Moderasi Beragama dan Kodrat Manusia Sebagai Makhluk Baik

Moderasi Beragama dan Kodrat Manusia Sebagai Makhluk Baik

Moderasi beragama sejalan dengan sifat naluriah manusia yang diciptakan Allah SWT sebagai makhluk yang baik.

Moderasi Beragama dan Kodrat Manusia Sebagai Makhluk Baik

Istilah “Moderasi (ber)Agama” saat ini ramai dibicarakan, bahkan telah menjadi semacam amalan yang harus dipratikkan sebagaimana himbauan Menteri Agama RI, Bapak Lukman Hakim Saifuddin. Istilah tersebut digunakan sebagai anjuran agar masyarakat yang bertuhan mampu berprilaku adil atau tidak berlebihan-kalau bukan ekstrem-terhadap penganut Tuhan lainnya.

Sikap moderasi beragama ini mengisyaratkan ketidaksetujuan terhadap mereka yang sering kali menggunakan agama sebagai alat represif, misal, persekusi atau alat pembenar perihal perlakukan mereka terhadap kelompok minoritas.

Setiap kali ada tindakan ekstremisme, persekusi, atau intoleransi, kemungkinan agama diperbincangkan di situ. Memang setiap perilaku ekstremisme tidak dapat dipisahkan dari isu keagamaan, terlebih ketika agama tertentu seperti Islam berada di sana. Pertanyaannya, apakah Islam seekstrem itu?

Yang sulit disangkal adalah Tuhan menciptakan manusia dengan berbeda-beda atau beragam. Hal ini harusnya diterima sebagai bentuk keimanan kita terhadap-Nya. Ini adalah hal mutlak, tidak dapat ditawar. Islam, misalnya, mengajarkan kita perbedaan yang wajib dirayakan dan kewajiban untuk tidak saling membenci atas nama perbedaan (Surat Al-Hujurat Ayat 13 dan Al-Maidah Ayat 8). Hal ini jelas tentang keutamaan menerima keberadaan mereka yang berbeda keyakinan, untuk mu agama mu dan untuk ku agama ku!

Kedua ayat di atas jelas memberitahukan kepada kita semua bahwa Islam sejak dahulu kala telah mendemonstrasikan dan meletakkan dasar pemikiran tentang persamaan derajat atau menghormati orang yang berlainan pandangan, keyakinan, atau suku sebagaimana yang dipratikkan oleh Rasulullah SAW melalui piagam Madinah yang dibuatnya.

Menjadi suci di mata Tuhan tidaklah harus dengan jalan membela-Nya secara fanatik atau bahkan ekstrem. Bersikap fanatik atau ekstrem sesungguhnya mengkhianati isi iman yang sebenarnya, yaitu Tuhan dengan maha pengasih (Ar-Rahman) dan penyayang-Nya (Ar-Rahim). Adalah lebih beriman dan agamis jika kita dapat hidup bersama dengan baik dan menjamin bahwa setiap orang bisa hidup menurut keyakinan dan kepercayaan mereka masing-masing ketimbang menjadi ekstremis atau fanatik.

 

Moderasi Beragama dan Manusia Baik

Seorang filsuf dunia bernama Aristoteles pernah berkata bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk baik (homo eudaimonia) dalam arti manusia akan memeroleh kebaikan yang diinginkannya bilamana mampu memenuhi keutamaan (arḗte) yang telah ada, yakni keutamaan intelektual dan keutamaan moral. Pandangan dasar mengenai keutamaan intelektualitas itu berupa nilai kearifan lokal yang mampu dijunjung tinggi dan keutamaan moralitas tentang apa yang dipandang baik atau buruk oleh masyarakat pendukung dari keutamaan tersebut.

Keyakinan yang sama juga ditunjukkan Marcus Tullius Cicero, filsuf Italia, yang menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk baik. Kedua alasan ini sudah cukup memperlihatkan potensi diri manusia untuk menjadi pribadi yang baik.

Karena itu, tidaklah sulit menjadi manusia baik karena hal ini setidaknya telah lama menjadi prinsip bersama, misalnya, pada masyarakat Bugis-Makassar yang dikenal dengan istilah “Sipakatau” (memanusiakan manusia) atau hal yang tertanam dalam simbol negara dan bangsa Indonesia, yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”. Dengan kata lain, menjadi manusia baik bagi sesama manusia bukan hal asing karena hal ini sejak awal sudah menjadi semacam kewajiban atau human ethic khususnya bagi masyarakat Bugis-Makassar yang tercermin dalam nilai “Sipakatau” tersebut.

Berada di tengah masyarakat majemuk adalah hal pasti, tetapi menjadi orang baik itu adalah pilihan hidup. Kalau Anda menginginkan menjadi orang baik, pilihlah perilaku moderat! Sekali lagi, bangsa ini adalah bangsa berketuhanan Yang Maha Esa, dalam arti bangsa yang mengakui keberadaan setiap pemeluk agamanya tanpa mengurangi nilai dari keberagamaan yang berbeda tersebut.

Akhir kata, sedikit mengutip UUD 1945 pada alenia pertama: “Sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

Secara politik (kenegaraan) hadirnya UUD 1945 ini memberi angin segar kepada seluruh rakyat Indonesia, di antaranya kebebasan untuk memenuhi hasrat keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tanpa mengurangi sedikitpun hak mereka dalam praktiknya. Kebebasan ini dapat diartikan dengan “terhindar dari konsekuensi akan sentimen atau pandangan ekstremis dari kalangan agama tertentu.”

Menghormati dan menghargai sesama  manusia, demikian kebebasan itu diartikulasikan dalam masyarakat majemuk ini merupakan sebagai bagian dari semangat moderasi beragama.

Wallahu a’lam.