendiri, melainkan karena watak dunia batin yang ditunjukkan olehnya, atau apa yang dilakukannya untuk membantu kita mendekati dunia batin itu.
Semata-mata menikmati musik dalam dirinya tidaklah memiliki nilai; musik hanya menjadi kegiatan yang berharga jikal ia mempunyai tujuan yang tersembunyi. Dengan demikian, prinsip-prinsip utama sufisme secara metodologis senada dengan pelbagai prinsip para penentang sufisme dalam Islam. Kedua kelompok ini percaya bahwa satu-satunya cara membenarkan sebuah kegiatan seperti musik ialah dalam hal konsekuensinya bagi agama.
Kebanyakan sufi berpikir, bahwa musik memperkuat keimanan, dan dalam banyak lingkungan membantu non-muslim untuk memeluk Islam. Di Eropa dan Amerika Serikat, misalnya sufisme menjadi sangat terkenal di kalangan non-muslim, dan bagi beberapa orang menjadi alasan mengapa mereka akhirnya memeluk Islam.
Negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, Indonesia, memeluk Islam lewat sufisme (tasawuf). Para ulama terdahulu tidak memerintahkan masyarakat Nusantara untuk meninggalkan adat mereka, seperti pertunjukan wayang yang mungkin terlihat agak tidak pantas dari sudut pandang Islam, tetapi secara bertahap memperkenalkan karakter Islam ke dalam pertunjukkan itu. Di mata sufi, ini merupakan contoh yang baik dalam menggunakan musik dan alat seni lainnya untuk lebih mendekatkan orang kepada Islam dan kepada Tuhannya.
Pada dirinya sendiri, tidak ada yang merangsang atau tak merangsang perihal musik itu sendiri, seperti juga semua hal lainnya. Hanya saja, ketika dihubungkan dengan agama, aktivitas seperti itu bersentuhan dengan nilai moral. Ide tentang otonomi seni dalam Islam hanya mendapatkan sedikit dukungan baik di kalangan pendukung ataupun pencela seni. Arkian, musik dalam Islam dipandang sebagai suatu aktivitas spiritual yang sangat penting, meskipun bukan aktivitas keagamaan langsung, dan ini meletakkan pembatas yang menarik tentang apa yang diperkenankan terjadi dari sudut pandang estetik.