Setelah menyaksikan beberapa orang berkomentar dan bertanya di beberapa forum berbeda, saya mirip orang kena angin duduk. Semiskin itukah kemampuan berbahasa di kalangan manusia terdidik hari ini?
Saya maksudkan bahasa di sini dalam arti yang jembar: verbal dan nonverbal.
Ganjilnya, banyak orang girang –untuk menambahkan efek dramatis saya menyebutnya—mempropagandakan kekayaan ragam bahasa, kesantunan, dan keramahan manusia Indonesia.
Di sebuah forum, seorang lelaki paruh baya yang konon sering mendesain pelatihan sering kali menyebut kata “salah” dan “sulit dimengerti” pada penulis lain yang baru dikenalnya.
Bahasa tubuhnya, tertawa kecil, dapat ditafsirkan sedang mengirim pesan manusia di hadapannya makhluk paling bodoh di planet ini.
Gerak-gerik dan pernyataannya memperlihatkan bahwa pengetahuan dan informasi hanya seluas ruangan pertemuan tempat ia bicara.
Kali lain saya bergidik dengan kelakuan seorang lelaki berusia, perkiraan saya, di bawah 45 tahun.
Di depan namanya tertera gelar doktor dan master pendidikan memotong percakapan pelajar yang tengah diwawancarainya.
Ia sering mengulang pernyataan ini: “sudah, sudah, saya sudah paham”. Lain waktu ia mengatakan “ini sih tak sesuai harapan kami,” diiringi tawa kecil. Gerak-geriknya seperti manusia yang tak mampu membedakan lalu mengamalkan apa itu pedagogi, andragogi, dan heutagogi.
Suatu waktu saya menanyakan perkara ini pada seorang teman yang profesinya seorang pendidik.
“Apa yang sebenarnya terjadi dalam kelas-kelas di kampus-kampus pendidikan kita? Apakah mereka tak mendapatkan materi kemampuan berkomunikasi dan berpikir kritis?”
Saya jadi menduga lebih jauh jangan-jangan inilah makna bahwa literasi Indonesia terbilang rendah dibanding negara lain di Asia Tenggara.
Kualitas murid seringkali cerminan dari guru. Saya berharap perkara ini hanya kasuistik, istilah bekennya hanya oknum, tak dapat mewakili pendidik di tanah air.
Mungkin terlalu tinggi kita berharap bahasa dalam percakapan kita hari-hari ini diramaikan dengan gaya metaforis yang indah. Namun, masuk akal saja jika kita berharap ada sekumpulan orang di negeri ini yang berjuang mempertahankan keindahan bahasa Indonesia.
Bukankah kita pernah mengalami masa-masa semacam itu seperti kisah Agus Salim, tokoh bangsa yang masyhur itu. Dalam situasi mencekam, bahasa ditampilkan dengan memesona.
Ketika tokoh yang menguasai tujuh bahasa itu berpidato di antara kerumunan terdengar suara orang mengembik.
Mbekk! Mbeek! Ini bahasa ejekan pada Agus Salim yang berjanggut. Agus Salim tak kalah lihai. Ia gunakan bahasa untuk melawan.
“Tunggu sebentar. Bagi saya sungguh suatu hal yang sangat menyenangkan bahwa kambing-kambing pun telah mendatangi ruangan ini untuk mendengarkan pidato saya. Hanya sayang sekali bahwa mereka kurang mengerti bahasa manusia sehingga mereka menyela dengan cara yang tak pantas…,” katanya.
Rasanya, orang-orang yang saya ceritakan itu, tak sulit mencari cara yang lebih berkelas untuk memotong percakapan.
Saya percaya kecakapan memotong percakapan satu kecakapan yang perlu dimiliki pendidik dan pelatih? Misalnya, dengan mengucapkan “terima kasih” pada lawan bicara dapat mengirim pesan bahwa
Anda merasa cukup dengan apa yang dibicarakan.
Rasanya, kedua orang tadi juga mudah memahami kapan dan demi tujuan apa menggunakan pertanyaan tertutup atau terbuka. Pertanyaan tertutup memang sat-set dan berguna mendapatkan informasi tertentu. Namun dalam banyak hal, pertanyaan terbuka dapat memberi banyak waktu bagi lawan bicara dan berpeluang mendapatkan banyak data atau informasi. Selebihnya menghindari penghakiman.
Bandingkan dua pertanyaan ini. “Apakah konten yang Anda buat akan disukai penonton?” dengan “bagaimana konten yang Anda ini dapat disukai penonton?” Pertanyaan lebih buruk lagi mungkin model begini, “menurut Anda, apakah konten semacam ini layak dan disukai pembaca?”
Lawan bicara kemungkinan menjawab pertanyaan pertama dengan “ya” atau “tidak”.
Jika tak ingin tersudut lebih jauh, ia mungkin akan memberi alasan. Berbeda dengan yang kedua. Kemungkinan lawan bicara menjelaskan lebih banyak informasi dan data. Ia mungkin akan mengatakan ini.
“Saya berusaha membuat konten yang cocok untuk pembaca. Karena itu kalimat yang saya pilih seperti yang ada. Saya sudah membuat riset kecil-kecilan untuk itu.”
“Bagaimana kita dapat mengatakan hal yang tidak terucapkan dan tetap menjaga rasa hormat? Sebenarnya, itu dapat dilakukan jika Anda tahu cara memadukan tiga bahan dengan hati-hati—kepercayaan diri, kerendahan hati, dan keterampilan,” begitu kalimat pada Percakapan Penting (Crucial Conversation), sebuah buku laris yang terbit pada 2002 dan dicetak lebih dari 500 ribu kopi
John Lubbock hidup pada pertengahan abad ke-19. Pria kelahiran Inggris itu seorang bankir, politikus Liberal, filantropis, ilmuwan, dan orang yang memiliki banyak pengetahuan.
Ia memiliki perhatian pada ragam ilmu: arkeologi, etnografi, dan beberapa cabang biologi. Konon istilah “Paleolitik” dan “Neolitik” yang menunjukkan Zaman Batu Lama dan Baru berasal dari mulut dan pulpennya. Dan ia mengatakan ini. “Beberapa kata seumpama sinar matahari, lainnya bagaikan anak panah berduri atau gigitan ular. Dan jika kata-kata kasar dapat menusuk begitu dalam, seberapa banyak kesenangan yang dapat diberikan kata-kata baik?”
Apa yang dirasakan pelajar lawan bicara lelaki bergelar master pendidikan ini saya tak tahu. Tapi dari pengalaman kita semua mengerti, hanya ada dua kata-kata paling kita ingat: yang menyakitkan dan yang membahagiakan. Rumus ini berlaku bagi siapa saja: pelajar, orang dewasa, profesor, guru, politisi. Siapa saja, kecuali manusia yang tak bisa mengingat apa-apa.
Saya masih mengingat kata-kata yang penting dan saya dengar saat usia saya duduk di bangku madrasah. “Jabatan tertinggi seorang kuli adalah berhenti”. Abang saya yang mengatakan itu.
Frank Luntz mengistilahkannya dengan “Lembar-lembar Kata yang Kita Ingat”. Penulis Lembar-lembar kata yang Bertenaga (Words that Work) itu membuka salah satu subjudul bukunyanya dengan kisah Larry King. Larry penulis, pembawa acara radio, dan pembawa acara TV kawakan asal Amerika. Orang tahu, ia diganjar banyak penghargaan.
Dalam lima dekade karirnya, Larry mewawancarai ribuan orang dari ragam kalangan: tokoh dunia, politisi, pesohor, dan orang-orang biasa. “Namun ketika saya memintanya untuk memilih satu wawancara dari ribuan wawancara tersebut, ia tak ragu mengingat satu nama Martin Luther King Junior,” Kata Luntz di bukunya.
Begini kisahnya. Di salah satu hari pada 1961 Larry King bersama Martin Luther King Junior. Pemimpin gerakan hak-hak sipil dari kulit hitam ini mendeprok di teras depan sebuah hotel di Tallahassee, Florida.
Ia menghalangi pintu masuk hotel. Tak lama mobil patroli polisi datang dan lelaki kelahiran 1926 itu tahu dirinya bakal ditangkap. Penyebabnya, pemilik hotel dua puluh kamar itu tak mau memberi kamar meski Martin Luther Junior sudah memesannya. Sebab Martin Luther terlahir sebagai kulit hitam. Sebagai protes, ia mendeprok di teras depan. Rasisme ketika itu tengah mewabah.
Pemilik hotel keluar dan berjalan ke arah Martin Luther Junior. Dilemparkannya pertanyaan ini “Anda mau apa?” Lawan bicaranya tak mengatakan apa-apa. Diam bagai mayat.
Si pemilik hotel bertanya lagi. “Anda mau apa?”. Kini lawannya bicara menatapnya dan menjawab, “Harga diriku,” katanya. “Kata-kata itu terus terngiang di batok kepala saya hingga sekarang,” kata Larry King mengenang peristiwa itu. Ia ada di Lokasi karena undangan pengacara Martin Luther Junior.
Saya mengisahkan ulang ingatan Larry King untuk mengatakan betapa dahsyatnya kata-kata dan orang perlu memperlakukannya baik-baik. Hingga kini saya tak habis mengerti bagaimana bisa kata-kata dan imajinasi seorang pelajar dapat dibunuh justru di tangan pendidik.
Kata-kata yang miskin imajinasi hanya meninggalkan lubang hitam di hati lawan bicaranya yang awet di kenang masa.