Lebaran tahun lalu, saya menemui Emak di rumah kakak perempuan saya di Tangerang. Emak tampak kepayahan di kursi rodanya. Lambungnya bocor dan harus dioperasi. Kondisi Emak terus menurun Setelah itu. Semula bisa berjalan. Beberapa bulan berikutnya, hanya bisa berbaring dan duduk di kursi roda. Kami bergantian mengurus Emak. Mengganti popok, meminumkan obat-obatan, atau mengajaknya ngobrol.
Di hari lebaran itu saya melihat emak tampak senang. Banyak orang yang datang menjenguk dan berlebaran. Ketika melihat orang yang datang dan berdoa untuk kesembuhannya, mata Emak berkaca-kaca. Sepertinya ingin sekali ia sembuh di jam itu juga.
Sebelum sakit parah, Emak biasa bercerita di depan anak-anaknya saat kami kumpul lebaran. Tentang apa saja. Soal hasil jualan pakaiannya atau kabar keluarga besar. Saya lebih banyak mendengar. Dugaan saya, Emak memang ingin bercerita saja dan minta saya mendengarkannya. Saya kira mungkin itu juga yang dialami banyak orang tua. Sederhan saja. Dan mendengarkan itu bukan pekerjaan mudah.
Jika ke Jakarta, Emak jarang absen membawa oleh-oleh. Bisa kerupuk ikan, ikan asin, atau baju. Oleh-oleh dibagi rata kepada empat anaknya. Saya? Kadang sering lupa. Tanda jika tak menganggap perkara ini penting, tapi sangat penting bagi Emak –dan saya kira bagi kebanyakan orang tua.
Untuk mengirim oleh-oleh, emak harus menyediakan waktu mencari oleh-oleh, menyediakan tenaga membawanya ke Jakarta, dan menyediakan uang untuk membeli. Mungkin saat seusia Emak nanti, saya baru mengerti mengapa selalu ingat pada anak-anaknya dan selalu ingin membawakan oleh-oleh.
Saya ingat, beberapa kali Emak pernah memberi air dalam botol mineral bersama oleh-oleh lainnya. “Itu emak ambil waktu ziarah Wali Songo”. Kali lain ia bilang, “Itu air dari Tanara. Namanya juga syariat”. Tanara merujuk nama kampung kelahiran Syaikh Imam Nawawi di Banten. Itu artinya Emak selalu memikirkan kehidupan saya, meski saya sudah berumah tangga dan terpisah jauh.
Waktu kami masih sekolah dan tinggal di rumah, Emak sering ngomel kalau melihat rumah berantakan. Tapi setelah kami berkeluarga dan berkumpul di rumah, Emak tak bisa lagi marah. Apalagi kalau yang bikin berantakan adalah cucu-cucunya.
Lebaran tahun ini, saya hanya bisa menemui Emak di kuburannya. Kami hanya “bicara” melalui perantara tahlil dan yasin. Emak sudah tak bisa lagi bercerita. Selepas Isya, September tahun lalu, Emak menemui napas terakhirnya. Kami semua bersedih. Tapi Tuhan memberi Emak jalan yang lebih baik. Kami meyakininya.
Pagi hari, jenazah Emak kami bawa menyebarang lautan. Butuh dua jam setengah untuk tiba di kampung halaman, tempat Emak akhirnya “dipaksa” mudik. Ombak yang datang mengalun gambaran hati kami yang diaduk-aduk saat melihat jasad emak di atas keranda di dek kapal. Selesai shalat janazah, jasad Emak dimakamkan di area pekuburan umum. Jaraknya beberapa ratus meter dari rumah kami.
Mengenang ini semua, sungguh benar apa yang disampaikan Bang Haji Rhoma Irama dalam “Keramat”, lagu yang ia ciptakan di era 80-an.
Darah dagingmu dari air susunya
Jiwa ragamu dari kasih sayangnya
Dialah manusia satu satunya
Yang menyayangimu tanpa ada batasnya
Dan Bang Haji menutup lagu ini dengan lirik yang makin mengaduk-aduk hati:
Bukan kuburan tempat memohon doa
Ttiada keramat yang ampuh di dunia
selain dari doa ibumu jua
Jadi, jika tak ada mudharat lebih besar, saya sarankan anda mudik dan temui sang Keramat itu lebaran tahun ini. Dengarkan kisah dan nasihatnya. Mumpung Tuhan masih memberi kesempatan mereka panjang usia dan masih bisa anda temui.
Kalimulya Depok, 2 Juli 2016