Misbah Mustofa, Murid Hasyim Asyari yang Mengkritik MTQ dalam Tafsir Bahasa Jawa

Misbah Mustofa, Murid Hasyim Asyari yang Mengkritik MTQ dalam Tafsir Bahasa Jawa

Misbah Mustofa menjelaskan bahwa turunnya Al-Quran kepada Nabi Muhammad SAW bukanlah untuk Musabaqah Tilawatil Qur’an atau Musabaqah hafal-hafalan al-Quran yang bertujuan untuk menjadi juara, terkenal dan mendapat uang.

Misbah Mustofa, Murid Hasyim Asyari yang Mengkritik MTQ dalam Tafsir Bahasa Jawa
Ilustrasi: Mushaf terjemah Al-Quran berbahasa sunda

K.H Misbah Mustofa dilahirkan di Pesisir Utara Jawa Tengah, di kampung Sawahan, Gang Palem, Rembang tahun 1917 M. Pada awalnya, ia mempunyai nama Nama Masruh, kemudian diganti menjadi Misbah Mustofa setelah menunaikan ibadah haji. Ayahnya bernama H. Zainal Mustofa, seorang pengusaha batik sukses yang meskipun tidak mempunyai pesantren tapi dikenal oleh masyarakat sebagai seseorang yang taat beragama, sedangkan ibunya bernama siti Khadijah.

Tanah Rembang adalah tempat pertama Misbah Mustofa bergulat dengan ilmu. Pada usia enam tahun, ia memulai pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar pada waktu itu), kemudian ia melanjutkan pendidikannya di pesantren Kasingan Rembang asuhan KH. Kholil bin Harun. Kepadanya, ia belajar ilmu-ilmu alat seperti: al-Jurumiyah, al-Imriti dan alfiyah Ibn Malik. Bahkan, ia berhasil mengkhatamkan Alfiyah sebanyak 17 kali. Selain itu, Misbah Mustofa juga belajar ilmu lain seperti, fikih, ushul fikih, ilmu kalam, hadis, dan tafsir.

Selanjutnya, pada tahun 1357, H. Misbah Mustofa melanjutkan perjalanannya dalam mencari ilmu di Tebuireng. Ia belajar kitab-kitab kuning secara langsung kepada K.H Hasyim Ays’ari. Kemudian pada tahun 1948 M, Misbah Mustofa menikah dengan Masruhah. K.H Ridwan, pengasuh Pesantren al-Balagh di Bangilan, Tuban, Jawa Timur ini bukan tanpa alasan menikahkan Misbah Mustofa dengan puterinya yaitu Masruhah. Di samping karena kecerdasannya, K.H Ridwan juga menginginkan agar pesantren yang dimilikinya diteruskan oleh Misbah Mustofa sepeninggal beliau wafat.

K.H Misbah Mustofa adalah sosok yang sangat produktif dalam menghasilkan karya berbentuk tulisan serta mempunyai keilmuan yang komprehensif. Hal ini dibuktikan dengan karya-karya nya yang meliputi berbagai macam ilmu keislaman.

Dalam bidang tafsir, ia menulis Tafsir al-Iklil Fi Ma’ani al-Tanzil, Tafsir Taj al-Muslimin, Tafsir al-Jalalain, dan Tafsir Surah Yasin. Pada bidang Hadis, Terjemahan Riyad al-Salihin, Terjemahan al-Jami’ al-Saghir, dan Terjemah Bulugh al-Maram. Pada bidang Fiqih, Terjemah Fath al-Qarib, Terjemah Fath al-Muin, dan Masail al-Nisa. Pada bidang akhlak, Terjemah Syarh al-Hikam, Nusyhad al-Afkar, dan Ihya Ulum al-Din. Pada bidang kaidah bahasa Arab, Sulam al-Nahwi, Terjemah al-Jurumiyah, Terjemah alfiyah Ibn Malik, dan Terjemah al-Imriti. Mayoritas karya-karya ini ditulis dan diterjemahkan dengan menggunakan bahasa Jawa.

KH. Misbah Mustofa dikenal sebagai salah satu mufassir berpengaruh di Nusantara melalui karyanya berjudul Tafsir al-Iklil Fi Ma’ani al-Tanzil yang ditulis menggunakan bahasa Jawa dengan aksara Arab pegon. Ia menulis tafsir ini selama kurang lebih 8 tahun (1977 M – 1985 M).

Penggunaan nama al-Iklil sendiri mempunyai arti mahkota (bagi kaum muslimin), yang dalam Bahasa jawa dikenal dengan istilah kuluk atau tutup kepala seorang raja yang pada zaman dulu dibalut dengan emas dan berhiaskan berlian/intan. Harapannya agar beliau dengan memberikan nama al-Iklil agar dapat memudahkan serta menjadi pelindung hidup dengan naungan ilmu yang berdampak pada ketentraman batin di dunia dan akhirat.

Secara umum, penulisan tafsir ini dilatarbelakangi oleh hal yang hampir sama dengan kitab tafsir berbahasa jawa lain yaitu karena minimnya pengetahuan tentang bahasa Arab. Konon, K.H Misbah Mustofa menulis tafsir ini dikarenakan tiga hal.

Pertama, ia ingin agar masyarakat Muslim mengerti isi kandungan yang terdapat dalam Al-Qur’an. Kedua, karena ia melihat adanya ketidakseimbangan kehidupan yang dijalankan oleh masyarakat dalam memilih antara kepentingan dunia maupun akhirat. Bahkan, banyak masyarakat yang hanya mementingkan dunia serta mengesampingkan akhirat. Ketiga, ia berharap bahwa tafsir al-Iklil ini dapat menjadi semacam pengingat dari Allah agar mempunyai pribadi yang tidak mudah goyah karena pengaruh lingkungan.

Dari segi kuantitasnya, tafsir al-Iklil ini mempunyai jumlah halaman yang berbeda antara satu dengan lainnya, seperti jilid 1 berjumlah 137 halaman, jilid 2 berjumlah 142 halaman, jilid 3 berjumlah 154 halaman dan seterusnya. Penulisannya pun berkelanjutan dari jilid satu yang diakhiri halaman 137, kemudian jilid dua di awali halaman 138. Sistematika seperti ini biasanya dikenal dengan istilah tartib al-mushafi (mengikuti urutan surat dalam Al-Qur’an).

Dari segi karakteristik penulisannya, tafsir al-Iklil ini membagi penjelasan suatu ayat menjadi dua yaitu secara global yang di tandai dengan garis tipis mendatar dan secara rinci yang ditandai dengan garis tebal, menggunakan istilah-istilah khusus terhadap sesuatu yang penting, misalnya penyebutan istilah كت (uraian penafsiran terhadap suatu ayat), مسئله (contoh persoalan yang sedang ditafsirkan), تنبيه (keterangan tambahan berupa catatan penting), فائدة (intisari ayat), قصة (kisah-kisah atau cerita-cerita tentang ayat yang ditafsirkan).

Selain karakteristik di atas, tafsir al-Iklil ini mempunyai karakteristik lain, seperti menyebutkan asbab an-Nuzul (sebab turunnya) suatu ayat, menyebutkan munasabah ayat serta menjelaskan aspek–aspek lain seperti penjelasan makna kata, menyebutkan riwayat dari Nabi, sahabat dan tabiin. Penyebutan karakteristik seperti ini biasanya dikenal dengan istilah metode tahlili (terperinci).

Di samping itu, K.H Misbah Mustofa juga menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan berdasarkan pada suatu persoalan yang sedang berkembang di masyarakat. Hal ini dilakukan dalam rangka merespon situasi dan kondisi yang sedang terjadi di masyarakat pada waktu itu. Adapun contoh respon KH. Misbah Mustofa terhadap persoalan MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an) dengan berdasarkan pada surat al-Furqan[25]: 1 sebagaimana berikut:

تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيراً

Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.”

Wus pertelo berkahe Allah, pengeran kang nurunake kitab suci al-Quran marang kawulane yaiku Nabi Muhammad Saw. Supoyo meden-medeni wong alam kabeh gandeng karo sikso lan keadilane Allah Ta’ala.” (Telah dijelaskan berkah Allah, Tuhan yang telah menurunkan kitab suci al-Quran kepada hamba-Nya, yaitu Nabi Muhammad SAW. Supaya menakut nakuti seluruh alam dengan siksa dan keadilan Allah SWT.)

Dalam tafsirnya, K.H Misbah Mustofa menjelaskan bahwa turunnya Al-Quran kepada Nabi Muhammad SAW bukanlah untuk Musabaqah Tilawatil Qur’an atau Musabaqah hafal-hafalan al-Quran yang bertujuan untuk menjadi juara, terkenal dan mendapat uang.

Seharusnya Al-Quran dipergunakan untuk beribadah dan diamalkan bukan sarana untuk mencari uang. Penafsiran seperti ini biasanya dikenal dengan istilah tafsir bercorak adabi ijtima’i (berorientasi sosial dan kemasyarakatan)

Pada akhirnya, tafsir al-Iklil Fi Ma’ani al-Tanzil karya KH. Misbah Mustofa ini adalah salah satu kitab tafsir berbahasa jawa di Nusantara yang mempunyai pengaruh signifikan bagi kalangan umat islam secara umum dan bagi kalangan orang awam secara khusus.

Wallahu A’lam