Semboyan Bhineka Tunggal Ika diambil oleh Mpu Tantular dari konsep teologi Hindu yang berbunyi, Bhina ika tunggal ika, Tan Hana dharma mengrawa. Artinya, Berbeda-beda Dia, tetapi satu adanya, tak ada ajaran yang menduakannya.
Sosok Mpu Tantular yang kita tahu adalah penganut Budha namun ia seorang yang terbuka terhadap pemeluk agama lain, terutama Hindu-Siwa. Artinya bahwa bangsa Indonesia sudah sejak lama mempraktekkan hidup toleran terhadap pluralitas yang inheren. Karena mereka sudah sejak hidup dalam lingkungan yang multikultur. Kehidupan yang seperti itu menjadi tradisi dan menjiwai setiap anggota dalam masyarakat kita. Hal itulah yang merupakan sendi dari keberadaan bangsa Indonesia yang plural.
Terciptanya entitas keberagaman yang rukun itu jelas karena sudah sangat mengakar pada jiwa bangsa Indonesia. Dalam perjalanannya hal itu diuji karena dalam pergaulan dunia mutlak bersentuhan dengan bangsa dan negara lain. Sudah menjadi sesuatu yang digariskan Tuhan (sunnatullah). Apalagi dengan perkembangan pesat globalisasi hari ini terutama kecanggihan teknologi dan informasi, hampir tidak ada satu daerah pun yang luput dari jejak dan amatan manusia. Negara bahkan dunia seakan hilang jarak dan sekat. “The World is Flat,” begitulah kata Thomas Friedman.
Kebhinekaan bangsa akhir-akhir ini terancam keberadaannya oleh maraknya aksi radikalisme dan terorisme. Jika dikaji lebih dalam ada banyak hal yang mendasari tindak kekerasan dan terorisme yang meresahan masyarakat luas. Memang sangat kuat indikasi faktor agama lebih mendasari adanya tindakan tersebut. Di samping tentunya harus diperhatikan faktor-faktor pendukung lainnya.
Sesungguhnya watak dan sifat dasar bangsa Indonesia jauh dari hal yang bersifat kekerasan dan terorisme. Karena pada dasarnya kekerasan serta terorisme hanya ada dalam keadaan yang selalu kacau (chaos). Berbanding terbalik dengan akar sejarah nusantara yang lebih lekat dengan budaya gotong-royong dan hidup dalam kerukunan. Masuknya agama-agama ke wilayah Nusantara pada dasarnya dengan jalan damai dan menerima adanya tradisi lokal. Islam membuktikan hal itu.
Pembuktian lebih lanjut menunjukkan kehidupan toleran dan kerukunan yang berlangsung di Nusantara menjadikan bangsa Indonesia mempunyai warisan sejarah peradaban besar. Entitas tersebut terbentuk karena pola kehidupan masyarakatnya lekat dalam kerukunan, persatuan dan kesatuan. Sebaliknya runtuhnya peradaban besar tersebut terjadi didasari oleh karena perpecahan entitas politik yang ada di dalamnya. Seluruh sistem peradaban lenyap karena tidak lagi ada harmoni di antara stake holder.
Bisa dibandingkan ceritera tragis entitas politik Nusantara dengan sejarah bangsa-bangsa lain sejak zaman kuno hingga sejarah kontemporer. Kita mengenal istilah Balkanisasi sebagai kosa kata politik yang menunjukkan betapa saat perpecahan jadi pilihan, hasilnya pasti kehancuran dan keruntuhan.
Pun dalam sejarah kepolitikan Indonesia dikenal term devide et impera, untuk menyebut aksi pemecahbelahan suatu entitas agar bisa dikuasai. Masa lalu negara-negara Nusantara sebagai mana digambarkan di atas berakhir sejarahnya karena banyak perpecahan dan tidak terkelolanya perbedaan dengan baik. Bahkan perbedaan dijadikan modal untuk membangun blok kepentingan.
Atas nama kepentingan (khususnya politik, militer, dan ekonomi) perbedaan yang ada di masyarakat yang tadinya bersifat kultural dieksploitasi ke dalam ruang pergulatan yang bersifat struktural. Perbedaan sosial yang tadinya berdampingan, menjadi berhadapan. Yang semula saling melengkapi, menjadi saling menegasi. Jika sudah seperti ini maka perbedaan, keberagaman benar-benar akan menjadi elemen antagonistik dan konflik. Menjadi sangat berbahaya bagi keutuhan dan bahkan eksistensi negara-bangsa
Membudayakan Sikap Rukun
Untuk menumbuh-suburkan, membina, memelihara, dan melestarikan persatuan dan kesatuan, salah satu jalannya adalah dengan membudayakan sikap rukun. Rukun adalah suatu kondisi menyatu dari suatu realitas sosial yang berunsur perbedaan.
Dengan begitu kondisi rukun dalam suatu masyarakat diciptakan justru karena kesadaran akan adanya perbedaan di antara masyarakat tersebut. Kondisi rukun bukan dimaksudkan untuk melebur perbedaan sehingga elemen yang berbeda sudah tidak kelihatan. Kondisi rukun terwujud justru dengan membiarkan unsur sosial yang berbeda hidup bersama dalam eksistensinya sendiri-sendiri dalam sebuah wadah kebersamaan. Ini yang sering disebut ko-eksistensi.
Budaya rukun akan muncul dalam pergaulan di tengah perbedaan bila di dalam kehidupan sehari-hari bisa diciptakan suasana saling menghargai dan menghormati (mutual respect), saling memahami (mutual understanding), saling tidak mencampuri urusan intern agama lain, dan saling berupaya untuk menyelesaikan setiap perselisihan.
Situasi demikian memang tidak gampang dan tidak bisa kita pandang akan terjadi dengan sendirinya (taken for granted). Harus ada upaya ke arah sana. Apalagi kita semua menyadari bahwa situasi dan kondisi kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan selalu berada dalam proses perubahan yang terjadi dengan sangat cepat dan mendasar. Nilai-nilai sosial yang dulu menjadi sumber kearifan anggota masyarakat di berbagai wilayah tanah air sedang mengalami penggerogotan yang luar biasa.
Nilai-nilai yang dulu dikenali sebagai local wisdom (kearifan lokal) kini tergerus oleh perubahan peruntukan wilayah, dinamika kependudukan, perebutan aset ekonomi, keterbukaan transportasi dan komunikasi, serta pengaruh perkembangan nasional maupun global.
Dengan demikian upaya membangun budaya rukun dewasa ini harus diletakkan dalam perspektif yang baru, yang disesuaikan dengan perubahan yang disebutkan di atas. Apalagi ketika perubahan-perubahan tersebut sering melahirkan tatanan baru yang tidak adil, bersifat eksploitatif, hegemonik, dan dekaden, sehingga membuat nilai-nilai baik dan mulia yang mestinya jadi perekat kerukunan kehilangan makna. Maka sebuah perspektif baru tentang kerukunan memang harus dihadirkan.
Perspektif baru itu diarahkan untuk memahami beberapa hal sebagai berikut: Pertama, bahwa kerukunan bukanlah sebuah kondisi statis, ajeg dan kontinum. Kedua, konsep kerukunan harus diletakkan dalam konteks praktek kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan dalam arti yang luas. Ketiga, meletakkan kerukunan sebagai upaya positif, dengan meninggalkan model penciptaan kerukunan dengan pelabelan dan stigmatisasi atas umat beragama tertentu yang bersifat negatif.
Keempat, kerukunan harus diletakkan dalam kerangka tindakan-tindakan hukum yang tegas terhadap setiap perbuatan pelanggaran hukum yang bisa merusak keamanan dan ketertiban. Dan kelima, kerukunan harus diletakkan sebagai agenda nasional anak bangsa dan demi kepentingan nasional.