Momen Natal dan Sentimen Tahunannya

Momen Natal dan Sentimen Tahunannya

Momen Natal dan Sentimen Tahunannya

Sudah jadi tradisi Desember, yang sana merayakannya dengan tawa, yang sini merayakannya dengan fatwa

Buat saya, mau dilarang atau tidaknya mengucapkan Natal—bukan hal yang esensial. Akan lebih berbahagia jika ibadah Natal jika tidak perlu lagi dijaga oleh orang berbaju hijau dan coklat”.

Kalimat-kalimat di atas merupakan kumpulan curahan hati rekan Kristen di story WA saya menjelang Natal tahun 2021 ini. Anda juga mungkin sudah membaca lini masa yang penuh dengan pengharaman ucapan Natal, atau beberapa Kementrian Agama (Kemenag) di daerah tertentu justru menghimbau untuk membuat ucapan Selamat Natal dan itu bukan masalah. Satu sisi, umat Kristiani hanya ingin bersukacita akan kelahiran Sang Junjungan, sedangkan di sisi lainnya—masih terdapat segelintir orang yang setiap tahun—seolah tidak kehabisan energi berkutat pada persoalan haram-haraman ra mutu.

Natal atau Maulid?

Hal ini mengingatkan saya dengan artikel Gus Dur pada momen menjelang Natal tahun 2003 silam. Beliau menjabarkan tentang perbedaan term Harlah, Natal dan Maulid. Di artikel tersebut, Gus Dur mengetengahkan bagaimana salah satu istilah memiliki kesan hanya dimonopoli oleh kelompok tertentu. Seperti istilah Natal di kalangan Kristiani karena sering dilekatkan pada kelahiran Isa al-Masih atau Nabi Isa dan Maulid kepada Nabi Muhammad SAW, meski secara semantis, makna dasarnya sama, yakni kelahiran.

Dalam tradisi Islam, begitu lekat tradisi Maulid Nabi Muhammad SAW, bahkan banyak tradisi Nusantara dirayakan besar-besaran. Meski dalam rangkaian agama Ibrahim—Nabi Muhammad SAW berada di posisi terakhir sekaligus menutup rangkaian panjang dari Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi Muhammad SAW. Jika maulid atau momentum kelahiran Nabi Muhammad SAW bisa dirayakan begitu rupa oleh sebagian besar umat Muslim, mengapa segelintir orang masih panik jika Natal tiba? Mengapa mereka tidak menyebut saja Maulid Nabi Isa?

Jika masih alergi dengan istilah yang tidak berbau bahasa Arab, bolehlah kiranya mengganti istilah Natal yang diambil dari bahasa Latin itu menjadi adalah “maulid” yang diambil dari bahasa Arab, sehingga berbunyi Maulid Nabi Isa, gimana kira-kira, apakah masih dirasa kurang? Atau kelompok tersebut justru anti tradisi maulid? Yowis.

Natal: Firman Menjadi Manusia

Dapatkan Umat Islam memaknai Natal sebagaimana umat Kristiani pahami? Atau paling tidak—sudi meluangkan waktu untuk membaca artikel singkat nan sederhana ini.

Jika memaknai maulid Nabi Isa atau Natal Isa al-Masih, kita akan bertemu dengan dua paradigma yang berbeda. Selain sudut melihat Isa al-Masih yang berbeda, Islam dan Kristiani punya paradigma tentang wahyu yang sedikit berbeda, khususnya dalam manifestasi wahyu tersebut.

Pada awalnya, umat Kristiani dan umat Muslim sama-sama berangkat dari pemikiran bahwa Allah atau Tuhan sama-sama berfirman atau menurunkan wahyu atau sebutlah petunjuk kepada umat manusia. Selanjutnya, perbedaan muncul ketika manifestasi wahyu atau firman tersebut tidak sama alias berbeda.

Percakapan teologis mungkin amat jarang menyentuh bagian ini, oleh sebab struktur masyarakat kita mengatakan hal ini adalah sensitif atau tabu untuk diobrolkan. Dari sini persoalan rumit ini semakin pelik untuk diurai, akhirnya menjadi ruang yang penuh spekulasi karena kelompok Islam tertentu berpolemik di ruang teologis ini disusul omongan teologis dengan argumentasi teologis dari Al-Qur’an untuk menilai (alias menghakimi) keyakinan umat Kristiani yang basis argumentasi teologisnya berbeda. Ini jelas ra mashok!

Jika kita membuka Injil, terdapat satu adagium yang sangat populer, yakni “firman menjadi daging”—yang dalam bahasa atau Terjemahan Baru LAI (TB-LAI) yang hari ini diartikan sebagai manusia adalah bahasa khas dalam Injil Yohanes 1:14, “dan Firman itu telah menjadi manusia” (Καὶ ὁ λόγος σὰρξ ἐγένετο). Umat Muslim tentu tidak akan dapat menggapai nalar teologis ini, karena firman atau wahyu Allah itu nuzul tidak menjadi manusia, melainkan menubuh bersama Nabi Muhammad SAW (sebagai penerima wahyu sekaligus menjadi medium/perantara wahyu) yang belakangan hari ditulis menjadi kitab suci Al-Qur’an.

Perbedaan firman atau kalam atau logos (λόγος)—tak berbeda jauh dengan perdebatan terma natal dan maulid, di sini perlu menyelami term komunal yang menjadi istilah kolektif kelompok komunitas agama tertentu. Agar perdebatannya sedikit naik kelas. Firman menjadi manusia inilah yang menjadi khas dalam paradigma wahyu umat Kristiani, tentu berbeda dengan paradigma umat Muslim. Inilah yang disebut teologi inkarnasi.

Teologi inkarnasi ini merupakan salah satu doktrin yang juga sulit atau bahkan nyaris tidak mungkin dinalar oleh umat Islam yang tidak memiliki keyakinan yang sama dengan umat Kristiani melihat sosok Isa al-Masih atau Yesus, dimana Yesus atau Isa di sini merupakan Injil atau kabar baik itu sendiri. Dimana dalam teologi Kristen, kehadiran Tuhan dalam wujud Yesus merupakan hadiah (gift) dan sekaligus rahmat (grace) yang menandakan kedekatan-Nya dengan manusia dalam hubungan yang sangat intim.

Kemudian, pada diskusi tentang Natal—biasanya akan muncul lagi pernyataan klasik yang berbunyi, “Tuhan tidak beranak tidak diperanakkan”. Inilah rumitnya jika seseorang membaca kitab sucinya lalu menghakimi keyakinan orang lain. Satu ketidaksopanan yang sistematis tentunya. Bagaimana bisa mereka membaca dalil Al-Qur’an untuk menilai keyakinan orang lain yang notabene basis kitab suci dan juga doktrinnya tidak sama.

Umat Kristiani dimana-mana juga tidak akan pernah mengatakan Tuhan beranak. Kesulitan lainnya akan muncul jika orang yang membaca dalil “Tuhan beranak” itu tidak pernah membaca buku puisi atau sastra lainnya sehingga minim imajinasi bahwa istilah tersebut bukan istilah biologis, seperti mereka mendengar istilah “anak Allah” lantas mereka bergegas menghakimi bahwa Tuhan tidak beranak!

Seperti rumitnya mereka tidak akan bertindak konyol ketika harus mencari bapak dari “anak tangga” atau bapak dari “anak kunci”, karena semua frasa itu hanya frasa yang tidak mungkin dipisah satu sama lain serta tidak mungkin dibaca harfiah.

Selanjutnya, diskusi lain biasa menyerang doktrin trinitas, perkara ini juga kerap kali datang dari banyaknya penghakiman kepada keyakinan umat Kristiani yang menyebut bahwa umat Kristiani itu musyrik atau menyekutukan Tuhan karena Tuhannya tiga. Tidak kurang dari tujuh tahun lamanya saya memfasilitasi dialog teologis antar Islam dan Kristiani, tak pernah satu pun kesempatan dialog yang terjadi tanpa pertanyaan tentang trinitas dan kesalahpahaman orang-orang Islam terhadapnya.

Betapa tidak, masih begitu banyak yang menyamakan trinitas dan triteisme. Tidak banyak yang sadar—terlebih memahami bahwa umat Kristiani tidak menyembah tiga Tuhan, mereka juga menyembah Tuhan yang Esa, warisan ketauhidan ajaran Yudaisme. Corak monoteisme yang trinitarian inilah yang lebih lanjut gagal dipahami oleh sekelompok Muslim yang di momentum Natal biasanya geger-gegeran seolah tak ada pekerjaan lain di Desember.

Sebenarnya, jika membaca lebih dalam, bahasan Al-Qur’an tentang  trinitas, tidak mengkritik keyakinan umat Kristiani, justru sebaliknya—membelanya! Meski pada akhirnya trinitas tidak cukup untuk dirasionalkan karena melampaui akal. Seperti kata Thomas Aquinas dalam Summa Theologiae, “diperlukan pijakan wahyu dan bukan akal”.

Di balik maraknya salah paham atau prasangka yang berakar pada ketidaktahuan (atau mungkin juga ketidakingintahuan) segelintir kelompok tertentu ini yang melanggengkan hal tersebut yang belakangan mengkristal menjadi kebencian. Ketika sudah mengkristal menjadi kebencian, terlebih menjadi ideologi—inilah yang nyaris sulit untuk diajak mengobrol tentang hal tersebut di atas. Sehingga yang muncul terus adalah sentimen tahunan yang tak berkesudahan.

Sisi lainnya, diakui atau tidak, momentum Nataru (Natal dan Tahun Baru) begitu menggoda banyak orang, tentu tak terkecuali umat Muslim turut merayakannya—meski tidak ikut mengucapkan Selamat Natal atau ikut beribadah di Gereja, paling tidak meramaikan pusat perbelanjaan atau sekadar menikmati promo-promo di marketplace yang menawarkan promo Natal dan Tahun Baru, ini hal lain yang tentu jauh dari keharaman mengucapkan Selamat Natal.

Sudah berburu promo Natal dan Tahun Baru belum? Wallahu ‘alam…