Usaha Nabi Muhammad Saw. berdakwah pada hampir seluruh orang Arab ternyata berhasil. Buktinya, dalam waktu kurang lebih 23 tahun saja, Nabi berhasil meng-Islam-kan orang-orang Arab yang berada di seluruh semenanjung Arab. Namun, di akhir hayatnya, Nabi tetap mengkhawatirkan umatnya. Nabi sudah memprediksi pasti akan terjadi perpecahan yang terjadi di kalangan umat Muslim. Dan, perpecahan sudah terjadi sejak masa Abu Bakar.
Pada masa Abu Bakar terjadi pembangkangan besar-besaran terhadap pemerintah. Al-‘Aini dalam ‘Umdatul Qari menyampaikan bahwa salat Abu Bakar kelasnya berbeda dengan Nabi Muhammad Saw. salat Nabi dapat menjadi penenang hati (sakan) bagi mereka orang yang membangkang terhadap ajaran Islam. Nah, salatnya Abu Bakar saja tidak sekelas Nabi, apalagi salat kita yang sering melakukan dosa ini?
Kebijakan Abu Bakar memerangi orang-orang murtad rupanya sempat diprotes oleh Umar bin Khatab. Pasalnya, kebijakan tersebut secara tekstual memang bertentangan dengan hadis Nabi, “Aku diperintah memerangi sekelompok orang sampai mereka bersyahadat. Bila mereka telah bersyahadat, maka keamanan harta dan jiwa mereka merupakan tanggung jawabku” (HR Bukhari dan Muslim).
Setelah mendapatkan penjelasan yang cukup komperhensip dari Abu Bakar, Umar pun menerimanya dengan lapang dada dan menyetujui kebijakan memerangi orang murtad tersebut. Tentu bila menerapkan kebijakan Abu Bakar secara tekstual tidak akan relevan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Karenanya perlu memahami konteks hadis tersebut dikatakan.
Imam Nawawi dalam Syarah Muslim mengutip pernyataan al-Khatabi mengenai hadis tentang kebijakan Abu Bakar menyatakan perang tersebut. Menurut al-Khatabi, kebijakan Abu Bakar itu diberlakukan pada dua kelompok besar, yaitu para pengikut Musailamah dari suku Bani Hanifah dan Aswad al-Ansiy yang memiliki banyak simpatisan di Yaman. Kedua kelompok ini tidak mengakui bahwa Nabi Muhammad Saw. merupakan nabi terakhir yang diutus oleh Allah.
Selain itu, ada juga kelompok besar yang membangkang untuk melaksanakan kewajiban salat, membayar zakat, dan kewajiban-kewajiban agama lainnya. Kedua kelompok tersebut melakukan pemberontakan yang membahayakan stabilitas keamanan negara. Selain itu, stabilitas ekonomi negara juga akan terganggu bila kelompok besar masyarakat pada waktu itu enggan membayar zakat, yang merupakan pemasukan kas negara yang akan disalurkan melalui Baitul Mal.
Syekh Wahbah Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh menyodorkan beberapa definisi yang dikemukakan empat imam mazhab fikih. Menurutnya, kelompok pemberontak itu mereka yang masuk dalam tiga kategori berikut: (1) kelompok yang terorganisir, (2) memiliki penafsiran yang berbeda dengan mayoritas Muslim, (3) memiliki tempat pertahanan dan perlindungan sendiri.
Beberapa saudara Muslim kita yang memiliki penafsiran berbeda dengan mayoritas memiliki kekuatan dana dan persenjataan yang begitu memadai. Bahkan Mayoritas ulama fikih mazhab Hanbali berpendapat bahwa mereka yang menentang pemerintah yang sah, sekalipun tidak adil termasuk dalam kategori pemberontak.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa, (1) Islam tidak membenarkan melakukan bullly, kekerasan dan apalagi membunuh seseorang karena dasar perbedaan agama dan atau kemurtadan, dan (2) pemerintah dibenarkan untuk melakukan tindakan preventif terhadap kelompok-kelompok yang membahayakn stabilitas negara, baik dalam masalah politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Wallahu a’lam bis Shawab. []