Jangan remehkan perkara tidur. Nazi Jerman, barangkali tak akan tumbang jikalau Hitler tak tidur saat pasukan Sekutu mendarat di pantai Normandia, Perancis. Namun apa daya, gara-gara Hitler terlambat bangun dan gagal memberi komando pada pasukannya, peristiwa yang terkenal dengan nama Operasi Overlord itu dengan mudah melumpuhkan Nazi Jerman sekaligus mengakhiri Perang Dunia II pada tahun 1944.
Di dalam negeri, mencatut nama Gus Dur dalam bab tidur-tiduran ini agaknya menjadi menarik. Jika Hitler gagal dalam perang gara-gara tertidur sekali saja, maka presiden keempat RI ini malah dikenal sebagai ‘tukang tidur’. Hampir semua sahabat, teman, dan orang-orang yang pernah terlibat langsung dengannya pasti pernah menjumpainya tertidur di saat-saat ‘krusial’, entah saat mengobrol, mengisi seminar, memimpin rapat, atau bahkan saat pertemuan kenegaraan dengan presiden negara lain.
Lantas, apakah Gus Dur juga melakukan hal-hal fatal ketika tertidur di acara penting? Bagaimana sebenarnya pola tidur Gus Dur sehingga dia sering dijumpai tertidur? Dan, adakah yang membedakan tidur Gus Dur dengan orang-orang pada umumnya? Mari kita lihat satu-persatu pergolakan yang terjadi hanya karena tidurnya seorang Gus Dur!
Pada sebuah kesempatan, KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) pernah bercerita tentang kekesalan Jalaluddin Rahmat –seorang Muslim cendekia terkemuka– terhadap Gus Dur yang dianggapnya tidak sopan. “Bagaimana tidak? Wong salah seorang pemimpin Negara Islam Iran mau bicara dan berdialog, Gus Dur justru tidur, ngorok lagi. Begitu Kang Jalal mengeluh,” ungkap Gus Mus. “Kejengkelan Kang Jalal tentu mudah dipahami. Pemimpin tertinggi Iran itu kan idolanya,” lanjutnya.
Namun keadaan berubah. Begitu pidato petinggi Iran itu selesai, Gus Dur mendadak terbangun. Dia justru segera angkat tangan lebih dulu meminta berbicara untuk merespons. Tanggapan Gus Dur memperlihatkan bahwa dia sangat memahami isi pidato pemimpin Iran itu, mengetahui apa yang positif, dan apa yang perlu dikritik. Antara percaya dan tidak, Kang Jalal hanya bisa melongo. Sesudah pengalaman itu, orang yang tidak disukainya tersebut berubah menjadi sahabatnya.
Di satu sisi, cerita tentang misteri tidur Gus Dur semacam ini sangat banyak jumlahnya. Sebanyak jumlah orang yang pernah melihat Gus Dur tertidur dalam sebuah forum dan terbangun tapi masih nyambung dengan obrolan forum tersebut. Sebagian kalangan meyakini ini adalah “kelebihan” yang dimiliki Gus Dur sebagai wali (orang yang dicintai Tuhan). Namun di sisi lain, tidak sedikit pula orang yang menganggapnya “kekurangan” yang seharusnya dihilangkan sebab akan berdampak negatif.
Agak sulit mendeteksi awal mula Gus Dur suka melakukan “ritual tidur sembarangan” ini. Namun, setidaknya Mohamad Sobary –budayawan dan sahabat Gus Dur– mengetahui bahwa Gus Dur sudah melakukan kebiasaannya tersebut sejak muda. Dalam bukunya Gus Dur, Santri Par Excellence: Teladan Sang Guru Bangsa, Kang Sobary menunjukkan kebiasaan tidur Gus Dur sudah terjadi ketika dia duduk di bangku SMP. Kala itu, Gus Dur disuruh ibunya untuk melanjutkan sekolah menengah pertamanya di Jogja. Selain sekolah formal di pagi hari, pada waktu sore dia juga harus mengaji di Pesantren Al-Munawir, Krapyak, bersama Kiai Maksum.
Suatu hari, saat Gus Dur ngaji ‘privat’ dengan Kiai Maksum di ndalem-nya, Kiai menerangkan tentang makna ulama su’: ulama yang hanya mengejar dunia dan mencari popularitas bagi dirinya sendiri, yang lupa akan etika keulamaan, kepemimpinan, dan tanggung jawab moral yang besar. Pada saat menjelaskan panjang-lebar, Gus Dur pun terlihat menuduk dan tertidur. Kiai Maksum tahu kalau santrinya sedang tidak sadarkan diri, tapi dibiarkannya saja.
Untuk mengetes apakah dalam tidurnya Gus Dur tetap menangkap uraiannya, Kiai Maksum pun bertanya, “Gimana, Dur, kiai su’ itu harusnya bagaimana?” Tanpa diduga Gus Dur menjawabnya dengan lancar. Dia menggambarkan pemahaman mendalam atas persoalan-persoalan kepemimpinan kaum ulama terhadap dunia. Kiai Maksum pun hanya mesem marem (tersenyum puas).
Pertentangan atas tidur Gus Dur mulai menyeruak ketika dia menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia. Orang-orang di sekelilingnya mulai mengkritisi Gus Dur ketika dia tertidur di saat memimpin acara-acara resmi. Selain itu, sebagian lainnya juga menganggap bahwa pola tidur Gus Dur yang tidak sehat tersebut akan berpengaruh pada setiap kebijakan dan komunikasi politiknya.
Dalam bukunya Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa, Tjipta Lesmana menjelaskan bagaimana semua informan yang berada di sekeliling Gus Dur mengakui bahwa dia sering tidur saat menghadiri acara-acara resmi atau memimpin sidang kabinet. Dalam hal ini, bahkan Amien Rais pernah ‘mengancam’ Gus Dur dengan berkata, “Kalau Gus Dur ingin mempertahankan pemerintahannya, dia harus menghilangkan kebiasaannya yang suka tidur di saat memimpin sidang kabinet.” Pernyataan ini muncul sebab tidak sedikit cerita yang mengatakan bahwa pembicaraan atau pernyataan Gus Dur sering ngawur setelah terbangun dari tidurnya.
Prof. Dadang Hawari, seorang dokter ahli saraf, pernah mengungkapkan bahwa gangguan pola tidur Gus Dur menyebabkan pernyataan-pernyataannya memang kerap keliru. Secara khusus dokter-dokter ahli di Rumah Sakit John Hopkins, Baltimore (Amerika), pernah memeriksa pola tidur Gus Dur tatkala Gus Dur berkunjung ke Amerika. Menurut informasi yang diperoleh Profesor Dadang, para dokter di rumah sakit tersebut memberi nasihat supaya Gus Dur menjaga pola tidurnya. Hal serupa juga dinyatakan oleh para dokter pribadinya. Oleh sebab itu, Profesor Dadang percaya bahwa yang diperlukan Gus Dur adalah terapi tidur.
Menurut Rizal Ramli, pola tidur Gus Dur sebenarnya gampang sekali diingat. “Pokoknya setiap pagi hari Gus Dur selalu dalam keadaan prime time-nya, sangat fresh. Responsnya pun cepat, memberikan pengarahan dan lain sebagainya. Tidak heran, seringkali pertemuan antara presiden dan menteri di Istana diadakan pagi-pagi sekali. Namun setelah pukul 10 pagi, stamina Gus Dur mulai menurun dan cepat mengantuk. Ia akan segar lagi, biasanya, setelah jam 2 siang hingga malam,” ungkap Menteri Keuangan di era Gus Dur tersebut. Nah, yang menjadi persoalan adalah… sidang kabinet biasanya dimulai jam 10 pagi.
Melihat pergolakan di atas, kita bisa mengambil satu kesimpulan, bahwa ada dua “kubu” yang bisa dijadikan rujukan dalam menyoal tidur Gus Dur. Pertama, mereka yang mengabaikan tidur Gus Dur, toh Gus Dur juga paham apa bahasan yang dia lewatkan saat tidur, sebagaimana banyak orang menyaksikan. Kedua, mereka yang mempersoalkan tidur Gus Dur sebab dia sering berargumen ngawur setelah bangun dari tidurnya. Lebih lanjut, itu akan berdampak pada pemerintahannya, mengingat posisinya dulu sebagai presiden.
Lantas mana yang benar? Saya kira, kita bisa menilainya sendiri-sendiri, tergantung sejauh mana kita mengenali Gus Dur. Yang jelas, setelah delapan tahun sejak Gus Dur memutuskan untuk “tidur” selamanya, dirasakan atau tidak, bangsa ini seakan kehilangan sosok yang penting. Seorang yang berjuang mati-matian demi kemanusiaan dan keadilan. Juga seorang yang tak pernah lelah mengingatkan bahwa bangsa ini jangan menjadi bangsa pemarah.
Selamat tidur, Gus. Kali ini pasti tak akan ada yang berani membangunkanmu. Beristirahatlah dengan tenang, Gus. Al-fatihah!
Mohammad Pandu, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.