Mudik dan Fenomena Pamer di Kampung Halaman

Mudik dan Fenomena Pamer di Kampung Halaman

Alih-alih mudik untuk merekatkan tali persaudaran, malah timbul maksud ingin pamer di dalamnya oleh beberapa orang.

Mudik dan Fenomena Pamer di Kampung Halaman
Ilustrasi mudik. Foto: TEMPO/Subekti

Dari tahun ke tahun, jumlah pemudik selalu mengalami peningkatan. Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, memperkirakan akan ada kenaikan 6% pemudik dari tahun sebelumnya 21 juta menjadi 23 juta (okezone.com). Mudik berasal dari bahasa Jawa yang kepanjangannya “mulih dhisik” atau pulang sebentar, bersilaturahim, menjenguk dan melepas kangen terhadap keluarga tercinta — di samping orang Betawi juga mengartikan mudik “kembali ke udik” atau kampung. Tak pelak, mayoritas pemudik berasal dari Jawa. Baik itu warga penduduk Jawa maupun perantau dari luar pulau.

Intensitas dan volume pemudik yang meningkat dari tahun ke tahun inilah yang membuat mudik tak sekedar rutinitas. Walau mudik belum dijumpai pada masa nabi. Namun, terdapat kebiasaan Nabi Muhammad SAW ketika menyambut hari raya Idul Fitri dengan bersilaturahim ke kediaman-kediaman keluarga dan para sahabat. Di samping nabi menganjurkan untuk makan sebelum sholat Id dan bertakbir sepanjang malam Idul Fitri, sebagaimana petikan dalam surat Al-Baqarah ayat 185;

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan hendaklah kamu sempurnakan bilangan puasa serta bertakbir (membesarkan) nama Allah atas petunjuk yang telah diberikan-Nya kepadamu, semoga dengan demikian kamu menjadi umat yang bersyukur.”

Sejak istilah mudik menggaung pada 1970-an hingga sekarang, menjadi tradisi baru masyarakat modern. Dikatakan ‘baru’ sebab Indonesia tergolong negeri agraris, sehingga umumnya warga menetap, tidak sampai merantau. Kecuali, dalam hal menuntut ‘ilmu’, sebagaimana ulama terdahulu mencari ilmu agama hingga ke Timur Tengah. Maupun pejabat yang ditugaskan di daerah kekuasaan kerajaan — seperti era Majapahit yang wilayahnya membentang sampai Sri Lanka dan Semenanjung Malaya.

Dulu, masih tabu, merantau untuk cari nafkah, karena kekayaan alam masih melimpah ruah. Ketika industrialisasi masuk ke Indonesia, peningkatan jumlah penduduk, dan terjadi modernisasi pendidikan. Mulailah bermunculan perantau. Di tempat perantauan mereka berharap peningkatan income, sehingga mampu mencukupi kebutuhan keluarga.

Lama-kelamaan tuntutan tidak lagi sekedar mencari nafkah, tapi juga membanggakan keluarga (prestige). Terdapat adagium Jawa dikatakan, ‘mikul dhuwur mendhem jero’. Artinya, menjunjung harkat martabat keluarga sekaligus mampu menutupi keburukannya. Aib harus disimpan rapat-rapat dan diselesaikan di internal penduduk rumah. Tetapi kehebatan dan kebanggaan justru yang harus ditampilkan, sebagai ‘wallpaper’ keluarga.

Alih-alih untuk merekatkan tali persaudaran, malah timbul maksud ingin pamer di dalamnya oleh beberapa orang. Biasanya, pamer dilakukan oleh orang-orang yang memiliki watak buruk. Dalam Bidayatul Hidayah, karya Imam Al Ghozali, watak buruk tersebut; hasad, riya, dan ujub yang termasuk ummahatul khobaits (induk perilaku buruk) — sehingga tidak selalu orang kaya atau berpangkat yang pamer. Tujuannya untuk mendapat pengakuan dan penghormatan lebih dari yang lain.

Dalam kitab Nashoihul Ibad, karya Syekh Nawawi al-Bantani, diterangkan perihal pamer bahwa ulama ahli hikmah berkata: Siapa yang mengandalkan otak dalam semua perkara pasti akan sesat, siapa yang merasa dirinya kaya pasti suatu saat akan jatuh hina, dan siapa yang merasa mulia karena makhluk dia pasti hina.

Walau ada pamer yang dibolehkan dalam Islam, tetapi sebatas ‘tahaddus bin ni’mah’. Itu pun tidak sembarangan, harus peka situasi dan paham konteksnya. Jangan sampai melukai dan sedikit pun menyinggung orang lain.

Kebiasaan pamer ini sangat disayangkan karena saat Idul Fitri diharapkan hati dan jiwa seorang muslim kembali suci. Apabila masih terselip pamer, maka bertolak belakang dengan tujuan Idul Fitri sebagai hari kemenangan melawan hawa nafsu selama sebulan.

Padahal selama Ramadhan kita diperintahkan berpuasa dan dididik untuk merasakan penderitaan mustadh’fin. Ikut merasakan lapar yang sama dialami orang tak berpunya. Di samping kita diajak untuk bertakwa dan mendekatkan diri kepada Allah, Sang Pencipta.

Kita perlu meneladani akhlak Nabi Muhammad SAW dalam merayakan Idul Fitri. Semisal, ia menganjurkan umatnya untuk mengenakan pakaian terbaik. Hal itu terlihat dari kebiasaan nabi ketika sholat Id, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Seperti dikisahkan Ibnul Qoyyim dalam Zadul Ma’ad, “Nabi memakai pakaiannya yang paling bagus untuk keluar (melaksanakan shalat) pada hari Idul Fitri dan Idul Adha.”

Anjuran Nabi Muhammad SAW kepada umatnya sebatas memakai pakaian yang terbaik. Tidak musti baru. Di samping itu Nabi Muhammad Saw. pernah menolak mengenakan kain berbahan sutera. Nabi khawatir akan menimbulkan benih-benih perilaku pamer, hingga Nabi bersabda, “Jangan lah kalian memakai sutera, karena siapa yang mengenakannya di dunia, maka dia tidak akan mengenakannya di akhirat”.

Mudik perlu dikembalikan lagi kepada esensinya, yaitu silaturahim. Menyambung tali persaudaraan. Hal ini utama dan penting. Di samping karena dapat melancarkan rezeki, karena ketika mudik diisi dengan permohonan maaf, doa, dan restu kepada keluarga supaya berhasil di tanah perantauan. Dan terlebih penting supaya tidak terjadi, meminjam istilah Jawa, kepaten obor.

Nabi Muhammad SAW bersabda — sebagaimana dikutip dalam kitab Nashaihul Ibad, “Siapa yang meremehkan kekeluargaan, tidak akan mendapat kasih sayang. Siapa yang meretakkan hubungan kekeluargaan, akan hina penghidupannya.”

Wallahu a’lam.