Moxie (2021) tiba-tiba saja terlintas di gelembung rekomendasi tontonan saya. Setelah membaca sedikit ringkasannya, saya putuskan untuk menonton. Tidak ada ekspektasi apa pun. Saya hanya penasaran dengan premisnya: seorang gadis pemalu melawan seksisme di sekolahnya.
Film dibuka dengan biasa saja. Perkenalan tokoh utama, kamera yang menyorot kehidupan sekolah, dan beberapa dialog pendukung. Tak ada yang menggebrak.
Lalu tiba-tiba seorang perempuan berwajah Asia muncul dalam sebuah adegan, mendampingi si tokoh utama. Saya kaget. Si wajah Asia itu adalah Claudia. Nama aslinya Lauren Tsai. Selama ini saya mengenalnya sebagai seorang seniman-ilustrator. Tapi setelah itu saya baru tahu kalau Lauren ternyata pernah membintangi beberapa serial teve. Moxie adalah debutnya di dunia film.
Claudia adalah sahabat Vivian, si tokoh utama. Mereka selalu bersama sejak kecil. Mereka juga sekolah di SMA yang sama: SMA Rockport. Di sekolah ini pula sebagian besar porsi latar film ini diambil.
Moxie bercerita tentang kegelisahan Vivian pada penindasan berlarut-larut di sekolahnya. Kebetulan, hampir semua korbannya adalah perempuan. Tapi bagaimanapun Vivian adalah seorang introvert yang enggan terlihat. Jangankan melawan, dia bahkan malu kalau sampai menjadi pusat perhatian dari apa pun.
Film ini mulai menarik ketika muncul tokoh Lucy. Seorang gadis kulit hitam keturunan Amerika Latin. Dia adalah anak baru di SMA Rockport. Sifatnya yang berani dan mudah memberontak menarik perhatian Vivian.
Di hari pertamanya, Lucy mendebat gurunya yang menyuruh untuk membaca The Great Gatsby. “Kenapa kita masih membaca buku ini?” katanya. “Jika intinya adalah mempelajari impian Amerika, kita seharusnya membaca soal imigran, kelas pekerja, ibu kulit hitam, setidaknya orang yang tak memiliki rumah besar.” Saya kira adegan ini adalah gerbang menuju alasan-alasan kenapa film ini perlu untuk ditonton.
Di sisi berseberangan, film ini juga menghadirkan sosok Mitchell sebagai antitesis. Mitchell adalah laki-laki populer di sekolah. Dia tinggi, tampan, berprestasi, tapi juga brengsek. Mitchell merundung banyak perempuan dan melabeli mereka semaunya: bokong terseksi, payudara terbaik, paling layak ditiduri, dan lain-lain.
Muak dengan perlakuan-perlakuan itu, Vivian memutar otak supaya bisa melawan tanpa ketahuan. Dia membuat zine berjudul “Moxie” secara anonim. Vivian berangkat lebih pagi ke sekolah dan menyebar zinenya tanpa ketahuan.
Dengan segala tantangan yang dihadapi, akhirnya zine buatan Vivian memberi dampak. Banyak perempuan di sekolahnya mulai sadar tentang represi dan ketidakadilan yang mereka terima. Mereka melawan. Sesekali, mereka juga melakukan aksi protes kalau dianggap perlu.
Seperti ketika seorang perempuan diusir dari kelas karena memakai tanktop. Padahal tak ada aturan demikian di sekolah. Di sisi lain, murid laki-laki bebas memakai baju yang mereka mau. Peristiwa itu membuat semua perempuan di sekolah melakukan protes dengan memakai tanktop di hari yang sama.
Harus diakui, Moxie begitu kental membawa kampanye “women support women” dengan caranya sendiri. Dia menunjukkan bagaimana feminisme pertama kali dipahami oleh para remaja Amerika Serikat, yang kadang salah, kadang juga benar. Di sinilah kekuatan Moxie dibanding film-film coming-of-age pada umumnya.
Saya tidak menemukan adegan perempuan cantik merundung perempuan kutu buku di film ini. Saya tidak melihat tokoh utama yang mendapat laki-laki paling populer di sekolah pada akhir ceritanya. Pun dengan kisah-kisah normatif drama remaja AS kebanyakan.
Di film ini, semua perempuan setara. Dia yang bermata sipit, berkulit hitam, penyandang disabilitas, berambut pirang, atau penyuka sesama jenis; semuanya sama. Mereka disatukan di bawah bendera penyintas patriarki dan seksisme di sekolahnya. Satu-satunya yang membedakan perempuan satu dengan lainnya adalah komitmennya pada keadilan, bukan pada identitasnya.
Itulah kenapa saya berani menyebut bahwa Moxie ikut meluruskan pandangan bahwa feminisme selalu membenci laki-laki. Film ini, dengan sangat adil dan hati-hati, menempatkan nilai sebagai sentra diskusinya. Para perempuan pemberontak di SMA Rockport hanya tidak sepakat pada perlakuan tak menyenangkan yang terjadi. Sedangkan sosok Mitchell di sini tak lebih dari representasi perasaan superior, pikiran patriarkis, tindakan seksis, dan pelaku ketidakadilan yang tak bisa dibenarkan.
Hal itu didukung oleh para murid perempuan yang kesal pada Bu Shelly, kepala sekolah mereka. Bu Shelly adalah kepala sekolah di SMA Rockport penyandang gelar “kepala sekolah terbaik”. Dia sering mendapat laporan dari murid-murid perempuan atas pelecehan atau perundungan yang mereka alami. Tapi tak pernah ada respons. Bu Shelly selalu mengelak dan mengatakan sekolahnya berjalan baik-baik saja untuk menjaga nama baik sekolah dan citranya sendiri.
Sebagai sesama perempuan, Bu Shelly adalah representasi suara yang bungkam. Posisinya jelas, ia tidak ikut melawan ketidakadilan yang terjadi. Otoritas dan kebungkamannya adalah lampu hijau bagi masalah-masalah yang menyudutkan murid perempuan di sekolahnya. Begitulah! Kalau Moxie memang berniat menunjukkan feminisme adalah paham yang membenci laki-laki, pasti tokoh kepala sekolah sudah dibuat beridentitas laki-laki.
Moxie hanyalah spektrum kecil dari ketidakadilan dan diskriminasi yang sering dialami perempuan. Di sini, kita baru melihat bagaimana penindasan pada perempuan terjadi di sekolah. Padahal, di luar sana perempuan bisa lebih tidak aman lagi.
Pada akhirnya, film ini telah berhasil menyampaikan pesannya yang begitu substansial dan dekat. Para perempuan harus saling mendukung. Para lelaki juga tak kalah penting mengambil peran dalam kesetaraan berbasis gender di masyarakat kita yang masih timpang.
Moxie rilis tahun ini dan sudah bisa ditonton di Netflix. Film ini disutradarai oleh Amy Poehler berdasarkan adaptasi novel garapan Jennifer Mathieu. Sebagai film drama remaja berdurasi 111 min, saya kira Moxie sama sekali tidak membosankan untuk dijadikan tontonan santai. Film ini sangat matang di naskah dan nyaris tak ada kekurangan berarti pada aspek teknisnya.