Mudik dan Ziarah Masa Lalu

Mudik dan Ziarah Masa Lalu

Mudik dan Ziarah Masa Lalu

Umur anak kecil itu saya tidak bisa menebak pasti, entah masih duduk di bangku TK atau awal masuk SD. Jalannya tergopoh dengan sepatu yang menyala saat diinjak, tertatih dipapah ibunya. Wajahnya berkeringat saat helm kecilnya dibuka. Ibu dan anak itu minggir dari riuh jalan raya. Bapaknya tampak menurunkan gigi sepeda motornya beberapa kali. Dua bilah kayu yang terpasang dan diikat tali plastik menjadi tambahan ruang di jok belakang motornya, diisi beberapa barang yang dilapisi plastik hitam dan dilakban.

Setelah motor menyingkir dari deru knalpot dan klakson jalan raya Kranji-Bekasi, si bapak melangkah pergi sembari pamit kepada istrinya untuk mencari air mineral. Si istri dan anaknya yang masih tampak berkeringat dan sedikit pucat itu duduk di sebelah saya, beralas bangku panjang yang ditinggal begitu saja entah oleh pedagang gorengan atau nasi goreng.

Saya mengamati mereka, mulut berucap tanya;

“Mudik bu?”

Dirnya menimpali,

“Iya mas”

Dijawabnya tanpa memandang lawan bicara karena sibuk mengelap keringat di kepala anaknya. Kalimat lanjutan saya lontarkan;

“Mudik kemana bu?”

Kali ini matanya melihat ke arah saya sembari menjawab dengan datar;

“Mudik ke Wonogiri mas”

Saya tidak tahu berapa ratus kilometer akan mereka tempuh dengan sepeda motornya itu. Saya juga tidak tahu sudah berapa kali si ibu di samping saya yang membawa anaknya ini, melakukan perjalanan mudik. Jika lebih dari tiga kali, bersama anaknya si ibu tadi melakukan perjalanan mudik, sepertinya dirinya lebih beruntung dari tokoh seorang ibu yang diceritakan dalam cerpen “Ke Solo, Ke Njati” karya Umar Kayam itu. Beberapa kali gagal mudik karena tidak kuat berdesakan, sementara sisi lain si ibu harus menghibur anaknya yang kecewa dengan bayangan kampung halaman yang akan didatangi.

Saya tidak tahu apakah mudik lebih banyak membawa kesenangan ataukah kesedihan. Karena mudik dalam kepala saya adalah kesenangan dan kesedihan itu sendiri, tidak cukup disitu mudik mungkin menjadi semacam ramuan yang di dalamnya juga bercampur hal-hal sentimentil lain. Entah itu kenangan, harapan, ataukah juga refleksi tentang cerita tanah yang pernah dipijak saat kecil sebelum meratau.

Mudik, mungkin juga semacam panggilan pengingat tentang letak sejauh mana menjadi pecundang atau bukan. Toh, mudik tidak hanya menjadi ruang bagi para pemenang, dia juga menjadi panggilan pulang bagi mereka yang lelah dihajar kenyataan.

Konstruksi sosial dengan sederet pertanyaan kesuksesan, sudah berpasangan atau belum, dan tetek bengek lainnya tidak menyurutkan panggilan mudik tadi. Ungkapan yang tertulis di bak truk Pantura “Pulang malu, tak pulang rindu” mungkin semacam menjadi tulisan bahaya merokok di bungkus kretek yang akan terus dihisap.

Menziarahi masa lalu, menertawakan kenakalan, menikmati masakan emak, bertemu kerabat dan kawan semasa kecil, menjadi semacam harga yang harus terbayar lunas dengan bandrol berapapun. Kemacetan, ataupun jarak, tetap tidak akan menyurutkan mereka berdesakan menuju kampung halaman. Kampung yang mungkin sudah tidak sehijau saat seperti ditinggalkan dulu, kerabat yang mungkin hanya menanyakan pertanyaan yang sama, tapi pulang dalam narasi mudik sulit untuk tidak diamini.

Ungkapan udik yang tersandang saat perjalanan mudik, ataupun ocehan moral semisal tidak baik menunda pernikahan, sepertinya tidak akan menyurutkan mereka untuk pulang memeluk emak dengan merengkuh badannya sambil mencium tangan dan pipinya, ataupun mungkin hanya mencium nama orang tua di batu nisan pembaringan terakhirnya.

Lamunan saya tiba-tiba tersadarkan ketika si ayah tadi datang dengan tergesa membawa satu kantong plastik berisi minuman mineral. Si anak meneguk botol minuman berukuran sedang itu sampai habis, si ibu tampak membereskan beberapa barang bawaan. Tidak lama keluarga tersebut akan kembali berbaur di jalan raya. Motor dinyalakan, bising knalpotnya meraung, si anak duduk di atas tumpukan tas dekat kemudi motor, si ibu duduk di jok belakang dengan posisi duduk mepet ke depan.
Si ibu menyunggingkan senyum, saya membalas.

Si anak di depan menoleh ke arah saya, matanya menatap tajam, mungkin semacam ingin menyampaikan pesan, tujuan perjalanannya akan menyenangkan.

Langit mendung, tidak lama rintik hujan menyambut, kawanan semut pemudik merayap. Basah air hujan bercampur dengan basah keringat, mungkin menjadi bekal basah air mata saat mereka nanti bersimpuh menziarahi masa lalu, tubuh keriput sosok yang dipanggil bapak atau emak, ataupun gundukan nisan bernama orang yang mereka cintai. []

Husni Efendi adalah fotografer dan video maker, beraktivitas di Jakartanicus.