Kalau terlalu banyak begadang, muka pucat karena darah berkurang…
Bila sering kena angin malam segala penyakit akan mudah datang…
Dari lah itu sayangi badan…
Jangan begadang setiap malam…
Demikian lah kata Raja Dangdut Rhoma Irama dalam salah satu judul lagunya. Begadang memang terlalu berbahaya jika tidak diimbangi dengan waktu tidur yang teratur. Bahkan bisa dibilang pelaku begadang akan lebih rentan terkena penyakit.
Namun sepertinya hal ini tidak berlaku bagi para ulama. Karya-karya besar para ulama dan masterpiece-masterpiece khazanah keilmuan Islam sering tercipta dari begadang.
Tentu, hal ini berbeda dengan perilaku begadang yang dilakukan anak muda zaman sekarang, atau zaman lagu Bang Haji tersebut diciptakan, yakni sebagian besar habis di tongkrongan, bahkan ada yang sampai dihabiskan dengan hal-hal yang bertentangan dengan Islam dan undang-undang negara.
Perilaku begadang yang sering diamalkan para ulama adalah begadang yang menghasilkan karya, begadang karena ilmu dan begadang karena terlalu lena dengan belajar hingga lupa waktu tidur.
Salah satu ulama yang jarang tidur dan memilih begadang untuk belajar dan muthalaah ilmu-ilmu yang telah dipelajari adalah Muhammad bin al-Hasan as-Syaibani al-Baghdadi. Ia merupakan murid dari Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi yang sekaligus menjadi guru dari Imam Malik, pendiri mazhab Maliki.
Muhammad as-Syaibani adalah seorang mujtahid yang ahli hadis dan fikih. Ia lahir pada tahun 132 H. dan wafat pada tahun 189 H. Menurut Abu Ghuddah dalam kitabnya yang berjudul Qimatuz Zaman, Muhammad as-Syaibani adalah seorang ulama yang jarang tidur. Ia lebih memilih belajar dan membaca kitab daripada menyandarkan tubuhnya dan memejamkan matanya untuk tidur.
Bahkan menurut Thaskubri Zadah dalam kitabnya Miftahus Sa’adah wa Misbahus Siyadah, diceritakan bahwa Muhammad as-Syaibani memang benar-benar tidak tidur malam. Setiap malam, tubuhnya dikelilingi kitab-kitab yang ia “cumbu” tiap malam.
Ia membaca lembar demi lembar kitab tersebut hingga selesai. Ketika ia bosan membaca salah satu kitab, ia meraih judul kitab yang lain. Jika ia bosan lagi, ia raih kitab yang lain lagi. Begitulah seterusnya, bahkan hingga fajar menyingsing ia masih asyik dengan kitab-kitabnya.
Menariknya, ketika ia mulai ngantuk, ia memercikkan air ke mukanya, atau berwudhu. Menurutnya “Inna an-naum minal hararah.” (sesungguhnya tidur adalah bagian dari hal yang panas), oleh karena itulah ia menggunakan air sebagai “penghilang panas.”
Tidak seperti kita yang begadang kemudian menebusnya di pagi hari dengan tidur berjam-jam, Imam Muhammad as-Syaibani justru berbeda. Ia melakukan waktu pagi hingga sore untuk belajar. Saat malam tiba, ia lanjutkan aktifitasnya seperti malam-malam sebelumnya, tanpa tidur.
Sebagai manusia biasa yang, bisa jadi, tak mampu melakukan hal hebat seperti yang dilakukan Muhammad as-Syaibani, setidaknya kita perlu mencoba menirunya sebagian walaupun tidak secara keseluruhan. Jika kita tidak mampu meniru seratus persen, minimal kita gunakan waktu malam kita untuk belajar, atau sekedar membaca beberapa lembar buku, daripada nongkrong dan melakukan hal-hal yang tak jelas dan tak bermanfaat.
“Maa laa yudraku kulluh, la yutraku kulluh.” (jika kita tidak mampu melakukannya secara keseluruhan, maka jangan tinggalkan seluruhnya).
Wallahu A’lam.