Kapan terakhir kali kau dengar kabar tentang Libya? Apakah keadaan disana sudah aman-tenteram-sejahtera-sentosa?
Negara-negara Eropa Timur dan Tengah menutup rapat perbatasan mereka dari arus pengungsi sehingga manusia-manusia kabur-kanginan menumpuk saja di Yunani tapa bisa pergi lebih jauh lagi. Entah berapa juta. Maka para pelarian nasib pun pada gilirannya tak lagi menyasar Yunani. Dan mereka melihat Libya sebagai batu loncatan baru, sebelum menyebarangi Laut Mediterania menuju Italia. Peminat menjadi lebih beragam. Tidak hanya dari Iraq, Afghanistan dan Syria, tapi juga dari tungku-tungku kesengsaraan di seantero Afrika. Seperti Nigeria.
Nigeria? Wah, lupa ya, kalau disana ada Boko Haram? Seorang teman yang bekerja untuk UNICRI (United Nations Interregional Crime and Justice Research Institute) di Afrika menunjukkan kepada saya sebuah catatan yang bahkan media massa tak tega memberitakannya: bahwa di Nigeria itu perampasan dan penculikan perempuan dan anak-anak terus berlangsung dengan tingkat rata-rata 500 (lima ratus) orang korban setiap minggunya.
Sejauh ini, sudah sekitar 12.000 orang diketahui lolos memasuki Eropa melalui pantai-pantai Italia. Negara-negara Eropa, yang sudah bertumpuk-tumpuk pusingnya gara-gara pengungsi, kelabakan mencari cara untuk menyetopnya. Konon ada yang lantas mengambil jalan pintas: membayar berjuta-juta dollar kepada kelompok-kelompok bersenjata di Libya untuk menghalangi siapa pun yang hendak menyeberang dari sana.
Lho, kelompok bersenjata mana lagi? Bukankah revolusi Libya sudah selesai, Khaddafi sudah mati dan rejim berganti?
Di situ soalnya. Tiga pihak yang mestinya menjadi sendi-sendi rejim –yaitu para pemegang jabatan politik dengan laskar-laskar pendukung mereka, tentara dan polisi– justru saling intai dan tak satu pun sudi tunduk kepada lainnya. Belasan kelompok bersenjata mengangkangi wilayah-wilayah tempat bercokol masing-masing dan saling bersaing satu sama lain.
Sesuai order, mereka semua menangkapi siapa pun yang berkeliaran tak tentu tujuan dan menawannya di tempat-tempat yang mereka sebut “pusat penahanan”. Untuk diapakan? Ya ordernya asal jangan sampai berhasil menyeberang ke Eropa. Malah kalau ada yang terlanjur masuk laut ya dikejar. Kalau perlu dibunuhi saja diatas perahu-perahu mereka, supaya tidak repot. Laporan terakhir memperkirakan sudah lebih 4.000 nyawa tamat riwayat di laut.
Belakangan, peluang baru terbuka sehingga keuntungan bisa bertambah lipat-ganda. Pasar budak muncul dan ramai pembeli. Orang-orang tangkapan pun lantas disortir. Yang punya potensi, yakni kira-kira ada nilai jual, ya dibawa ke pasar. “Barang-barang jelek” terus disimpan dulu, sambil dipikirkan pelan-pelan, kira-kira bisa dimanfaatkan untuk apa.
Dari tepian Sahara, Murielle, seorang perempuan muda, pergi bersama bibinya ke Sorman, sebuah kota pantai antara Tripoli dan perbatasan Tunisia. Mereka dipaksa kebutuhan untuk mengais ganjal-perut, karena di kampung halaman mereka makanan kian langka. Di Sorman mereka di tangkap oleh orang-orang berseragam. Konon polisi. Walaupun entah polisinya siapa. Mereka dibekap di “pusat penahan” tanpa harapan untuk merdeka lagi.
Hanya dua kemungkinan mereka bisa keluar dari situ. Laku di pasar budak, atau seketika melacurkan diri untuk orang-orang berseragam yang pegang senjata itu. Patutnya paket ekonomi. Bukan saja karena mereka kurang menggiurkan, tapi juga ketakberdayaan mereka dihadapan todongan senjata. Bagi para penindas itu, mengijinkan mereka untuk melacurkan diri adalah kemurah-hatian. Kalau mau, bisa saja mereka memperkosa semau-maunya.
Beberapa hari yang lalu, 26 bangkai perempuan muda ditemukan mengambang di Laut Mediterania. Mereka teridentifikasi berasal dari Nigeria. Apakah mereka diserang supaya gagal menyeberang? Atau komoditi yang mengalami kecelakaan transportasi sebelum mencapai pasar?
Sudahlah. Buat apa terlalu dipikirkan. Apa artinya 26 bangkai? Manusia itu jumlah seluruhnya lebih dari tujuh milyar lho. Tiga ratus ribu mati di Syria? Tujuh juta kelaparan di Yaman? Enam ratus ribu kena wabah kolera? Statistik secuil! Coba tanya ke tukang survey macam Hasanuddin Ali itu. Bandingannya tujuh milyar, Coy!
Kita orang ‘kan punya kesibukan juga. Balas jasa kepada pendukung yang dulu membantumu menang itu penting. Meratapi kesialan jagoan yang dianiaya penjara dan melestarikan kemarahan terhadap mereka yang menzaliminya juga penting. Begitu juga menghibur sekian banyak orang yang gelisah karena pujaan hati tak pulang-pulang.
Biarlah urusan manusia-manusia celaka di tempat-tempat jauh itu dipikirkan oleh mereka yang kurang kerjaan. Yang sibuk jangan diganggu
*) KH Yahya Cholil Staquf, Katib Aam PBNU, salah pengasuh Pesantren Raudlatut THalibin, Rembang, Jawa Tengah