Untuk menghindari bias, saya harus mengatakan bahwa saya bukanlah pemain PUBG atau pun gim sejenis lainnya. Saya juga tidak punya kepentingan apa pun dalam perkembangan gim secara umum. Namun keputusan MUI untuk mengkaji pengharaman PUBG jelas mengusik pikiran saya. Ada dua pertanyaan yang cukup mengganggu; pertama, apakah MUI punya kapabilitas dalam melakukan pengujian? Kedua, apakah landasan pengujian ini sudah tepat?
Untuk pertanyaan yang pertama jelas ini menjadi tanda tanya besar, ketika bergulir wacana pengharaman ini saya punya kecurigaan bahwa anggota MUI mungkin tidak pernah memainkan gim tersebut. Jika benar, maka ini akan menjadi hal yang sangat merepotkan karena nasib para pemain, youtuber game dan orang-orang terkait ditentukan oleh sebuah lembaga yang tidak mengenal gim tersebut secara baik.
Kedua, landasan pengujian fatwa haram ini juga harus dipertanyakan. Sejauh ini landasannya adalah peristiwa penembakan di Christchurch, Selandia Baru, di mana beberapa orang menganggap sang pelaku terpicu oleh gim tersebut. Sehingga MUI menilai gim ini menjadi salah satu illat terjadinya perilaku teror, oleh karena itu, pantas untuk dihilangkan. Jika MUI hendak merujuk kaidah fiqh yang berbunyi; menghilangkan keburukan lebih utama daripada mendatangkan kebaikan, mungkin MUI keliru dalam memandang apa yang harus dihilangkan itu.
Perilaku teror itu ada di mana-mana, jika gim PUBG disebut sebagai salah satu penyebab utama, maka seharusnya MUI juga mengharamkan gim seperti Grand Theft Auto atau Counter Strike yang telah lebih dahulu hadir mewarnai belantika gim Indonesia.
Penyebab seseorang berlaku teror bisa beragam, dan keberadaan gim mungkin ada di urutan yang entah ke berapa. Selain itu, dari sekian ribu orang Indonesia yang memainkan gim ini, berapa besar jumlah orang yang punya kemungkinan untuk melakukan teror.
Wacana mengharamkan gim ini tidaklah berbeda dengan upaya Kemenkominfo untuk memblokir situs porno. Padahal dengan ikhtiar yang lebih, siapa saja bisa membuka situs porno dengan berbagai macam cara dan sukses. Akhirnya kebijakan tersebut malah tidak berguna dan dianggap sebagai buang-buang anggaran. Jika MUI hendak melarang orang Indonesia bermain gim ini, maka niscaya para gamers ini akan menemukan berbagai cara lain untuk tetap bisa memainkannya.
Sudut pandang lain yang memungkinkan pengharaman ini tidak akan berjalan dengan baik adalah keberadaan MUI itu sendiri. Sesuai dengan produknya, fatwa adalah kesepakatan beberapa ulama tentang suatu hal, namun masyarakat boleh mengikutinya dan boleh tidak.
Fatwa bukanlah sesuatu yang mengikat, katakanlah MUI mengharamkan PUBG, maka tidak semua muslim akan mengikuti fatwa tersebut. Ditambah juga orang-orang yang beragama Kristen, Katolik, Buddha, Konghucu dan lain-lain, mereka jelas tidak akan mengikuti fatwa tersebut.
Terkadang saya merasa MUI punya rasa percaya diri yang berlebihan, MUI bertugas memberikan pendapat, opini, atau setidaknya sudut pandang. Kekecewaan saya yang lain adalah MUI seolah tak bosan-bosan merumuskan fatwa terhadap sesuatu yang tidak begitu esensial. Fatwa-fatwa MUI belakangan ini cenderung tidak progresif dan kontra-produktif.
Selain mungkin karena kapasitasnya, saya merasa MUI terlalu banyak menyeberangi garis yang tidak seharusnya. Menetapkan sebuah gim boleh dimainkan atau tidak bukanlah wilayah lembaga agama untuk mengurusnya. Adapun jika gim tersebut berhubungan dengan perilaku mudarat, maka psikolog dan ilmuwan sosial lain yang lebih punya hak untuk mengkaji hal ini.
Jangan sampai masyarakat memiliki pandangan bahwa MUI-lah yang berhak menentukan boleh atau tidaknya sesuatu dilakukan. Padahal MUI bukanlah lembaga negara, ia adalah badan yang menaungi para ulama untuk berkhidmat dan saling bertukar pikiran untuk kemaslahatan bangsa. Namun semua itu harus didasari dengan kesungguhan dan keterbukaan untuk melihat hal-hal yang mampu dan tidak mampu dilakukan oleh MUI.
Wallahu A’lam.